Perdebatan apakah Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi terkena pasal gratifikasi saat ia dan istrinya Erina Gudono memakai privet jet Gulfstream G650ER ke AS, masih terus berlanjut.
Prof. Dr. Mahfud MD menyatakan, apa yang dilakukan Kaesang adalah gratifikasi. Apa yang dikatakan mantan Menko Polhukam itu, mempunyai alasan hukum. Antara lain, karena Kaesang sebagai anak presiden. Anak presiden, meski bukan pejabat negara, tetapi mendapat keistimewaan yang melekat pada keluarga presiden, seperti pengawalan Paspampres, bisa ikut kegiatan presiden, bebas keluar masuk istana, dan lain-lain.
Di samping itu, Kaesang pun menjadi pimpinan puncak Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Partai politi adalah pilar penting sistem demokrasi dan kenegaraan Republik Indonesia.
Itulah sebabnya, apa yang dilakukan Kaesang dalam hal penggunaan pesawat private jet milik perusahaan swasta Garena Online LTD Singapura di atas termasuk gratifikasi. Karena Kaesang adalah "anak presiden" plus "pejabat tinggi" politik.
Sementara pendapat lain, seperti dinyatakan Bobby Nasution, Walikota Medan, apa yang dilakukan Kaesang Pangarep tersebut bukan merupakan gratifikasi. Alasannya, kata menantu Presiden Jokowi itu, Kaesang bukanlah pejabat publik. Ia adalah pengusaha.
Jadi masalah pemakaian private jet tersebut murni urusan bisnis. Tidak ada kaitannya dengan gratifikasi.
Sementara itu, KPK telah menerima aduan dari masyarakat perihal Kaesang dan private jet tadi. Antara lain dari Bonyamin Saiman, ketua MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) dan Ubedilah Badrun, dosen UNJ (Universitas Negeri Jakarta).
Lalu, manakah yang benar? Tergantung, siapa yang berkomentar. Kelompok yang pro-pemerintah Jokowi hampir bisa dipastikan, akan membela Kaesang -- bahwa sang putra adalah seorang pengusaha. Private jet tadi adalah urusan business to business (B to B).
Sedangkan yang oposan pemerintah atau kontra Jokowi akan menyatakan Kaesang menerima gratifikasi karena Kaesang anak presiden dan ketua umum PSI.
KPK sendiri sebelumnya berniat mengklarifikasi soal private jet kepada Kaesang. Tapi belakangan, niat tersebut melemah. Bahkan kemudian KPK membatalkan rencana mengklarifikasi terhadap Kaesang.
"Sebagaimana kita ketahui sudah ada laporan masuk, bahwa saat ini fokus penanganan isu terkait gratifikasi saudara K (Kaesang) difokuskan di proses penelaahan yang ada di Direktorat Penerimaan Layanan Pengaduan Masyarakat," kata Jubir KPK Tessa Mahardhika Sugiarto di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (4/9/2024). Sejatinya, klarifikasi terhadap Kaesang akan dilakukan oleh Direktorat Gratifikasi KPK. Namun, Tessa mengatakan KPK kini akan fokus menelaah laporan dari masyarakat dan meninggalkan rencana undangan klarifikasi kepada Kaesang di Direktorat Gratifikasi.
Baca Juga: Video Kaesang dan Erina Naik Jet Pribadi Viral, Borong Tas Dior Tanpa Diperiksa Bea Cukai?
Masalahnya, KPK sekarang -- KPK sudah tidak independen lagi. KPK kini berada di bawah Presiden. Seperti halnya Kepolisian, Kehakiman, dan Kejaksaan. Apakah KPK sebagai "bawahan presiden" berani menuduh Kaesang menerima gratifikasi?
Menanggapi posisi KPK yang di bawah Presiden itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof Pujiyono, menyatakan KPK yang merupakan simbol perlawanan terhadap tindak pidana korupsi yang diandalkan harus bisa bersikap tegas. KPK harus punya keberanian untuk melakukan pemeriksaan. Sehingga klarifikasi terhadap Kaesang diperlukan karena kasus tersebut menyangkut kepentingan publik.
"Saya berharap KPK sebagai simbol perlawanan tindak korupsi yang selama ini kita andalkan, ya tidak seakan-akan seperti ini. Satu pimpinan mengatakan akan diperiksa, lalu pimpinan lain menganulir. Harus ada sikap keberanian biar publik juga tahu karena apa pun yang dilakukan, kalau betul itu gratifikasi dan benar seperti itu. Itu kan tidak etis," kata Pujiyono kepada wartawan, Jumat (6/9/2024).
"Kita pertama menempatkan secara proporsional dalam konteks, kita tidak melihat Kaesang-nya ya, tetapi dari substansi hukum. Kalau kita bicara hukum apakah Kaesang itu sebagai subjek, dalam hal ini menjadi subjek pelaku tindak pidana gratifikasi atau tidak, kalau di undang-undang memang tidak, tetapi harus kita lihat bahwa kenapa kalau misalnya betul dia dapat gift dari pihak lain itu karena apa? Bukan karena dia, tetapi adalah barangkali melihat siapa dia, anaknya siapa, saudaranya siapa, kan begitu artinya," sambung Pujiyono.
Apa yang dikatakan Prof. Pujiyono benar. Kaesang sebagai pribadi dan pengusaha, no body. Tapi sebagai anak presiden Kaesang adalah some body.
Kaesang punya pengaruh sebagai "anak kandung" Presiden. Pengaruh itu dalam "social and economic business" harganya mahal. Karena itu, kasus private jet tersebut merupakan bentuk perdagangan pengaruh tersebut.
Dalam konteks ini, mungkin pasal gratifikasi, masih debatable. Tapi dalam transaksi pengaruh, jelas tak bisa diperdebatkan lagi.
Meski hukum positif bisa dimanipulasi untuk membebaskan Kaesang dari tuduhan menerima gratifikasi, tapi secara etika, jelas sekali, sang putra presiden tak bisa lepas dari posisi ayahnya.
Di Korea Selatan mantan Presiden Moon Jae-in (2017-2O22) menjadi tersangka di pengadilan karena membantu menantu laki-lakinya (Seo) meraih posisi strategis di perusahaan maskapai penerbangan pada tahun 2018 lalu. Betul kasus Seo beda dengan Kaesang. Tapi prinsipnya sama. Sang menantu punya pengaruh besar karena mertuanya presiden.
Hal yang identik pernah terjadi pada Choel Mallarangeng. Ia divonis KPK 3,5 tahun karena terbukti menerima gratifikasi Rp 2 Milyar dari pengusaha. Padahal Choel bukan pejabat negara. Juga bukan pegawai negeri. Tapi ia jadi pesakitan KPK karena Choel adalah adik kandung Menpora era SBY, Andi Alfian Mallarangeng.
Menurut Mahfud MD kasus Choel bisa menjadi jurisprudensi untuk Kaesang. Jadi dasar hukumnya sudah ada.
Dalam Islam, ada contoh menarik. Nabi Muhammad pernah bersabda, siapa pun yang "mencuri" harus dipotong tangannya, meski Fatimah sekali pun.
Fatimah adalah anak kesayangan Nabi. Diksi “mencuri” di sini, secara fikih modern, bisa diperluas menjadi mencuri uang negara (korupsi) atau menerima gratifikasi sebagai jalan untuk memperlancar korupsi.
Dalam fikih Islam, segala tindakan yang dapat mempermudah atau mendekatkan seseorang pada perbuatan terlarang, dianggap terlarang. Dalam Al-Qur'an terdapat ayat yang menyatakan, "wa lā taqrabū az-zinā" (janganlah kalian mendekati zina).
Perintah untuk tidak mendekati zina tidak sama dengan perbuatan zina itu sendiri. Sebagai contoh, jika seorang pria dan wanita melakukan hubungan badan di hadapan tiga orang saksi, hal tersebut belum memenuhi syarat minimal untuk dianggap sebagai melakukan tindak pidana zina. Namun, dalam konteks ayat tersebut, tindakan seperti ini dilarang karena dapat membuka peluang untuk melakukan perbuatan tindak pidana zina. Dengan tambahan satu saksi lagi, tindakan tersebut akan memenuhi syarat minimal sebagai tindak pidana zina.
Dengan berpedoman pada hadis dan Qur’an surat Al-Isra (17): 32 tersebut, jelas sekali kaitan logikanya pada tuduhan gratifikasi terhadap Kaesang.
Sekali lagi, Kaesang memang bukan pejabat. Juga bukan pegawai negeri. Tapi Kaesang adalah anak presiden.
Sebagai anak presiden, Kaesang punya pengaruh kuat dalam menggolkan berbagai persoalan penting di Indonesia. Menurut Mahfud, seorang presiden di Indonesia, mempunyai kekuatan besar untuk menentukan kebijakan apa pun.
Presiden adalah kepala negara, kepala pemerintahan, dan panglima tertinggi angkatan bersenjata. Kekuatannya sungguh super. Apalagi di Indonesia belum ada Undang Undang Lembaga Kepresiden yang mengatur batas-batas kewenangan presiden.
Dari perspektif inilah, kenapa Kaesang dengan mudah dapat "fasilitas private jet" dari pengusaha untuk "bepergian" ke AS.
Dalam peribahasa Belanda, "Tak ada makan siang yang gratis". Pasti ada udang di balik batunya!
Penulis: Dr. Abdul Aziz, M.Ag | Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said, Surakarta