SUKABUMIUPDATE.com - Konsep Kosmologi menjadi salah satu prinsip hidup masyarakat Kampung Adat Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Sinaresmi sendiri merupakan salah satu Kampung Adat di Kabupaten Sukabumi, tepatnya di Kecamatan Cisolok.
Kosmologi Kasepuhan merupakan sebuah pandangan dunia yang memahami bahwa alam semesta adalah sebuah sistem yang teratur dan seimbang. Konsep Kosmologi Kasepuhan akan tetap lestari, selama elemen-elemennya masih tetap ada dan terkontrol oleh hukum keteraturan dan keseimbangan yang dikendalikan oleh pusat kosmiknya.
Salah satu hal yang identik dengan Konsep Kosmologi Kasepuhan Sinaresmi adalah ungkapan "Beuteung seubeuh, baju weuteuh, imah pageuh, pamajikan reuneuh". Ungkapan “Beuteung seubeuh, baju weuteuh, imah pageuh, pamajikan reuneuh” berarti perut terisi, baju pantas, rumah kokoh, kesinambungan keturunan.
Mengutip laman resmi Kemdikbud RI tentang "Kesatuan Adat Kasepuhan: Melestarikan Tradisi Lestari", ungkapan tersebut bertolak belakang dengan program intensifikasi pangan. Yakni, bagi masyarakat Kasepuhan, menanam padi adalah bagian dari menjaga keselarasan dengan alam, menjaga keteraturan kosmik.
Makna ungkapan “Beuteung seubeuh, baju weuteuh, imah pageuh, pamajikan reuneuh” yaitu hasil tani dari menggarap tanah tidak perlu menunjukkan produktivitas tinggi yang menyebabkan lahan rusak. Namun yang penting, hasil tani dapat memenuhi semua kebutuhan hidup, bahkan membuat hidup menjadi tentram dengan masih bisa menghidupi keturunan dan terpenuhinya bahan makan.
Baca Juga: Cara Cek Pengumuman Hasil PPDB Jabar 2023 Jenjang SMA/Sederajat Wilayah Sukabumi
Sebelumnya diberitakan, wilayah komunitas Kasepuhan Adat Sinar Resmi dikelilingi oleh lahan pertanian huma, sawah dan perkebunan.
Lokasi Kampung Adat Sinaresmi ini membentuk tradisi utama Kasepuhan, yakni mata pencaharian yang bertumpu pada pertanian padi huma. Kemudian juga menciptakan pola hubungan manusia dengan alam dan aturan bagaimana manusia mengelola sumber daya alam, sekaligus menegaskan pola adaptasi manusia dan pemenuhan nafkah keluarga yang bertumpu pada pertanian.
Dari generasi ke generasi, warga Kasepuhan diajar dan dituntut untuk mengenal dan bergaul akrab dengan lingkungan alamnya. Pergaulan, imajinasi, pengetahuan dan pemahaman tentang hakekat alam ini menghasilkan kosmologi Kasepuhan.
Pola pertanian tradisional Kasepuhan sangat erat kaitannya dengan praktik pertanian, institusi sosial dan sistem kepercayaan dengan unsur-unsur alam seperti air, tanah, udara, cuaca, sinar matahari dan sebagainya (Ibu Bumi, Bapak Langit dan Guru Mangsa). Konsep Kosmologi menggantungkan aktivitas pertanian pada kepercayaan terhadap alam bahwa mengolah lahan pertanian, sama halnya dengan memperlakukan bumi selayaknya manusia (ibu).
Dengan Kosmologi ini, masyarakat Kasepuhan hanya menanam padi tertentu, pantang menjual beras dan mematuhi perintah untuk berpindah tempat menurut wangsit karuhun (leluhur, nenek moyang). Ini diperoleh melalui Abah dan penerusnya. Jika tradisi ini dilanggar, maka akan mendapat kabendon (hukuman adat).
Baca Juga: 5 Mitos Batu Hitam di Dunia, Ada Misteri Sekitar Stadion Suryakencana Sukabumi!
Bertani cukup setahun sekali untuk menghormati Ibu Bumi, karena bumi dianggap sebagai makhluk hidup, sehingga tidak baik jika dipaksa melahirkan dua kali dalam setahun.
Dalam pengalaman Kasepuhan, menanam padi yang dipacu untuk intensifikasi memang bisa menghasilkan panen dua kali setahun. Akan tetapi padi yang dihasilkan justru kurus dan tidak ada sisa yang bisa disimpan, malah paceklik.
Secara logika, panen dua kali berarti membutuhkan dua buah leuit untuk menyimpan hasil panen, tetapi kenyataannya justru kosong. Tidak ada padi yang bisa disimpan, karena habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan padi cepat membusuk.
Warga Kasepuhan mengenal sekitar 50 jenis padi. Dengan pola tanam-panen sekali dalam setahun, padi yang dihasilkan memiliki kualitas yang lebih baik, gemuk.
Hasil panen ada yang bisa disimpan, sekaligus menjaga ketahanan pangan. Padi yang disimpan ini dapat bertahan hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.
Sumber: Kebudayaan Kemdikbud RI