SUKABUMIUPDATE.com - Kejujuran sering kali dipandang sebagai nilai luhur yang harus dijunjung tinggi. Namun, dalam praktiknya, orang yang bersikap jujur dan autentik justru sering dianggap aneh, tidak sopan, bahkan menyebalkan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah masyarakat lebih nyaman dengan kebohongan sosial daripada kejujuran yang lugas?
Jujur vs. Normatif: Ketika Kebenaran Tak Sesuai Harapan Sosial
Menurut penelitian dalam jurnal Group Processes & Intergroup Relations (Levine & Cohen, 2018), kejujuran yang tidak sesuai dengan norma sosial misalnya menyampaikan kritik secara langsung atau menolak ajakan dengan alasan jujur sering dianggap mengganggu harmoni kelompok. Dalam budaya kolektif seperti di Indonesia, menjaga hubungan sosial (rukun, tidak menyinggung) seringkali dianggap lebih penting daripada menyampaikan kebenaran secara blak-blakan.
Dalam konteks ini, kejujuran dianggap “tidak sopan” ketika tidak dikemas secara halus. Misalnya, memberi tahu teman bahwa bajunya tidak cocok bisa dianggap kasar, meski maksudnya baik.
Baca Juga: Catat Tanggalnya! Pengumuman Rekrutmen dan Tes BUMN 2025 Resmi Diumumkan
Autentisitas Dianggap Mengancam Zona Nyaman
Menjadi autentik berarti menunjukkan diri apa adanya, tanpa topeng sosial. Namun, masyarakat sering kali lebih nyaman dengan “peran sosial” yang dipahami bersama seperti berpura-pura senang saat bertemu orang, meski sebenarnya lelah atau kesal. Ketika seseorang tampil terlalu jujur, itu bisa mengejutkan atau membuat orang lain tidak tahu bagaimana harus merespons.
Dalam Journal of Personality and Social Psychology, Gino et al. (2015) menyatakan bahwa orang yang bertindak autentik dalam situasi sosial kadang dianggap tidak dapat dipercaya atau tidak dapat beradaptasi. Ini karena kejujuran bisa membuat orang lain merasa terekspos, seolah cerminan bagi ketidaktulusan mereka sendiri.
Budaya “Basa-Basi” dan Ekspektasi Sosial
Di Indonesia, budaya basa-basi atau “omong halus” sangat dijunjung. Kalimat seperti “tidak enakan” atau “jaga perasaan” menjadi bagian penting dalam interaksi sehari-hari. Maka tak heran jika orang yang terlalu jujur kadang dicap nggak punya tata krama atau nggak bisa menjaga perasaan orang lain.
Padahal, di sisi lain, kejujuran juga sering dituntut dalam konteks profesional seperti saat evaluasi kerja atau feedback. Ketidaksesuaian antara ekspektasi pribadi dan profesional inilah yang bisa membuat orang jujur terjebak di tengah dilema.
Baca Juga: Mendengar Tanpa Menghakimi: Cara Orang Tua Open Minded Bangun Kepercayaan Anak
Konsekuensi Sosial: Dijauhi atau Disalah pahami
Banyak orang yang terbiasa jujur justru mengaku merasa terasing atau tidak disukai. Beberapa alasannya:
- Mereka dianggap terlalu serius atau kaku
- Perkataan mereka dianggap menyinggung, meskipun faktual
- Orang lain merasa tidak nyaman karena “dibuat melihat kenyataan”
Sikap ini membuat sebagian orang akhirnya memilih untuk diam, menyaring kata-kata, atau menyembunyikan opini demi tetap diterima.
Jujur dengan Empati: Kunci Berkomunikasi Sehat
Kejujuran tidak harus berarti “menyakitkan.” Dalam komunikasi yang sehat, jujur bisa disampaikan dengan empati dan sensitivitas budaya. Ini dikenal sebagai honest yet kind communication.
Contoh:
- Alih-alih berkata “kamu kurusan sekarang,” bisa dikatakan “aku perhatiin kamu kelihatan capek akhir-akhir ini, kamu lagi stres ya?”
- Bukan “makananmu nggak enak,” tapi “kayaknya kamu bisa explore bumbu lain biar makin mantap!”
Baca Juga: Open Minded Bukan Tren, Tapi Kebutuhan: Parenting di Era Informasi dan Media Sosial
Mengubah Paradigma: Saatnya Menerima Autentisitas
Dalam dunia yang serba penuh pencitraan, orang-orang autentik sebenarnya sangat dibutuhkan. Mereka membawa kejelasan, ketulusan, dan membangun kepercayaan. Masyarakat perlu belajar bahwa:
- Jujur bukan berarti kasar
- Tidak semua kritik adalah serangan
- Keaslian bukan ancaman, tapi bentuk kepercayaan diri
Orang yang jujur bukanlah masalah tapi seringkali, cara pandang masyarakat terhadap kejujuran itulah yang perlu diperbaiki. Menghargai keautentikan, tanpa melupakan empati dan konteks sosial, adalah langkah penting menuju komunikasi yang lebih sehat dan terbuka.
Baca Juga: Qodrat 2 Guncang Sukabumi: Para Bintang Hadir, Penonton Diselimuti Emosi di Ruang Bioskop
Sumber: Psikologi Today