SUKABUMIUPDATE.com - Raden Wangsadikusuma tercatat dalam Sejarah Kerajaan di Indonesia, tepatnya bernama Sukapura. Sejarah Kerajaan Sukapura erat kaitannya dengan nama Kabupaten Tasikmalaya, karena konon dulu daerah ini dikenal dengan nama Sukapura.
Kerajaan Sukapura adalah tempat asal Raden Wangsadikusuma yang diketahui pernah syiar di Sukabumi. Raden Wangsadikusuma adalah putera ke-5 Raden Wirawangsa, yang hidup di sekitar tahun 1700-1800 Masehi.
Kerajaan Sukapura terbentuk dan diresmikan setelah perang antara Dipati Ukur dengan Raden Wirawangsa. Kerajaan ini terbentuk dan diresmikan setelah perang antara Dipati Ukur dengan Raden Wirawangsa -ayahanda Raden Wangsadikusuma.
Oleh karena itu, Kerajaan yang berdiri di Manonjaya, Tasikmalaya ini memiliki kisah sejarah dimana ayah Raden Wangsadikusuma terlibat didalamnya. Kala itu, Sejarah Kerajaan Sukapura menceritakan bahwa Dipati Ukur dianggap memberontak terhadap kekuasaan Kerajaan Mataram sehingga ia pun diperangi.
Baca Juga: Profil Emak Barbar dan Sean Bule, YouTuber Sukabumi di Film Dicky Chandra
Membaca Cerita Kerajaan Sukapura, Raden Wirawangsa dan Wangsadikusuma dalam Sejarah ini kemudian dikutip dari penelitian Agita Delia Setiani pada tahun 2021 di laman resmi Repository Universitas Siliwangi. Artikel ilmiah ini bertajuk "Kesejahteraan Sosial Masyarakat Kabupaten Sukapura pada Masa Pemerintahan Raden Ngabehi Wirawangsa Tahun 1632-1674".
Cerita Kerajaan Sukapura, Raden Wirawangsa dan Wangsadikusuma dalam Sejarah: Kisah Dipati Ukur yang Berontak dalam Pergolakan Histori Kerajaan Mataram
Sukapura mulai terbentuk di awal abad ke-17 yang sebelumnya terdapat kerajaan Sukakerta, kerajaan kecil yang dikuasai atau berada dibawah kekuasaan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung.
Pada saat itu, di Priangan terjadi pergolakan tiga kekuasaan yaitu Mataram, VOC serta Sumedang, namun ternyata Mataram lah yang berhasil menguasai Priangan. Akibat Mataram yang menguasai Priangan, terjadi pergolakan antara Mataram dengan Belanda.
Pada waktu itu hubungan Sultan Mataram dengan Belanda belum sejalan, diantara mereka masih saling bermusuhan. Suatu ketika Kanjeng Gusti Sinuhun Sultan Mataram memerintah dua orang pejabat untuk melawan semua orang Belanda yang pada saat itu berada di Batavia, yaitu Dipati Ukur dan Ki Bahureksa.
Baca Juga: Raden Kian Santang, Penunggu Curug Meong di Wisata Alam Cikaso Sukabumi
Sultan Agung memerintahkan dua orang tersebut karena mereka adalah orang-orang yang paling kuat sehingga diyakini dapat berhasil dalam penyerangan terhadap Belanda. Oleh karena itu kedua orang tersebut diberangkatkan ke Batavia dengan pasukan masing-masing.
Kemudian, dalam perjalanan Dipati Ukur dan Ki Bahureksa berpisah jalur dan bertemu di tempat tujuan. Jalur yang ditepuh ada dua, yaitu jalur darat dan jalur laut. Sementara Ki Bahureksa menempuh jalur laut dan Dipati Ukur menempuh jalur darat.
Kedua pasukan tersebut tidak sampai bersamaan dititik yang telah disepakati, pasukan Dipati Ukur yang sampai terlebih dahulu. Dipati Ukur memutuskan untuk menyerang Belanda terlebih dahulu karena pasukan Ki Bahureksa tidak kunjung datang.
Hal tersebut bertentangan dengan kesepakatan awal antar keduanya, dimana mereka sepakat untuk bertemu dan melakukan penyerangan bersama. Akibat dari ketidaksabaran itu, Dipati Ukur dan pasukannya mengalami kekalahan karena kurangnya pasukan dan strategi.
Selain itu, Belanda semakin mempersiapkan pasukan, strategi dan senjatanya untuk berjaga jika tiba-tiba ada serangan susulan dari pihak atau pasukan Mataram. Sehingga ketika Pasukan Ki Bahureksa datang dan melakukan serangan, pasukan Ki Bahureksa mengalami kegagalan juga karena pihak Belanda yang telah memperkuat senjata dan pasukannya.
Baca Juga: 79 Contoh Paribasa Sunda dan Artinya, Ngarawu Ku Siku: Serakah!
Sukapura yang mengalami kekalahan akibat kekacauan yang dilakukan Dipati Ukur tersebut membuat Dipati Ukur beserta pasukannya melarikan diri dan tidak kembali lagi ke Mataram untuk menghadap kepada Sultan Mataram karena ia sudah mengetahui akan mendadapatkan hukuman jika datang kepada Sultan Agung akibat kesalahan yang telah dibuatnya. Untuk itu, Dipati Ukur beserta pasukannya memutuskan untuk berkhianat kepada Sultan Mataram.
Pasukan Dipati Ukur dalam penyerangan terhadap Belanda, terdapat sembilan priyai yang merupakan umbul-umbul dari tiap kawadanaan. Dari kesembilan umbul tersebut hanya empat orang yang tidak ikut melarikan diri bersama Dipati Ukur, diantaranya Wirawangsa dari Umbul kawadanaan Sukakerta, Ki Samahita dari Umbul kawadanaan Sindangkasih, Astramanggala dari Umbul Cihaurbeuti dan Ewing Sarana dari Umbul Kawadanaan Indihiang.
Keempat umbul tersebut menghadap kepada Sultan Agung untuk menjelaskan kejadian sebenarnya agar tidak dituduh sebagai pengkhianat.
Selesai Menghadap Sultan Mataram dan menjelaskan kejadiannya, Sultan Mataram memberikan hadiah sebagai dedikasi atas kesetiaan keempat umbul tersebut terhadap Sultan Mataram dengan diberikan kemerdekaan bagi dirinya dan keturunannya. Setelah itu, Sultan Mataram memerintahkan kepada Ki Bahureksa dan keempat umbul tersebut agar menangkap Dipati Ukur beserta pasukannya.
Ketika pasukan Ki Bahureksa datang, pada awalnya Dipati Ukur menantang dan meremehkan sehingga memancing amarah para pasukan Ki Bahureksa yang kemudian saling menyerang. Namun pasukan Dipati Ukur mengalami kekalahan dan melarikan diri. Setelah itu Dipati Ukur merenungi apa yang telah terjadi.
Kemudian Dipati Ukur beserta pasukannya memutuskan untuk menghadap Ki Bahureksa untuk menyerahkan diri dan menyatakan kesetiaannya terhadap Sultan Mataram.
Baca Juga: Etos Budaya Sunda Eksis Sejak Salakanagara: Cageur, Bageur, Bener, Singer, Pinter
Lebih lanjut, Cerita Sukapura ini mengutip dari Tjetje Suparman dalam bukunya berjudul "Sajarah Sukapura" halaman 4 yang diterbitkan di Bandung tahun 1981.
Buku tersebut menjelaskan bahwa ketika pasukan Mataram datang ke tempat Dipati Ukur terjadi peperangan. Namun pasukan Ki Bahureksa tidak berhasil menangkap Dipati Ukur.
Menanggapi hal itu, Sultan Mataram akhirnya mengganti strategi dengan mengutus pasukan Sunda yang setia terhadapnya untuk menumpas Dipati Ukur yang pada akhirnya berhasil dilumpuhkan. Pasukan sunda tersebut ialah tiga umbul yang setia kepada Sultan Mataram, yaitu Ki Samahita, Astramanggala dan Wirawangsa, yang mana ketiga umbul tersebut berhasil menumpas Dipati Ukur.
Karena kesetiaan dan jasanya tersebut, Sultan Agung memberikan dedikasi terhadap mereka dengan menjadikan mereka sebagai bupati.
Ki Samahita memerintah daerah Parakanmuncang dengan nama Raden Tumenggung Tanubaya, Astramanggala memerintah daerah Bandung dengan nama Tumenggung Wira Angunangun dan Wirawangsa memerintah Sukapura dengan nama Raden Tumenggung Wiradadaha. Setelah itu kemudian ketiga umbul tersebut dilantik sebagai Bupati.
Sejak itulah Raden Wirawangsa memerintah Sukapura dengan nama Raden Tumenggung Wiradadaha. Singkat cerita Raden Wirawangsa memiliki keturunan, yang mana Raden Wangsadikusuma adalah keturunannya yang kelima.
Baca Juga: 3 Mitos Pantai Palabuhanratu Sukabumi, Kamar Hotel 308 hingga Larangan Baju Hijau
Sebelumnya berdasarkan catatan redaksi sukabumiupdate.com, Raden Wangsadikusuma adalah sosok yang semasa hidupnya melakukan syiar islam di Sukabumi. Tepatnya di Kampung Panembong, Desa Curugluhur, Kecamatan Sagaranten, Kabupaten Sukabumi.
Kini, di daerah tersebut terdapat sebuah makam karamat yang didatangi masyarakat untuk berziarah. Ya, Makam karamat itu adalah makam Raden Wangsadikusuma.
Untuk menemukan makam Raden Wangsadikusuma tergolong mudah. Ini karena lokasinya tak jauh dari jalan provinsi ruas Sagaranten-Tegalbuleud, atau sekitar 7 kilometer dari kantor Kecamatan Sagaranten.
Raden Wangsadikusuma disebut juga dengan Eyang Panghulu Nurbayin. Semasa hidupnya, beliau adalah sosok ulama yang dikenal sebagai seorang Tahfidz Quran.
Karena Raden Wangsadikusuma merupakan sosok ulama, maka makam beliau kerap dikunjungi masyarakat untuk ziarah. Bahkan, dari hasil swadaya masyarakat pada tahun 2018 dibangun lah sebuah bangunan permanen berukuran 10 meter X 15 meter, tujuannya agar warga yang berziarah merasa nyaman.
Diketahui, Raden Wangsadikusuma memiliki dua orang putri, dan satu orang putra. Saat ini keturunan Raden Wangsadikusuma masih ada di daerah Sagaranten.
Sumber: UNSIL