SUKABUMIUPDATE.com - Ari-ari bayi berperan menjadi media penyalur nutrisi dari ibu kepada buah hatinya. Di Sukabumi sendiri, tradisi membuang ari-ari bayi juga dilakukan dengan cara serupa.
Biasanya, masyarakat membuang ari-ari bayi dengan dua cara, yakni dikubur atau dibuang ke sungai.
Tak sembarangan! Cara membuang ari-ari bayi konon katanya berpengaruh terhadap karakter anak tersebut saat dewasa.
Cara Membuang Ari-ari Bayi dalam Islam
Soal cara membuang ari-ari bayi dalam Islam, laman resmi Nahdlatul Ulama (NU Online) pernah menjelaskan "Hukum Mengubur Ari-ari Bayi Beserta Tulisan Surat Al-Fatihah". Ditulis oleh Ahmad Muntaha pada Kamis, 29 Desember 2022 lalu, pukul 18:30 WIB.
Disebutkan, mengubur ari-ari bayi disertai tulisan Al-Fatihah identik dengan kasus hukum menulis bismillah atau doa-doa tertentu pada kafan mayit yang akan dikuburkan.
Para ulama berbeda pendapat tentang hal itu, ada yang memperbolehkan, meskipun banyak yang melarangnya. Alasan ulama memperbolehkan karena menganggapnya sebagai tabaruk dan sejenisnya. Sedangkan ulama yang melarang memandang tulisan kalimat mulia itu nantinya akan terkena najis dari jasad mayit saat membusuk di dalam kubur.
Baca Juga: Jejak Pegasus, Alat Sadap Mematikan Pembungkam Suara Rakyat Indonesia
Ulama yang setuju salah satunya seperti Syekh Muhammad bin Ali Al-Hashkafi dari mazhab Hanafi, yang menyatakan:
كُتِبَ عَلَى جَبْهَةِ الْمَيِّتِ أَوْ عِمَامَتِهِ أَوْ كَفَنِهِ عَهْدُ نَامَهْ يُرْجَى أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لِلْمَيِّتِ. أَوْصَى بَعْضُهُمْ أَنْ يُكْتَبَ فِي جَبْهَتِهِ وَصَدْرِهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَن الرَّحِيم، فَفُعِلَ
Artinya: “Apabila di jidat mayit, sorban atau kafannya dituliskan doa 'ahdu namah, maka diharapkan Allah akan mengampuni mayit. Sebagian ulama berwasiat saat meninggal nanti agar di jidat dan di dadanya dituliskan bismillahirrahmanirrahim, lalu hal itu dilakukan.” (Muhammad bin Ali Al-Hashkafi, Ad-Durrul Mukhtar, [Beirut, Darul Fikr: 1368 H], juz II, halaman 246).
Syekh Ibnu Abidin turut menyatakan pula terkait tabarruk dan sejenisnya. Kemudian, ada keterangan Syekh Muhammad bin Ali Al-Hashkafi yang menunjukkan kebolehan atau kesunahannya. Seperti riwayat dari Imam As-Shaffar dan Syekh Nushair yang tegas memperbolehkannya” (Ibnu Abidin, Raddul Muhtar, [Beirut, Darul Fikr: 2000], juz II, halaman 246).
Baca Juga: Apakah Sindrom Asperger Disebabkan Oleh Faktor Genetik? Simak Penjelasannya!
Pendapat berbeda dari ulama yang melarang karena akan membuat najis tulisan kalimat-kalimat mulia tersebut, adalah para ulama Syafi'iyah. Diantaranya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan Imam Ibnus Shalah. Ibnu Hajar juga menegaskan, yang artinya:
“Sungguh Imam Ibnus Shalah telah memfatwakan bahwa tidak boleh menulis sesuatu pun dari Al-Quran pada kafan karena menjaganya dari nanah jenazah.
Demikian pula menulis tulisan yang dinamakan Kitabul 'Ahdi hendaknya tidak boleh. Para ulama yang hidup setelah Ibnus Shalah pun sudah menetapkan persetujuan atas fatwanya. Ini sudah sangat jelas argumentasinya, karena Al-Quran dan setiap nama yang diagungkan, seperti nama Allah atau nama nabi hukumnya wajib dimuliakan, dihormati dan diagungkan.
Tidak ada keraguan sama sekali bahwa menulis dan meletakkannya di kain kafan merupakan penghinaan yang paling besar. Karena tidak ada penghinaan sebagaimana penghinaan membuatnya terkena najis.
Kita pasti tahu bahwa tulisan yang ada di kafan mayit pasti akan terkena sebagian darah, nanah atau najis lainnya dari tubuh mayit. Karenanya, meletakkan tulisan nama-nama yang diagungkan di kafan mayit termasuk hal-hal yang hendaknya tidak diragukan lagi keharamannya.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawal Fiqhiyah Al-Kubra, juz II, halaman 7).
Sumber: NU Online