SUKABUMIUPDATE.com - Ramalan Jayabaya kerap dikaitkan dengan peristiwa faktual masa kini, mengingat beberapa ramalannya benar-benar terjadi. Seperti namanya, Ramalan Jayabaya adalah ramalan yang dikeluarkan oleh Prabu Jayabaya, raja di Kerajaan Panjalu Kediri, yang membawa kejayaan pada masa itu.
"Murcane Sabdo Palon Noyo Genggong" adalah Ramalan Jayabaya pertama yang benar terjadi di Indonesia pada abad ke-15 masehi atau sekitar tahun 1.400. Ramalan Jayabaya ini menceritakan tentang Kisah Majapahit yang memeluk agama Islam.
Ramalan Jayabaya "Murcane Sabdo Palon Noyo Genggong" menjadi kenyataan tatkala Raja Majapahit yang terakhir, Brawijaya memilih meninggalkan agama negaranya dan pindah haluan ke agama Islam.
Baca Juga: Tarif Tol Trans Jawa Lengkap, Persiapan Arus Mudik Lebaran 2023
Lantas, bagaimana Asal Usul Ramalan Jayabaya yang kini dikenal bahkan diyakini oleh sebagian masyarakat? Berikut ulasan Asal Usul Ramalan Jayabaya yang dikutip dari E-Book Publikasi bertajuk "Ramalan Joyoboyo" yang diakses dari situs adoc.pub, Rabu (12/4/2023).
Dikisahkan bahwa, Tradisi Jawa mengakui, Ramalan Jayabaya ditulis oleh Prabu Jayabaya, Raja Kerajaan Kadiri/Kediri(11351159 Masehi) yang bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parakrama Digjayottunggadewan ama. Gelar yang amat panjang itu tertera pada tiga prasasti batu yang ditemukan dan dikenal sebagai peninggalan sang raja, yakni prasasti Hantang (1135 M), prasasti Talan (1136 M), dan prasasti dari Desa Jepun (1144 M).
Pada zamannya, Prabu Jayabaya ditopang kekuatan armada laut yang tangguh, kekuasaannya meluas tidak hanya meliputi Tanah Jawa, tetapi hingga pantai Kalimantan. Bahkan, Ternate pun menjadi kerajaan subordinat kerajaannya.
Baca Juga: Sedekah Berujung Maut: 11 Warga Tewas Berebut Makanan, Panik dan Terinjak-injak
Sebagai raja dan pujangga, Prabu Jayabaya memandang jauh ke depan dengan mata hati dan perasaan. Ia meramalkan keadaan kacau balau, yang disebutnya sebagai "wolak-walik ing zaman" atau keadaan zaman yang serba jungkir balik.
Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana kala itu sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3). Kitab Sunan Giri itu dikumpulkannya pada tahun Saka 1540 atau 'l02S H atau 1618 M, atau hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dari Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M.
Maka kesimpulannya, penulisan sumber Asal Usul Ramalan Jayabaya sudah ada sejak Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).
Kitab Jongko Joyoboyo pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran WijilI dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 'l 666-166S Jawa atau 17411743 M. Sang pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas.
Ia memiliki hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah "Perdikau" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak.
Baca Juga: Jatuhnya Sambo, Bus Palabuhanratu-Bogor yang Terperosok di Cicurug Sukabumi
Beliau diketahui merupakan keturunan Sunan Kalijaga, sehingga menjadi hal yang logis apabila dirinya mengetahui sejarah leluhurnya secara dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Prabu Brawijaya terakhir (ke-5). Prabu Brawijaya mengikuti agama baru (baca: Islam), sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat sang baginda bernama Sabda Palon dan Nayagenggong.
Selain itu, beliau juga menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala zamannya Sri Pakubuwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misakiya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll.
Tatkala Sri Pakubuwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya bertempat Semarang, Gubernur Jenderal kala itu bernama van Outhoom yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoom (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda.
Saat itu, didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang membeli Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa atau 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoom.
Sang pujangga kemudian wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam'iah 1672 Jawa atau 1747 Masehi, yang pada zamannya Sri Pakubuwono di Surakarta.
Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III). Sedangkan untuk kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi/10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa atau tahun 1747 Masehi.
Sumber: adoc.pub