SUKABUMIUPDATE.com - Waduk Jatigede yang terletak di Kabupaten Sumedang merupakan salah satu danau buatan terbesar di Indonesia.
Waduk dengan luas 4.983 hektar ini berfungsi untuk menampung cadangan air, mencegah banjir, mengairi lahan pertanian, menyediakan tenaga listrik melalui pembangkit listrik tenaga air, serta menjadi salah satu tujuan wisata populer di Provinsi Jawa Barat.
Waduk ini diresmikan pada tahun 2015 dan mulai beroperasi penuh dua tahun kemudian. Namun, tak banyak yang tahu bahwa rencana pembangunan Waduk Jatigede sebenarnya telah ada sejak masa pemerintahan Hindia Belanda.
Pada masa itu, Pemerintah Hindia Belanda telah merancang pembangunan tiga waduk di sepanjang Sungai Cimanuk, di mana Waduk Jatigede merupakan waduk utama yang direncanakan sebagai yang terbesar. Akan tetapi, rencana ini gagal terlaksana karena mendapat penolakan dari masyarakat di Sumedang.
Setelah beberapa dekade, gagasan untuk membangun Waduk Jatigede kembali diangkat. Berdasarkan berbagai sumber, tahap awal yang dilakukan adalah merelokasi desa-desa yang berada di area pembangunan waduk.
Berdasarkan catatan sejarah, terdapat 28 desa di Kecamatan Darmaraja, Kecamatan Wado, Kecamatan Jatigede, dan Kecamatan Jatinunggal yang termasuk dalam area genangan waduk.
Relokasi pertama dimulai pada tahun 1982, kemudian desain pembangunan waduk ini dibuat pada tahun 1988, dan dilanjutkan dengan proses konstruksi yang berlangsung dari tahun 2007 hingga 2015.
Setelah melalui beberapa kali penataan, Waduk Jatigede kini membawa banyak manfaat positif. Selain untuk masyarakat Sumedang, waduk ini juga memberikan keuntungan bagi lahan pertanian di Kabupaten Majalengka, Kuningan, Cirebon, dan bahkan Indramayu.
Namun di balik keindahan Waduk Jatigede, terdapat sejumlah mitos yang beredar secara turun-temurun di kalangan masyarakat sekitar waduk. Salah satu mitos terkenal adalah cerita tentang pertarungan antara kekuatan gaib Bodas dan Buaya Putih di waduk tersebut.
Sejak waktu yang tak diketahui, Sungai Cimanuk diyakini sebagai tempat tinggal dua makhluk raksasa, Keuyeup Bodas dan Buaya Putih, yang merupakan jelmaan jin. Keduanya memiliki banyak pengikut dan hidup di Sungai Cimanuk, meskipun hubungan mereka selalu dipenuhi permusuhan.
Karena sifat serakahnya, Buaya Putih ingin menguasai seluruh aliran Sungai Cimanuk dari hulu hingga ke muara di pesisir utara Indramayu, menempatkan dirinya sebagai penguasa tunggal.
Dengan kesombongannya, Buaya Putih menyatakan dirinya sebagai penguasa sungai dan memerintahkan para pengikutnya untuk membuat danau besar dengan membendung Sungai Cimanuk.
Di danau buatan ini, Buaya Putih berniat menghabiskan waktu berbulan madu bersama putri dari Ratu Pantai Utara. Pengikutnya, termasuk kura-kura, biawak, dan ikan-ikan, patuh menjalankan perintah tersebut.
Namun, kelompok Keuyeup Bodas, termasuk makhluk kecil seperti kepiting, menentang rencana pembuatan danau itu. Hal ini membuat mereka menjadi sasaran amarah Buaya Putih yang tengah dilanda asmara.
Buaya Putih kemudian memerintahkan panglima-panglimanya untuk membasmi Keuyeup Bodas dan semua pengikutnya, dengan mengerahkan ribuan prajuritnya. Akan tetapi, tak satu pun dari mereka yang tertangkap, karena Keuyeup Bodas dan pasukannya telah bersembunyi di tempat yang aman sebelum serangan tiba.
Mengira kelompok Keuyeup Bodas telah pergi ke tempat lain, pasukan Buaya Putih melanjutkan perjalanannya ke wilayah Sanghyang Tikoro. Di sana, mereka bersatu untuk menghancurkan tebing-tebing sungai, menyebabkan tanah longsor yang akhirnya menutup aliran sungai dan mengakibatkan banjir di area persawahan dan ladang.
Menyaksikan kejadian ini, Keuyeup Bodas tidak tinggal diam. Ia menyerukan agar para pengikutnya meruntuhkan penahan air, karena hal ini bisa mengancam keselamatan manusia di sekitar.
Setelah penghalang air dihancurkan, banjir pun surut, membuat Buaya Putih sangat marah. Ia menyadari bahwa kejadian itu adalah ulah Keuyeup Bodas, sehingga dengan penuh amarah, ia memerintahkan pengikutnya untuk menyerang kelompok Keuyeup Bodas.
Namun, para panglima Buaya Putih menentang perintah ini, karena mengalahkan Keuyeup Bodas bukanlah hal yang mudah. Para panglima menyarankan bahwa untuk menundukkan Keuyeup Bodas diperlukan strategi cerdik dan rencana matang.
Pada akhirnya, Buaya Putih mengumumkan tawaran damai. Namun, Keuyeup Bodas menolak tawaran tersebut, yang membuat Buaya Putih semakin marah. Pertarungan pun tak terhindarkan, dan pada akhirnya, Keuyeup Bodas berhasil dikalahkan.
Buaya Putih kemudian bersumpah bahwa selama ia masih hidup, ia akan terus berusaha membendung Sungai Cimanuk. Ia juga bersumpah bahwa jika ia mati, rohnya akan mempengaruhi pemimpin negara di masa depan sehingga suatu saat nanti bangsa asing akan datang ke Cinambo untuk meneruskan misinya membendung sungai.
Keuyeup Bodas hanya menjawab dengan singkat, “Silakan, asal bisa!” Jawaban ini membuat Buaya Putih semakin geram. Saat hendak menyerang, Keuyeup Bodas berubah menjadi cahaya putih yang melesat ke angkasa, diikuti Buaya Putih yang seketika berubah menjadi cahaya merah dan mengejarnya ke langit.
Sumber: (Disparbud Jawa Barat dan Cipakuputrablog)