SUKABUMIUPDATE.com - Menurut istilah fiqh, safar adalah keluar bepergian meninggalkan kampung halaman dengan maksud menuju suatu tempat dengan jarak tertentu. Safar disebut juga sebagai perjalanan jauh, dikutip dari an-nur.ac.id.
Seseorang yang sedang Safar disebut dengan Musafir, mereka diperbolehkan untuk melakukan qashar atau jamak shalat wajib. Ini merupakan keringanan dan kemudahan yang diberikan Allah SWT kepada umat Islam.
Allah SWT tidak membebankan hamba-Nya pada aturan-aturan yang terlalu ketat, meski tetap harus berada dalam batasan tertentu. Termasuk dalam hal berpuasa saat sedang melakukan Safar, dikutip via Tempo.co.
Baca Juga: Profil Emak Barbar dan Sean Bule, YouTuber Sukabumi di Film Dicky Chandra
Memang puasa di bulan suci Ramadan hukumnya wajib, puasa sendiri berasal dari bahasa Arab, yakni shaum atau shiyam yang memiliki arti menahan. Sehingga puasa dapat didefinisikan sebagai kegiatan menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan mulai terbit fajar sampai tenggelamnya matahari.
Beberapa hal yang dapat membatalkannya antara lain, makan dan minum. Hal itu tertuang dalam Alquran surah Al Baqarah ayat 183.
Artinya, “Wahai orang-orang beriman, diwajibkan untukmu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelummu supaya kamu bertakwa”.
Namun, kewajiban puasa dapat ditunda untuk golongan tertentu sesuai ketetapan Allah SWT. Lantas bagaimana hukum berpuasa orang yang sedang melaksanakan Safar atau melakukan perjalanan jauh (baca: Musafir)?
Safar: Hukum Puasa Ramadan Bagi Musafir, Orang dalam Perjalanan Jauh
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Bepergian (Safar) merupakan sebagian dari siksa yang menghalangi seseorang dari makan, minum, dan tidurnya. Maka apabila telah selesai urusannya, hendaklah ia segera kembali menemui keluarganya” (HR. Bukhari).
Berdasarkan dalil tersebut, menurut situs muhammadiyah.or.id, Rasulullah SAW meminta seorang muslim untuk mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya sebelum bepergian. Serta menjadikan perjalanan sebagai bagian dari amal saleh.
Baca Juga: Sejarah Kerajaan Sukapura, Raden Wirawangsa dan Wangsadikusuma: Pemberontakan Dipati Ukur
Dalam Jurnal Bidang Kajian Islam berjudul Golongan yang Mendapatkan Rukhsah dalam Ibadah Puasa dan Konsekuensi Hukumnya karya Irsyad Rafi, terdapat beberapa kelompok yang memperoleh rukhsah (keringanan) puasa Ramadan, yaitu dalam perjalanan jauh (Safar), sakit, menghadapi paksaan, lupa, kebodohan, keadaan yang sulit dihindari, dan kekurangan.
Musafir (orang yang melakukan perjalanan jauh) mendapatkan keringanan untuk mengqashar sholat dan mengqadha puasa. Yakni mengganti puasa kapan pun di luar bulan Ramadan sebelum Ramadan tahun berikutnya tiba. Dalil tersebut sebagaimana tertuang dalam firman Allah SWT. Al Baqarah ayat 185.
Artinya, “Dan barangsiapa sedang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia membatalkan dengan berbuka), maka (wajib mengganti puasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya tersebut pada hari-hari lain”.
Baca Juga: 7 Tempat Glamping di Ciwidey Bandung, Ide Staycation Dekat Sukabumi
Selain itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan bagi seorang musafir apabila hendak membatalkan puasa. Berikut aturan-aturan yang diambil dari situs NU (Nahdlatul Ulama) Online.
- Menurut standar Bani Umayah, seseorang disebut musafir jika menempuh perjalanan empat burud atau setara 40-48 mil. Dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji, Dr. Musthofa Al-Khin menyebut ukuran jarak sejauh 81 kilometer.
- Dalam perjalanan mubah, bukan kemaksiatan.
- Dilakukan di malam hari dari sebelum terbit fajar dan sudah melalui batas daerah tempat tinggalnya.
- Jika pergi saat terbit fajar, maka tidak dianggap sebagai musafir. Sehingga diwajibkan berpuasa Ramadan.
- Telah bermukim di suatu daerah yang dilarang berpuasa.
Bagaimana Hukum Puasa Ramadan bagi Musafir Jika Muntah di Tengah Perjalanan?
Mengutip dari laman NU Online Sumenep, para ulama khususnya dari kalangan Syafi’iyyah sepakat bahwa muntah yang disengaja merupakan salah satu contoh aktivitas membatalkan puasa.
Meskipun tidak ada yang tertelan menurut Qaul Shahih. Namun dianggap sah apabila tidak sengaja karena tidak direncanakan. Hal tersebut mengacu pada hadits di bawah ini.
Artinya, “Barangsiapa yang sedang berpuasa dan muntah, maka tiada kewajiban mengqadha. Tapi jika sengaja muntah, maka wajib baginya qadha puasa (mengganti)” (HR. Ibnu Hibban).
Dengan demikian, Hukum Puasa Ramadan bagi Musafir, orang dalam perjalanan jauh adalah boleh dibatalkan atau diteruskan asalkan sesuai ketentuan. Serta diwajibkan untuk mengganti sesuai jumlah hari yang ditinggalkan maupun membayar fidyah apabila tidak mampu. Wallahu a’alam bisshawab.
SUMBER: RAMADAN TEMPO.CO | NIA HEPPY | MELYNDA DWI PUSPITA