SUKABUMIUPDATE.com - Selama tahun-tahun prasekolah atau yang biasa disebut balita, tantrum adalah bagian dari kehidupan yang normal. Seperti saling melempar atau mengambil mainan, karena tidak memiliki kosa kata atau keterampilan sosial untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan dan butuhkan.
Ledakan emosi ini memberikan kesempatan kepada orang tua untuk mengajari anak-anak cara mengekspresikan dan mengatur emosi mereka. Namun, kemarahan dan frustasi anak juga bisa menjadi salah satu tanda stres.
Berdasarkan penelitian psikologis menunjukkan bahwa anak-anak mungkin akan bertingkah laku menyebalkan jika salah satu anggota keluarganya sakit, dan kedua orang tuanya bercerai.
Baca Juga: 6 Kebiasaan Ini yang Meningkatkan Lonjakan Gula Darah, Bukan Hanya Makanan Manis!
Patut diketahui, kemarahan dan frustasi adalah hal yang wajar, namun orang tua perlu meresponsnya dengan baik.
Jika tidak ditangani, masalah perilaku buruk ini di masa kanak-kanak dapat mempersulit mereka untuk berhasil di sekolah dan bisa meningkatkan risiko masalah kesehatan mental, penyakit fisik, dan penyalahgunaan zat di kemudian hari.
Untungnya, ada cara yang terbukti untuk membantu. Panduan berikut ini berakar pada bukti yang sama mengenai perilaku dan pengembangan yang membuat program-program ini efektif.
Berikut saran dari psikolog tentang cara membantu anak mengatasi amarah dan frustasi yang telah dirangkum dari laman apa.org, diantaranya yaitu :
Baca Juga: Kadar Gula Darah Terkendali, 4 Makanan Manis yang Aman Dikonsumsi Penderita Diabetes
1. Ajari Anak Cara Menenangkan Diri
Anak kecil sering kali mengamuk karena menginginkan sesuatu namun tidak tahu bagaimana cara mendapatkannya. Untuk itu, cobalah pegang tangan mereka dan tarik napas dalam-dalam secara bersamaan.
Selain menarik napas dalam-dalam, orang tua dapat mengajarkan strategi pengaturan emosi lainnya, kata psikolog klinis Carolyn Webster-Stratton, PhD, yang mengembangkan seri Incredible Years. Dia merekomendasikan:
- Menawarkan ungkapan-ungkapan bermanfaat yang dapat diucapkan anak-anak kepada diri mereka sendiri ketika merasa frustasi.
- Menggunakan gambaran positif, seperti buku bergambar di mana anak-anak menggambar tempat-tempat yang membuatnya merasa tenang, bahagia, dan dicintai.
- Memasukkan alat bantu visual, seperti termometer, di mana anak-anak dapat menurunkan “suhu” emosi mereka dari merah menjadi biru.
2. Bantu Anak-Anak Mempelajari Kata-Kata untuk Mengungkapkan Emosi
Ketika anak-anak belajar memperhatikan dan menjelaskan perasaan, mereka dapat menggunakan kata-kata untuk menyampaikan rasa frustrasi daripada perilaku marah.
Sehingga orang tua bisa mengajarkan kata-kata emosional seperti sabar, tenang, bahagia, frustasi, marah, sedih dan membantu anak-anak menghubungkan setiap istilah dengan sensasi fisik yang menyertai emosi tersebut, kata Mark Greenberg, PhD, seorang profesor emeritus perkembangan manusia dan psikologi di Penn State University.
Baca Juga: 8 Makanan Lebaran yang Sebaiknya Tidak Dimakan Penderita Gula Darah Tinggi
3. Sampaikan dan Jelaskan Konsekuensinya
Ketika seorang anak berperilaku buruk, penting untuk memberikan konsekuensi yang konsisten disertai dengan penjelasan, sehingga anak belajar bahwa ada hubungan antara perilakunya dan responnya.
4. Hindari Disiplin Keras dan Berat
Tanggapan terhadap perilaku buruk harus modern dan konsisten. Jika seorang anak kadang-kadang mendapatkan hukuman untuk menyendiri di kamar, tetapi tidak pada orang lain, maka mereka tidak akan belajar bahwa perilaku agresif membawa konsekuensi. Justru akan menaruh kemarahan luar biasa pada orang tua.
Hindari bereaksi berlebihan dengan disiplin yang keras dan berat, karena hal ini dapat membahayakan kesehatan mental dan perkembangan anak.
Baca Juga: 7 Ramuan Herbal Pagi Hari untuk Menurunkan Kadar Asam Urat dalam Darah
5. Ketahui Kapan Harus Mencari Bantuan Profesional
Ingatlah bahwa ledakan emosi sesekali adalah hal yang normal pada anak usia prasekolah. Namun, jika perilaku agresif terus berlanjut, maka orang tua dapat mencari nasihat dari pusat kesehatan mental atau program pelatihan orang tua berbasis bukti untuk mempelajari lebih lanjut tentang perbedaan antara perilaku normal dan pola yang bisa menimbulkan masalah dari anak-anak.
Selain itu, program pelatihan orang tua juga dapat meningkatkan keterampilan sosial-emosional, memperkuat hubungan, dan membantu menetapkan dan menegakkan aturan, untuk anak.