SUKABUMIUPDATE.com - Dalam hidup, tidak ada yang bisa menghindar dari tantangan, kegagalan, dan masa sulit. Namun, yang membedakan setiap orang adalah bagaimana mereka menyikapinya. Ada yang tenggelam dalam keputusasaan, tapi ada juga yang tetap melangkah dengan kepala tegak karena mereka memiliki optimisme.
Optimisme bukan berarti mengabaikan kenyataan pahit atau memaksa diri untuk selalu “positif”. Sebaliknya, ia adalah kemampuan untuk melihat harapan, kemungkinan, dan pelajaran, bahkan dalam situasi terburuk sekali pun. Inilah seni melihat cahaya di tengah kegelapan—dan psikologi pun punya banyak hal menarik untuk menjelaskan kekuatan sikap ini.
Apa Itu Optimisme?
Optimisme adalah gaya berpikir atau keyakinan bahwa hal-hal baik akan terjadi, dan bahwa kita memiliki kendali untuk menciptakan perubahan positif dalam hidup kita.
Menurut psikolog Martin Seligman pendiri Positive Psychology optimisme adalah tentang bagaimana seseorang menjelaskan kejadian dalam hidupnya. Orang yang optimis melihat kegagalan sebagai:
- Bersifat sementara (bukan selamanya),
- Spesifik (tidak menyalahkan semua aspek hidup),
- Dan dapat diubah (mereka percaya bisa melakukan sesuatu untuk memperbaikinya).
Baca Juga: Nathalie Holscher Tanggapi Polemik Saweran di Sidrap: "Salah Saya Apa?"
Optimisme vs. Positivity Toxic
Perlu dibedakan antara optimisme yang sehat dengan toxic positivity. Optimisme bukan memaksakan diri untuk “selalu bahagia”, tapi mengakui realitas sambil tetap percaya bahwa kita bisa melewatinya. Sedangkan toxic positivity cenderung menolak emosi negatif dan malah menambah beban psikologis.
Manfaat Optimisme bagi Kesehatan Mental dan Fisik
Banyak studi menunjukkan bahwa optimisme bukan cuma “baik untuk hati”, tapi juga punya efek nyata pada kesehatan:
1. Mengurangi Stres dan Depresi
Optimis cenderung memaknai kegagalan sebagai bagian dari proses, bukan sebagai akhir dari segalanya. Ini melindungi mereka dari perasaan putus asa yang berlarut-larut.
2. Meningkatkan Kesehatan Fisik
Penelitian menunjukkan bahwa orang optimis memiliki risiko lebih rendah terkena penyakit jantung dan sistem imun yang lebih kuat. Mereka juga lebih mungkin menerapkan gaya hidup sehat.
3. Meningkatkan Ketahanan Mental (Resiliensi)
Saat krisis datang, orang yang optimis bisa lebih cepat bangkit karena mereka percaya akan ada jalan keluar.
4. Memperkuat Hubungan Sosial
Optimis biasanya lebih menyenangkan diajak bicara, mudah berempati, dan lebih tahan banting dalam menghadapi konflik hubungan.
Baca Juga: Mengenal Inner Child dan Dampaknya pada Kehidupan Dewasa
Apakah Optimisme Bawaan atau Bisa Dilatih?
Kabar baiknya: optimisme bukan bakat bawaan, tapi bisa dilatih. Otak kita punya neuroplasticity kemampuan untuk membentuk ulang pola pikir. Dengan latihan konsisten, kita bisa belajar menjadi lebih optimis.
Cara Melatih Optimisme dalam Kehidupan Sehari-hari
1. Latihan Reframing
Ubah cara pandang terhadap masalah. Tanyakan: "Apa yang bisa saya pelajari dari ini?" atau "Apa sisi baik yang mungkin belum saya lihat?"
2. Jurnal Rasa Syukur
Setiap hari, tulis 3 hal yang kamu syukuri. Ini melatih otak untuk fokus pada hal positif, sekecil apa pun.
3. Ubah Self-Talk
Sadari dan koreksi narasi negatif dalam pikiran, seperti “Aku gak bisa” menjadi “Aku belum bisa, tapi aku sedang belajar.”
4. Kelilingi Diri dengan Energi Positif
Lingkungan yang suportif dan inspiratif bisa meningkatkan optimismemu secara alami.
Optimisme bukan berarti menutup mata dari kesedihan, tetapi berani percaya bahwa badai pasti berlalu. Dalam kegelapan paling pekat sekalipun, selalu ada seberkas cahaya—dan kadang, cahaya itu berasal dari keyakinan di dalam diri sendiri.
Latih dirimu untuk melihat kemungkinan, bukan hanya masalah. Karena saat kamu memilih untuk melihat cahaya, kamu juga sedang menciptakan jalan keluar.
Baca Juga: 5 Fakta Psikologi yang Bisa Mengubah Cara Pandangmu Tentang Hidup
Sumber: Verywell Mind