Slow Living = Pemalas? Ini Fakta Psikologis di Balik Gaya Hidup Lambat dan Sadar

Sukabumiupdate.com
Senin 14 Apr 2025, 15:00 WIB
Ilustrasi Slow Living = Pemalas? Ini Fakta Psikologis di Balik Gaya Hidup Lambat dan Sadar (Sumber : Freepik/@benzoix)

Ilustrasi Slow Living = Pemalas? Ini Fakta Psikologis di Balik Gaya Hidup Lambat dan Sadar (Sumber : Freepik/@benzoix)

SUKABUMIUPDATE.com - Di tengah budaya serba cepat dan produktivitas yang ditinggikan, gaya hidup slow living sering kali di salah pahami. Banyak yang menganggap orang-orang yang memilih hidup lambat sebagai pemalas, tidak ambisius, atau bahkan ‘anti kemajuan’. Tapi benarkah demikian? Justru sebaliknya slow living bukan tentang bermalas-malasan, melainkan tentang hidup lebih sadar, penuh makna, dan selaras dengan diri sendiri.

Apa Itu Slow Living?

Slow living adalah gaya hidup yang mengutamakan kualitas daripada kuantitas, kesadaran atas kecepatan, serta ketenangan dalam menjalani hari. Konsep ini bukan berarti menolak teknologi atau kemajuan, melainkan mengatur ritme hidup agar tidak terjebak dalam tekanan “harus cepat, harus banyak, harus sekarang”.

Gerakan ini populer di kalangan mereka yang merasa lelah secara mental dan emosional akibat budaya hustle (hustle culture), yakni keyakinan bahwa semakin sibuk dan produktif seseorang, semakin bernilai dirinya.

Baca Juga: Dibenci Karena Jujur: Mengapa Kebiasaan Autentik Sering Dianggap Aneh atau Tidak Sopan?

Pandangan Psikologi: Slow Living Menurunkan Stres dan Meningkatkan Kesejahteraan

Menurut American Psychological Association (APA), overworking dan multitasking terus-menerus dapat menyebabkan kelelahan emosional, gangguan kecemasan, dan bahkan burnout. Di sinilah slow living menjadi bentuk perlawanan terhadap stres kronis.

Sebuah studi dari Harvard Business Review (2019) menyebutkan bahwa melambatkan ritme hidup membantu meningkatkan fokus, memperdalam relasi sosial, dan membuat seseorang lebih sadar akan keputusan yang diambil.

Mengapa Slow Living Sering Dianggap “Pemalas”?

Ada beberapa alasan mengapa orang masih menstigma gaya hidup ini:

  1. Budaya Produktivitas Berlebihan (Productivity Bias)
    Dalam masyarakat modern, kerja keras dan kesibukan sering dianggap sebagai lambang keberhasilan. Orang yang terlihat santai dianggap kurang ambisius atau tidak punya tujuan hidup.

  2. Persepsi Visual
    Slow living sering diasosiasikan dengan suasana estetis — seperti minum teh sambil membaca buku, menikmati pagi tanpa tergesa. Aktivitas ini dianggap "tidak penting" oleh mereka yang terbiasa hidup cepat dan sibuk.

  3. Kurangnya Pemahaman
    Banyak yang belum tahu bahwa slow living sebenarnya membutuhkan disiplin: menolak distraksi, menata ulang prioritas, dan berani mengatakan tidak pada kesibukan yang tidak bermakna.

Baca Juga: Mendengar Tanpa Menghakimi: Cara Orang Tua Open Minded Bangun Kepercayaan Anak

Manfaat Gaya Hidup Lambat dan Sadar

  • Lebih Fokus dan Hadir Saat Ini
    Mindfulness adalah kunci utama slow living. Ketika seseorang berhenti terburu-buru, ia bisa benar-benar hadir dalam momen entah itu bekerja, makan, atau berbicara dengan orang lain.

  • Kesehatan Mental Lebih Terjaga
    Mengurangi tekanan “selalu harus produktif” membuat pikiran lebih tenang dan tubuh tidak terus-menerus berada dalam mode stres.

  • Kualitas Hubungan Sosial Lebih Baik
    Saat hidup tidak dikejar-kejar waktu, kita punya ruang untuk membangun hubungan yang lebih tulus dan penuh perhatian.

  • Keputusan Lebih Bijak dan Selaras dengan Nilai Diri
    Hidup pelan memungkinkan kita untuk merenung, berpikir ulang, dan bertindak dengan kesadaran, bukan reaksi otomatis.

Slow Living di Tengah Dunia Modern: Apakah Mungkin?

Tentu saja. Slow living bukan berarti harus pindah ke desa atau lepas dari dunia digital. Ini tentang membuat pilihan sadar dalam rutinitas harian, misalnya:

  • Memulai hari tanpa membuka ponsel langsung
  • Menikmati sarapan tanpa multitasking
  • Mengatur waktu istirahat dengan sungguh-sungguh
  • Fokus pada satu hal dalam satu waktu
  • Belajar berkata tidak pada hal yang tidak sejalan dengan nilai pribadi

Slow living bukan pelarian dari tanggung jawab, tapi cara untuk menemukan kembali makna dalam hidup yang terlampau cepat. Justru dibutuhkan keberanian dan kesadaran tinggi untuk keluar dari arus budaya sibuk, dan memilih hidup yang lebih selaras dengan kebutuhan batin.

Jadi, lain kali kamu melihat seseorang hidup pelan, santai, dan tampak “tidak sibuk”, jangan langsung menilai mereka pemalas. Bisa jadi, mereka sedang menjalani hidup dengan cara yang jauh lebih sehat untuk tubuh, pikiran, dan jiwanya.

Baca Juga: Dari Otoriter ke Open-Minded: Transformasi Pola Asuh di Abad 21

Sumber: APA

Berita Terkait
Berita Terkini