SUKABUMIUPDATE.com - Masatia, salah satu bentuk tradisi pemakaman di Bali, Indonesia yang cukup menarik perhatian. Bukan hanya soal kesan sadis, praktik pemakaman ini juga menyentuh relung hati karena kisah sedih janda yang ditinggal suaminya.
Masatia atau Masatya (dalam bahasa Bali berarti "setia"), dikutip dari p2k.stekom.ac.id, adalah praktik pemakaman religius yang pernah dilangsungkan di Pulau Bali. Praktik Masatia dilakukan ketika wanita dari keluarga kerajaan yang baru saja menjadi Janda membakar diri di atas api kremasi suaminya.
Awalnya, deskripsi praktik ini tercatat Ma Huan, anggota ekspedisi Cheng Ho ke Jawa antara 1413 dan 1415. Kemudian, catatan kesaksian Belanda pertama mengenai pengorbanan perempuan di Bali dicatat oleh Jan Oosterwijck.
Baca Juga: Kosmologi Kasepuhan, Konsep Hidup Masyarakat Kampung Sinaresmi Sukabumi
Oosterwijck merupakan seorang saudagar kepala (Opperkoopman) dalam kongsi dagang VOC. Pada Februari 1633, Gubernur Jendral Hendrik Brouwer mengirim Oosterwijck untuk misinya ke Bali, yaitu bertemu dengan raja yang sedang berduka setelah kematian dua anak dan ibunya.
Saat proses kremasi, tercatat 22 budak perempuan melemparkan diri ke kobaran api setelah menikam diri atau mendapat tikaman keris dari algojo. Sementara dalam prosesi pemakaman dua putra raja, 42 perempuan dan 34 lainnya ditikam dan dibakar, termasuk dua istri utama dari pangeran tersebut.
Praktik Masatia di Bali, Indonesia, dilaksanakan oleh keluarga kerajaan di setidaknya hingga tahun 1903 silam. Konon, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Willem Rooseboom sangat murka karena tidak dapat menghentikan upacara Masatia di Tabanan pada tahun tersebut.
Baca Juga: Penelitian: Melihat Wajah Pria Tampan Berdampak Positif untuk Otak
Akhirnya, pemerintahan Hindia Belanda (baca: Indonesia) dengan alasan kemanusiaan dan terdorong oleh tindakan Inggris yang melarang praktik Sati di India, memaksa para penguasa di Bali untuk melarang Masatia.
Hingga pada tahun 1905, semua penguasa Bali telah bersedia menghapuskan praktik Masatia tersebut.
Menurut pengamat dari Belanda pada abad ke-17, hanya janda dari keluarga kerajaan yang dapat dibakar hidup-hidup. Jika selir dan orang-orang lain -yang dianggap "rendah" darahnya- ingin melakukan Masatia, mereka harus ditusuk hingga mati terlebih dahulu sebelum dapat dibakar.
Sumber: p2k.stekom.ac.id