SUKABUMIUPDATE.com - Pawai Ogoh-ogoh menjadi hal yang menarik dalam perayaan Nyepi di Bali. Ogoh-ogoh adalah patung besar yang dibuat dan dipajang di Bali.
Ogoh-ogoh biasanya terbuat dari bambu dan bahan lainnya, dan sering dirancang agar terlihat seperti makhluk menyeramkan. Patung itu nantinya akan diarak di jalan-jalan pada malam sebelum Nyepi, diiringi musik keras dan tarian.
Ogoh-ogoh biasanya diarak dengan dipikul di pundak oleh sekelompok orang. Prosesi tersebut dimaksudkan untuk melambangkan pengusiran roh jahat dan energi negatif dari masyarakat.
Di akhir prosesi, ogoh-ogoh biasanya dibakar, melambangkan penghancuran energi negatif dan awal tahun baru.
Baca Juga: Saji 1.000 tumpeng, Tradisi Papajar di Desa Gunungkaramat Sukabumi yang Penuh Makna
Pembuatan dan pertunjukan ogoh-ogoh adalah tradisi yang sangat berarti dan penting dalam budaya Bali, dan merupakan simbol kuat dari komitmen masyarakat Bali terhadap pertumbuhan spiritual dan peningkatan diri.
Lalu bagaimana sejarah ogoh-ogoh dan filosofinya? Yuk simak penjelasan di bawah ini yang dilansir dari Suara.com merujuk dari berbagai sumber.
Filosofi Ogoh-ogoh
Dalam agama Hindu, ada konsep yang bernama nyomya, yaitu sarana untuk mengubah hal negatif menjadi unsur positif dan ogoh-ogoh adalah bentuk nyomya dalam wujud nyata atau sekala.
Sementara nyomya niskala atau tak terlihat dalam rangka Nyepi, masyarakat umumnya melakukan upacara Tawur Kesanga. Jika ogoh-ogoh diarak pada sore menjelang malam, maka Tawur dilakukan pada siang hari.
Baca Juga: Dekat dengan Nyi Roro Kidul, Palabuhanratu Sukabumi Jadi Tempat Menyeramkan Di Dunia
Sementara itu, ogoh-ogoh merupakan simbol dari Bhuta Kala atau hal-hal buruk yang kerap melekat dalam diri manusia, seperti nafsu, tamak, iri, dengki dan dendam. Tak heran jika ogoh-ogoh berwujud menyeramkan.
Sejarah Ogoh-ogoh
Ada banyak hal yang berkaitan dengan sejarah ogoh-ogoh seperti berasal dari kata ogah-ogah yang dalam bahasa Bali berarti diarak lalu digoyang-goyangkan atau pawai.
Ada juga yang menyebut ogoh-ogoh merupakan perkembangan dari lelakut, yaitu nama orang-orangan sawah yang biasanya dipakai untuk mengusir burung.
Terlepas dari semua itu, sejarah ogoh-ogoh di Bali berawal pada tahun 1983, dimana pemerintah memutuskan Hari Raya Nyepi sebagai libur nasional.
Baca Juga: Longsor Cikereteg Sukabumi-Bogor Ungkap "Gonggo Burung" Peninggalan Belanda
Masyarakat kemudian mulai membuat perwujudan Bhuta Kala yang disebut dengan ogoh-ogoh. Mulanya, ogoh-ogoh tak berwujud seperti sekarang melainkan hanya berupa onggokan.
Tujuan Ogoh-ogoh
Sesungguhnya, ogoh-ogoh tidak berkaitan secara langsung dengan Hari Raya Nyepi. Tapi pawai ini kerap dilaksanakan rutin untuk memeriahkan upacara setiap tahunnya.
Pawai ogoh-ogoh umumnya ditutup dengan membakar sosok Bhuta Kala dengan tujuan memusnahkan semua sisi buruk manusia. Di Bali, hal ini disebut dengan pralina.
Baca Juga: Mitos Aul, Makhluk Menyeramkan yang Memiliki Banyak Versi Cerita
Pralina sendiri adalah proses mengembalikan sesuatu kepada asalnya (melebur) dan hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti dibakar atau diperciki air suci (tirta).
Untuk ogoh-ogoh sendiri, sangat disarankan untuk melakukan pralina dengan cara dibakar sehingga wujudnya benar-benar hancur menjadi abu. Tak sembarangan, mempralina ogoh-ogoh juga harus dilakukan di kuburan.
Sumber: Suara.com/Rima Suliastini