SUKABUMIUPDATE.com - Setelah bulan Ramadan berakhir, umat Muslim akan memasuki bulan Syawal dalam Penanggalan Kalender Hijriah. Artinya, puasa Ramadan juga sudah tidak diwajibkan lagi, meskipun ada anjuran berpuasa sunnah sepuluh hari pertama bulan Syawal.
Selain puasa syawal, dalam Islam bulan ini juga identik dengan sunnah Rasul untuk melangsungkan pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Maka tak jarang, undangan pernikahan kian menumpuk di bulan Syawal.
Baca Juga: 14 Contoh Babasan Sunda dan Artinya: Cik Tong Jolédar jeung Épés Méér!
Namun demikian mengapa menikah di bulan Syawal adalah sunnah Rasul? Berikut penjelasan Syamsuri, Penghulu Madya/Kepala KUA BJM Utara, yang dilansir dari situs resmi Kementerian Agama Kalimantan Selatan!
Menikah di Bulan Syawal: Salah satu sunnah Rasul
Kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW menikahi istrinya Aisyah untuk membantah keyakinan yang salah sebagian masyarakat. Keyakinan itu yakni tidak suka menikah di antara dua Ied (bulan Syawal termasuk di antara Idul Fitri dan Idul Adha), karena khawatir akan terjadi perceraian.
Masyarakat di zaman itu beranggapan bahwa unta betina mengangkat ekornya (syaalat bidzanabiha) pada bulan Syawal sebagai tanda unta betina tidak mau dan enggan untuk menikah. Kemudian tanda menolak unta jantan yang mendekat, para wanita juga menolak untuk dinikahi sehingga para wali pun enggan menikahkan putri mereka.
Ya, bulan Syawal dijadikan waktu sunnah untuk menikah dengan tujuan menghilangkan kepercayaan orang-orang Arab Jahiliyah. Kepercayaan yang menganggap bahwa pernikahan di bulan Syawal adalah sebuah kesialan dan akan berujung perceraian.
Baca Juga: Sukabumi Tempo Doeloe: Propaganda Layar Tancap hingga Bioskop dari Masa ke Masa
Alhasil para orangtua atau wali tidak ingin menikahi putri-putri mereka begitu juga para wanita tidak mau dinikahi pada bulan tersebut. Oleh sebab itu, untuk menghilangkan kepercayaan menyimpang Arab Jahiliyah itu, menikah di bulan Syawal pun dijadikan sebagai ibadah atau sunnah Rasul.
Hadits fi’liyah kemudian dijadikan landasan anjuran sunnah menikahkan dan menikah di bulan Syawal. Tak lain untuk mematahkan keyakinan atau anggapan sial terhadap sesuatu yang bisa menjerumuskan seseorang kepada kesyirikan.
Salah satu misi Nabi Muhammad SAW adalah menghapus keyakinan yang salah dari masyarakat Arab Jahiliyah. Sejak itulah, menikah di bulan Syawal adalah sunnah guna menjalankan anjuran Nabi Muhammad SAW, sebagaimana hadis berikut:
"Ummul Mukminin ‘Aisyah RA., ia menuturkan bahwa Rasulullah SAW menikahiku (Siti Aisyah) pada bulan Syawal dan tinggal bersamaku pada bulan Syawal. Lalu adakah di antara istri Rasulullah SAW yang lain yang lebih beruntung di sisi beliau daripada aku."
Baca Juga: Tragedi Berdarah Bojongkokosan Sukabumi Menyulut Bandung Lautan Api
Para Ahli Riwayat mengemukakan bahwa: adalah `Aisyah senang sekali menikahkan perempuan pada bulan Syawal. Hadits ini dapat dilihat pada beberapa kitab hadis, yaitu:
- Shahih Muslim, No.1423, Juz I. Kitab an-Nikah
- Sunan At-Tirmidzi, No.1093, kitab an-Nikah
- Sunan An-Nasa’i kitab an-Nikah
- Sunan Ibnu Majah, No. 1990, kitab an-Nikah
- Sunan Ad-Darimi, No 2211, kitab an-Nikah
- Musnad Imam Ahmad bin Hambal No. 23751
Baca Juga: Viral Wanita Nikah dengan Diri Sendiri, Apa Itu Sologami?
Lebih lanjut, Imam An-Nawawi RA dalam Kitab Tuhfatul Ahwadzi, menjelaskan bahwa Hadits ini berisikan anjuran menikah di bulan Syawal.
Aisyah bermaksud dengan ucapannya adalah untuk menolak tradisi/kebiasaan masyarakat pada zaman Jahiliyah dan anggapan menikah di bulan Syawal tidak baik.
Sumber: Kemenag Kalsel