SUKABUMIUPDATE.com - Victim blaming adalah lawan istilah dari playing victim. Fenomena ini kerap disepelekan padahal dampaknya sama seperti korban playing victim.
Melansir dari hellosehat.com via Yoursay.Id (portal suara.com), Victim blaming adalah fenomena ketika korban kejahatan atau tindakan kekerasan justru disalahkan atas apa yang telah menimpa dirinya. Dalam konteks ini kejahatan bisa sangat luas, seperti kasus pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual.
Misalnya, ketika seseorang mengalami pelecehan seksual di suatu tempat dan berusaha untuk mengungkapkan apa yang dialami pada orang yang ia percaya. Bukannya mendapat respon positif, ia justru disalahkan atas kejadian yang menimpanya.
Baca Juga: Perdebatan "Tomat Buah atau Sayur" Eksis Sejak 1893, Jawabannya?
Contohnya ada ungkapan "Pantas aja kamu jadi korban, penampilan kamu terbuka kayak gitu." atau "Makanya malam-malam jangan lewat di gang sepi sendirian, kalau ada kejadian yang nggak pantas kan nggak bisa nyalahin siapa-siapa."
Nah, kalimat-kalimat seperti itulah yang memberikan dampak buruk pada psikis korban yang mengalami kejadian tersebut. Padahal, bagaimanapun juga pelaku tetaplah pelaku karena melakukan kejahatan secara sadar.
Reaksi umum masyarakat yang disebut victim blaming ini seringkali dilakukan secara sengaja maupun tidak disengaja. Biasanya yang banyak terjadi dilakukan secara verbal, tetapi ada juga yang menunjukkan sikap menyalahkan si korban.
Karena fenomena victim blaming inilah kebanyakan korban kekerasan memilih untuk bungkam sebab ia merasa tidak aman dan semakin memperburuk kondisi mentalnya jika bicara jujur.. Alih-alih mendapat dukungan, ia malah disalahkan.
Baca Juga: Tiket Gratis Kereta Cepat Jakarta Bandung: Syarat dan Cara Daftar
Segala jenis kejahatan maupun kekerasan berpotensi besar menimbulkan trauma pada korban.
Sebagaimana dilansir dari Goodtherapy, tanpa disadari, dampak victim blaming dapat membuat korban merasa seolah-olah mereka diserang terus-terusan. Hal ini dapat berkembang menjadi gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, depresi dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Tindakan victim blaming ini tak jarang mempersulit upaya korban untuk melaporkan tindak kejahatan yang dialami. Sebab, dukungan emosional dari orang terdekat tak tercukupi.
Tak hanya menyalahkan situasi tertentu, orang malah dengan tega menghakimi sehingga membuat si korban tidak percaya diri untuk memperjuangkan kebenarannya. Artinya, orang yang melakukan victim blaming turut berkontribusi mendukung kejahatan sebagai suatu perbuatan yang dapat ditoleransi.
Pada kenyataannya, sikap victim blaming justru memperkuat taktik manipulasi pelaku untuk melakukan kejahatan serupa pada calon korban lainnya.
Baca Juga: Mengenal Sindrom Asperger: Pengidap Disabilitas yang Cerdas, Termasuk Autis?
Pada kasus yang serius, tak hanya dilakukan oleh orang awam, seorang hakim yang memiliki kendali memperjuangkan kebenaran juga bisa melakukan victim blaming atas kasus yang mereka tangani. Hal ini akan semakin memperparah kondisi psikis korban karena tidak adanya keadilan yang ia terima.
Alih-alih hukuman, pelaku bisa mendapat keringanan bahkan penangguhan hukum dan korban akan menjadi semakin putus asa dan trauma karena tak bisa melakukan apa apa. Oleh karena itu, korban harus menjalani terapi psikologis untuk mengatasi trauma yang dialami.
Maka dari itu, sebagai manusia normal jika menemukan teman, saudara maupun orang yang mengalami kejahatan atau pelecehan seksual, jangan menyalahkan atau mengajukan pertanyaan yang dapat menyudutkannya. Tetapi sebaliknya, berikan dukungan semampu kita dan jadilah tempat yang nyaman untuk mereka bercerita.
Demikian penjelasan mengenai fenomena victim blaming yang banyak ditemukan namun seringkali disepelekan. Setelah tahu dampak buruk yang bisa terjadi, sebaiknya kita menghindari untuk melakukan victim blaming pada korban dan memberinya dukungan emosional atas kejadian buruk yang dialami.
Sumber: Yoursay.Id (portal suara.com)