SUKABUMIUPDATE.com - Baru-baru ini, tragedi penembakan kantor MUI menggegerkan masyarakat dan viral di media sosial. Pasalnya, pelaku berinisial M (50 tahun) ternyata telah lama merencanakan aksi nekat itu sejak 2018.
Kabar mengejutkan lainnya, hasil penyelidikan awal diketahui motif Pelaku penembakan kantor MUI adalah karena M tidak diakui sebagai wakil Nabi Muhammad SAW oleh MUI. Hal ini diungkap oleh Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Metro Jaya Kombes Pol Hengki Haryadi yang merujuk pada barang bukti surat.
Lantas bagaimana Cara menyikapi orang mengaku nabi seperti Pelaku Pelaku penembakan kantor MUI? Harus diam atau justru disadarkan bahwa Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad SAW? Begini penjelasan Buya Yahya!
Baca Juga: Viral Genderuwo Culik Bayi 3 Bulan di Pati, Ternyata Meninggal Dibunuh Ayahnya
Buya Yahya memberikan penjelasannya dalam channel Youtube Al Bahjah TV dengan judul "Bolehkah Menghukum Mati Nabi Palsu?", dikutip via Suara.com, Rabu (3/5/2023).
"Orang mengaku nabi berarti Murtad," tegas Buya Yahya setelah mengaku heran ada saja orang Indonesia yang berani mengaku sebagai Nabi.
Selain itu, yang lebih mengherankan lagi ada saja orang-orang yang mempercayainya, ini membuktikan bahwa keimanan orang-orang Indonesia terhadap Nabi Muhammad SAW masih sangat kurang.
"Orang yang percaya dia adalah Nabi berarti bahwa ia keluar dari iman, Murtad," imbuh Buya Yahya.
Buya Yahya merespon pertanyaan apakah orang yang mengaku Nabi ini harus dibunuh dengan menjawab bahwa "orang Murtad memang harus dibunuh. Akan tetapi, Buya Yahya memberikan penjelasan bahwa bukan tugas kita untuk melakukannya.".
Baca Juga: 39 Contoh Paribasa Sunda dan Artinya, "Dibere Sabuku Menta Sajeungkal"
Cara menyikapi orang yang mengaku Nabi berdasarkan penjelasan Buya Yahya adalah kita pun harus memperhatikan keberadaan hukum. Tidak bisa sembarangan menghukum mati orang tersebut.
"Jadi hukum itu dibagi tiga. Ada hukum imamah, ada hukum khodoq, ada hukum fard," kata Buya Yahya.
Lebih jauh, Buya Yahya menjelaskan, hukum fard itu hukum individu yang contohnya sholat lima waktu. Tidak ada urusannya dengan pemerintah. Kemudian khukum khodoq, hukum yang membuat kita tidak bisa menyelesaikan suatu perkara kecuali kita angkat perkara itu ke mahkamah konstitusi, misalnya persengketaan harta warisan, dan lain sebagainya.
Ketiga adalah hukum Imamah, tidak boleh menegakkan hukum kecuali imam atau yang mewakili imam.
Sebab kalau semua ini diambil oleh semua orang, rancu. Bisa terjadi pembunuhan di sana sini. Alasannya Murtad, apalagi di zaman sekarang banyak orang kerjaannya mengkafirkan orang lain dan menuduh orang lain syirik.
Konsekuensi dari kafir dan syirik itu murtad dan kalau sudah murtad, boleh dibunuh. Buya Yahya mengingatkan, "Kalau mau berjuang (menegakkan kebenaran) ingat urutannya dulu, jangan buru-buru berteriak hukum Imamah dulu.".
Baca Juga: Profil Nabila Taqiyyah, Peserta Top 3 Indonesian Idol 2023 Asal Aceh
Buya Yahya sampai menyindir begini, "Kalau hukum pribadi saja belum bener. Dia mau menegakkan syariat islam tapi masih teler. Mau menegakkan syariat Islam, anaknya masih gundulan, jadi syariat apa yang mau ditegakkan?"
Sehubungan dengan pengakuan seseorang sebagai nabi, maka sudah jelas bahwa dia harus dibawa ke mahkamah karena dia sudah menodai agama. Selesaikan dengan cara yang bermartabat.
"Tidak boleh kita orang per orang sampai membakar dia lalu membunuh dia. Tidak diperkenankan (dalam Islam). Jadi harus proses dulu, sebabnya apa, sehat atau tidak akalnya dan seterusnya," pesan Buya Yahya.
Demikian itu penjelasan Buya Yahya berkaitan dengan cara menyikapi orang yang mengaku nabi. Semoga mencerahkan.
Sumber: Suara.com/Mutaya Saroh