SUKABUMIUPDATE.com - Pangeran Sake, yang memiliki nama asli Syarifudin Shoheh, adalah tokoh berpengaruh dalam sejarah Islam di wilayah Bogor, Jawa Barat. Beliau dikenal sebagai seorang ulama dan juga keturunan bangsawan Banten yang memberikan dampak besar bagi masyarakat sekitarnya.
Pangeran Sake merupakan salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa, yang memiliki beberapa istri. Dari istri Ratu Adi Kasum lahir Abdul Kahar (Sultan Abdul Nasr Abdul Kahar). Sementara dari istri Rati Ayu Gede, Sultan dikaruniai tiga anak: Pangeran Abdul Alim, Pangeran Ingayajapura, dan Pangeran Arya Purbaya.
Selain itu, dari istri lainnya, Sultan Ageng Tirtayasa memiliki beberapa anak, termasuk Pangeran Sugiri, yang berdakwah di Jakarta (Jatinegara), Pangeran Sake di Citeureup, serta Tubagus Raja Suta, Tubagus Husen, dan Tubagus Kulon.
Dari semua anak Sultan Ageng Tirtayasa, hanya Sultan Haji dan Pangeran Purbaya yang melanjutkan kekuasaan di Banten. Sementara yang lainnya memilih meninggalkan Banten untuk berdakwah ke berbagai wilayah seperti Bogor, Lampung, dan daerah sekitarnya.
Pangeran Sake meninggalkan Banten dan menetap di wilayah timur, tepatnya di Citeureup, di mana ia membuka pemukiman baru dan menyebarkan ajaran Islam hingga ke wilayah Sukabumi dan Cianjur.
Nama "Pangeran Sake" berasal dari kebiasaan uniknya. Nama asli beliau, Syarifudin Shoheh, digantikan dengan julukan ini karena ia selalu membawa wadah minuman dari rotan yang disebut "sake" saat berdakwah, beraktivitas, atau melawan penjajahan Belanda. Kebiasaan ini membuat nama "Pangeran Sake" melekat sebagai identitasnya.
Pangeran Sake adalah sosok yang dihormati di wilayah Citeureup, Kabupaten Bogor. Namanya harum karena dedikasinya terhadap masyarakat. Ia berdakwah dengan cara berpindah-pindah tempat dan dikenal sebagai tokoh yang inspiratif serta memiliki banyak pengikut.
Semangat perlawanan Pangeran Sake terhadap VOC Belanda tetap berkobar, meski ia jauh dari tanah kelahirannya. Ia bahkan dianggap sebagai tokoh pemberontak yang berbahaya oleh Belanda, sehingga sering menjadi target pengejaran mereka.
Setelah wafat, makam Pangeran Sake menjadi tempat yang sering diziarahi, baik oleh warga Bogor maupun daerah lainnya seperti Jabodetabek, Bandung, Sukabumi, dan Tasikmalaya. Orang-orang datang untuk mendoakannya sebagai penghormatan atas perjuangannya.
Semasa hidup, Pangeran Sake memiliki perkebunan di Tjitrap (kini dikenal sebagai Citeureup) dan aktif melawan Belanda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dengan kakaknya, Sultan Haji, dan Pangeran Purbaya, yang memilih berpihak pada Belanda.
Peninggalan Pangeran Sake dapat terlihat dari pengaruh bahasa Sunda di Citeureup, yang memiliki dialek relatif kasar dibandingkan daerah sekitar seperti Cibinong, Gunungputri, dan Cileungsi.
Salah satu warisan sejarahnya adalah Masjid Ash-Shoheh dan makamnya, yang diyakini berada di beberapa tempat, termasuk Kampung Nangka Karangasem Timur Citeureup, Cibinong, Cileungsi, dan Cibarusah. Lokasi makam yang tersebar ini bertujuan untuk mengelabui Belanda yang terus mengawasi gerakan keturunan Sultan Ageng Tirtayasa.
Namun, makam Pangeran Sake di Kampung Nangka Karangasem Timur Citeureup adalah yang paling sering diziarahi. Sedangkan tempat lainnya dianggap sebagai petilasan perjuangan dan penyebaran ajaran Islam oleh Pangeran Sake.
Kini, makam Raden Sake di Citeureup menjadi tujuan utama para peziarah, terutama pada malam Selasa dan malam Jumat. Ada mitos yang menyebutkan bahwa sosok gaib Pangeran Sake sering hadir di sekitar makam pada malam-malam tersebut.
Pangeran Sake memainkan peran penting dalam mengubah keyakinan masyarakat Citeureup dari pengaruh Hindu-Budha menjadi Islam. Warisan agama Islam di Bogor dan Jakarta masih terasa hingga saat ini, dengan banyaknya yayasan Islam dan pesantren yang berkembang di wilayah tersebut.
Sumber: Berbagai Sumber