SUKABUMIUPDATE.com - Bukan sekadar musisi, sosok Rhoma Irama tampaknya telah menjadi kiblat musik dangdut di Sukabumi sejak dulu. Racikan musiknya yang khas menjadi salah satu alasan mengapa ia digemari banyak orang.
Bahkan peneliti musik asal Amerika Serikat, Andrew Weintraub mengatakan bahwa Rhoma Irama telah melakukan penjejakan sejarah terhadap kisah kebudayaan Melayu Deli - dulu masuk dalam wilayah Sumatera Timur, namun sekarang bagian dari Sumatera Utara - di mana Orkes Melayu muncul sejak zaman sebelum penjajahan hingga periode 1950-an dan 1970-an dan menjadi sejarah awal dangdut di Indonesia.
Melansir dari Tirto, irama Melayu memang disebut menjadi inti dari musik dangdut, meskipun kemudian Rhoma Irama meraciknya dengan unsur musik rock. Bagian dari mengoplos musik rock tersebut tampak jelas pada awal karier Rhoma saat ia menenteng gitar Fender putih yang mengesankannya terpengaruh Ritchie Blackmore dari Deep Purple hingga peralihan ke Steinberger hitam andalannya.
Weintraub mengungkapkan bahwa leluhur Melayu musik dangdut adalah orkes keliling dari Malaya atau Malaysia yang berlabuh ke Pulau Jawa pada 1890-an. Orkes tersebut memainkan banyak jenis musik, antara lain Melayu, Tionghoa, India, Timur Tengah, dan Eropa.
Selepas di Jawa, para orkes keliling ini kemudian pergi ke Sumatera. Di sana, rombongan teater dan orkes musik tersebut mencari peluang bisnis. Sumatera pada era 1930-an merupakan pasar musik yang bergairah. Sumatera bersama Malaya dan Permukiman Selat adalah pasar tunggal untuk rilisan musik beberapa label rekaman Melayu saat itu.
Ditambah dengan alasan geografis, penyanyi di Sumatera lebih sering tampil di Malaya dan Singapura ketimbang di Jakarta. Hal itu membuat akulturasi budaya di kawasan tersebut terjadi secara alamiah. Sementara pada 1930-an, radio ikut berpengaruh terhadap popularitas tiga jenis musik yang menjadi pondasi awal dangdut, yakni Orkes Harmonium, Orkes Gambus, termasuk Orkes Melayu.
Orkes Harmonium atau OH sendiri disebut oleh musisi Husein Bawafie sebagai "asal-usul dangdut". Harmonium merupakan nama alat musik sejenis organ asal Eropa yang masuk melalui India dan menyebar ke sejumlah negara.
Peralatan musik OH biasanya terdiri dari harmonium, biola, terompet, rebana, gendang, dan sesekali tamborin. Weintraub menuturkan bahwa OH biasanya memainkan lagu-lagu berirama Hindustan dan lagu campuran musik Melayu, Arab, India, dan Eropa. Tetapi pada era 1940-an, nama OH mulai meredup. Beberapa OH pun memilih berganti istilah menjadi Orkes Melayu.
Pondasi dangdut yang kedua datang dari Orkes Gambus. Musik yang dimainkannya adalah musik ala Timur Tengah yang mengandalkan alat musik gambus serta kendang-kendang bermembran ganda nan kecil atau biasa disebut marwas atau marawis. Alat musik gambus dan marwas sendiri diperkirakan berasal dari Hadramaut (Yaman). Sebagai penyemarak, ditambahkan pula harmonium, biola, suling, rebana, tamborin, dan bas betot.
Selanjutnya Orkes Melayu atau OM, di mana pondasi musik dangdut yang ketiga ini disebut sebagai kepingan pelengkap dua pondasi awal. Dari pelbagai catatan radio, OM mulai muncul di Indonesia pada 1930-an. Salah satu yang memiliki nama mentereng adalah Orkest Melajoe Sinar Medan yang dipimpin oleh Abdul Halim. Meski namanya Sinar Medan, namun orkes tersebut berasal dari Jakarta.
Dalam kajiannya, Weintraub mengatakan bahwa orkes tersebut menggunakan instrumen Eropa, namun tetap mempertahankan unsur musikal Melayu. Antara lain pantun dan frasa semisal "aduhai sayang". Weintraub mencatat, lagu Melayu seperti "Sayang Manis" dan "Sinar Malacca" diiringi oleh vokalis dengan suara melengking dan senggakan untuk menyemangati penyanyi.
Setelah Indonesia merdeka, OM mulai memasukkan sentuhan baru dalam musik mereka, yaitu membuat melodi baru berdasarkan melodi film India. Hal ini disebut-sebut sebagai pintu kelahiran dangdut. Lima tahun setelah Indonesia merdeka, pertukaran budaya pun semakin kencang. Arab, Melayu, India, Amerika Latin, dan Eropa memperkaya musikalitas Orkes Melayu.
Pada 1970-an, musik-musik Melayu dan India telah bertransformasi menjadi dangdut. Musik ini lalu dianggap sebagai musik rakyat, terutama karena basis mayoritas penggemarnya adalah rakyat kelas bawah.
Dangdut menjadi populer di kalangan rakyat karena liriknya dekat dengan keseharian sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain itu, Weintraub menyatakan bahwa musik pop dan rock Indonesia tidak memiliki akar historis atau ciri musik yang mengaitkannya dengan derita rakyat. Sementara dangdut menurutnya memiliki akar yang kuat dan banyak menceritakan kehidupan rakyat biasa. Oleh karena itu musik ini berkembang di lingkungan urban yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi.
Istilah dangdut sendiri baru lahir pada awal 1970-an. Nama dangdut merupakan onomatope (kata yang berasal dari bunyi) kendang: dang-dut. Namun sejumlah pemusik sempat tidak menyukai istilah yang dianggap melecehkan itu.
Sedangkan Weintraub menulis bahwa istilah dangdut diciptakan oleh majalah musik Aktuil. Namun, dalam wawancaranya dengan Meggy Z, Mansyur S, dan Dadang S, istilah dangdut populer berkat jasa Bung Mangkudilaga, penyiar radio yang kerap mempromosikan dangdut di Radio Agustina, Tanjung Priok, Jakarta, pada 1973-1974.
Dangdut kian dikenal di Indonesia dan larisnya rekaman Ellya Khadam disebut menjadi satu dari sekian faktor yang menyebabkan musik ini semakin populer. Bahkan pada 1975, Weintraub menyebut dangdut sudah menguasai 75 persen pasar industri rekaman.
Baca Juga :
Munculnya Rhoma Irama dan Fanatisme Warga Sukabumi
Dunia dangdut semakin membesar ketika muncul sang Ksatria Bergitar dari Tasikmalaya bernama panggung Rhoma Irama. Sebagai musisi dangdut, Rhoma dianggap istimewa karena memiliki akar musikalitas yang berbeda ketimbang penyanyi dangdut lainnya. Meskipun Rhoma kecil suka berdendang musik India, namun ia tumbuh dengan mendengarkan musik rock. Ketika ia muncul dengan pengaruh musik rock yang kental, sejumlah pihak justru menudingnya tidak orisinal.
Tetapi, ketidakorisinalitasannya tersebut ternyata membuat Rhoma Irama terus berkembang. Ia sukses membawa nilai-nilai dangdut, yakni percampuran banyak pengaruh musik dan hasil dari akulturasi budaya. Rhoma berhasil menyuntikkan pengaruh rock dan pop dalam genre ini hingga akhirnya ia mendominasi dunia dangdut dan menyandang julukan Raja Dangdut.
Pria kelahiran 11 Desember 1947 ini lalu mendirikan grup musik dangdut yang diberi nama Soneta Group, yakni pada Desember 1970. Pada Oktober 1973, Rhoma mencanangkan semboyan "Voice of Moslem" dengan maksud agar musik Melayu bisa dipadukan dengan aliran musik lainnya. Inilah yang lantas membuat setiap lagu Rhoma Irama memiliki cita-rasa yang berbeda.
Sejak kemunculannya tersebut, Rhoma Irama sudah mampu menggaet penggemar di pelosok negeri, termasuk Sukabumi.
Pengamat sejarah Sukabumi, Irman Firmansyah mengatakan, pada 1970-an telah banyak warga yang memasang poster Rhoma Irama di rumahnya.
"Kemudian semenjak muncul film "Penasaran" pada tahun 1976, mulailah fans Rhoma Irama meledak. Bahkan setiap konser di Sukabumi pasti penuh," kata Irman kepada sukabumiupdate.com, Senin, 15 Februari 2021.
Irman yang juga penulis buku Soekaboemi the Untold Story ini mengungkapkan, fanatisme warga Sukabumi terhadap sosok Rhoma Irama sangat besar. Hal itu disebabkan racikan musik dangdut Rhoma yang disukai banyak orang karena hentakannya yang bisa membuat siapapun bergoyang.
"Rhoma Irama juga memasukkan unsur dakwah Islami sehingga tidak ada tentangan dari masyarakat Sukabumi yang religius. Termasuk adanya unsur rock bergaya Deep Purple, menyebabkan musik dangdut Rhoma tidak dianggap ketinggalan dan masih sesuai tren masyarakat Sukabumi," jelas Irman.
Filmnya yang saat itu sering diputar di layar lebar pun menambah banyaknya warga Sukabumi yang menggemari sosok Rhoma Irama. Namun tak hanya menjadi penggemar, Sukabumi juga ternyata memiliki talenta hebat dalam dunia dangdut.
Belakangan ini diketahui bahwa salah satu pencipta lagu dangdut asal Sukabumi, Syamsudin alias Syam Permana, harus terus bertahan hidup dengan kerja serabutan sejak 20 tahun vakum dan tidak pernah mendapat royalti dari lagu-lagu ciptaannya.
Pria yang berdomisili di Kampung Babakan Jawa RT 42/18 Desa Sukaresmi, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ini merupakan pencipta lagu di era 1980-1990-an. Syam telah menciptakan banyak lagu yang dipopulerkan penyanyi dangdut terkenal di Indonesia, seperti Jhonny Iskandar, Ine Sinthya, Mirnawati, Imam S Arifin, Ona Sutra, mendiang Meggy Z, hingga Inul Daratista.
Sejumlah lagu yang pernah ia ciptakan antara lain "Memori Pantai Carita" yang dipopulerkan Jhonny Iskandar. Kemudian lagu "Seandainya" yang dinyanyikan Dewi Purwati. Lalu lagu "Surga Jadi Neraka" yang dinyanyikan pedangdut Ine Sinthya.