SUKABUMIUPDATE.com - Tradisi membuang ari-ari bayi yang cukup populer di masyarakat adalah dikubur dan dibuang ke sungai. Di Sukabumi sendiri, tradisi membuang ari-ari bayi juga dilakukan dengan cara serupa.
Ada dua kepercayaan membuang ari-ari bayi yang dipegang teguh oleh masyarakat. Yakni, jika dikubur sang anak tak akan pergi jauh sementara jika dibuang ke sungai anak akan menjadi perantau ulung yang gemar berkelana.
Menilik hal tersebut sejarah budaya, pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan bahwa kepercayaan masyarakat Sukabumi soal membuang ari-ari bayi telah dilakukan secara terus menerus dari generasi ke generasi.
Baca Juga: Bu Siti Bersuami 2, Ini Dampak Buruk Poliandri pada Keturunan dan Hak Waris!
Beberapa ritual cara membuang ari-ari bayi di Sukabumi yakni mulai dari dicuci (dimandikan) di air mengalir. Alasannya sederhana, karena ari-ari bayi ini banyak mengandung darah.
Setelah bersih, ari-ari kemudian dimasukan ke paso yakni semacam kendi yang jalan masuknya berada di pinggir dan bagian atas pasonya juga terlindung. Meskipun, ada juga masyarakat yang menggunakan kendi dengan penutup.
Ari-ari bayi tersebut lalu di beri bumbu berupa garam, asem, gula, bawang merah, cabe rawit hingga bunga-bungaan. Terkadang, wadah ari-ari bayi itu juga ditutup kain putih.
Setelah ari-ari diberi bumbu, kata Irman, lubang setinggi lutut disiapkan.
"Lokasinya kalo jaman dulu dikolong talupuh/kolong teras karena rumahnya panggung, sekarang dengan rumah tembok biasanya disekitar rumah saja." kata Irman kepada sukabumiupdate.com, dikutip Selasa (30/5/2023).
Baca Juga: Nama 2 Suami Muda Bu Siti Abdul dan Somad, Apa Alasan Orang Poliandri?
Kemudian, ari-ari dikuburkan dengan diiringi doa, seperti ayat kursi sebanyak 3x dan shalawat nabi sebanyak 3x.
Tanah tersebut diberi lubang udara kecil dengan pelepah pepaya. Menurut kepercayaan masyarakat, konon lubang itu berfungsi untuk udara agar tidak pengap.
Lubang yang sudah siap diterangi lampu hingga 7 hari.
"Kalo zaman dulu menggunakan lampu teplok/cempor atau lampu centir gentur yang terlindung dari hujan." lanjut Irman.
Irman yang sekarang juga sebagai Ketua Yayasan Dapuran Kipahare mengungkapkan, pada zaman dahulu tepat pada hari ketujuh si bayi dibawa ke tempat penguburan. Tradisi membuang ari-ari bayi di Sukabumi ini disebut oleh masyarakat dengan istilah 'dianjangkeun' atau dikunjungkan ke ari-ari, yang merupakan bagian dari bayi tersebut.