SUKABUMIUPDATE.com - Inara Rusli beberapa waktu lalu akhirnya memutuskan untuk menggugat cerai Virgoun di Pengadilan Agama Jakarta Barat.
Dalam keputusan perceraian tersebut, Inara Rusli mengajukan 11 tuntutan, salah satunya adalah nafkah mut’ah yang jumlahnya sangat besar, yaitu Rp10 miliar.
Kabar tersebut disampaikan oleh kuasa hukum Inara Rusli, yaitu Arjana Bagaskara. Uang Rp10 miliar tersebut sudah termasuk nafkah iddah sebesar Rp 2 miliar sebagai haknya Inara jelas Arjana.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Sop Iga Terenak di Sukabumi, Bisa Jadi Menu Makan Siang!
“Mbak Inara menuntut nafkah mut’ah sebesar Rp 10 miliar. Nafkah istri sih gak dituntut, ya, tapi nafkah selama gugatan dan itu hak iddahnya Rp 2 miliar kami minta ke Virgoun,” ujar kuasa hukum Inara Rusli, Arjana Bagaskara.
Selain itu, Inara Rusli juga memberikan tuntutan pada Virgoun memberikan nafkah untuk anak-anaknya sampai berusia 21 tahun, dengan nominal mencapai Rp60 juta per bulannya.
Sementara jika ditotalkan tuntutan mantan personel girlband Bexxa ini per bulannya mencapai 110 juta.
Baca Juga: 7 Rekomendasi Toko Peralatan Rumah Tangga di Sukabumi, Terlengkap!
Menurutnya, total dengan nilai yang cukup fantastis tersebut telah berdasarkan semua kebutuhan. Lalu dirincikan dalam 75 lembar tuntutan yang dilayangkan oleh wanita berusia 30 tahun tersebut.
Lantas apa sih sebenarnya nafkah mut’ah yang tuntutan dari Inara Rusli terhadap Virgoun? Untuk mengetahuinya yuk simak penjelasannya di bawah ini seperti menghimpun dari Suara.com.
Apa Itu Nafkah Mut'ah?
Tuntutan tersebut dinilai cukup wajar apalagi selama pernikahan ternyata sama sekali tidak ada transparansi keuangan dari segi Virgoun terhadap istrinya. Lantas sebenarnya apa itu nafkah mut'ah dan bagaimana ketentuannya?
Bagi banyak ulama, membayar mut’ah dan nafkah iddah merupakan salah satu yang wajib dipenuhi oleh suami yang memberikan talak pada istrinya.
Kewajiban suami agar membayar mut’ah terhadap istrinya yang dicerai ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 236 dan 241, seperti berikut.
"Dan hendaklah mereka kamu beri mut’ah bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan."
"Dan bagi perempuan-perempuan yang diceraikan hendaklah diberikan mut’ah menurut cara yang patut, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang bertakwa. Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya."
Kata mut’ah, seperti dilansir situs PTA Banten, merupakan bentuk lain dari kata al-mata’, yang berarti sesuatu yang dijadikan obyek bersenang-senang.
Adapun yang dimaksud dengan mut’ah dalam beberapa ayat di atas ialah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istri yang diceraikannya sebagai penghibur.
Secara eksplisit bahwa ayat di atas mewajibkan “kamu”, maksudnya para suami untuk memberikan mut’ah kepada “mereka”, maksudnya kepada para istri yang ditalak. Hal ini menurut riwayat sejalan dengan pendapat mayoritas Ulama Hanafiyyah.
Bahwa sesungguhnya Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa mut’ah itu wajib untuk semua istri yang ditalak.
Sebagian Ulama Malikiyyah, seperti Ibnu Shihab berpendapat semua perempuan yang ditalak di manapun di muka bumi ini berhak mendapat mut’ah.
Imam Syafi’i yang juga dipertegas oleh al-Syarbaini menyebutkan bahwa kebanyakan para sahabat yang diketahuinya, berdasarkan ayat di atas menegaskan bahwa yang berhak mendapat mut’ah adalah semua perempuan yang ditalak.
Sumber: Suara