SUKABUMIUPDATE.com - Penelitian oleh guru besar, dosen, dan mahasiswa dari Departemen Ilmu Komputer Fakultas Matematika & IPA Universitas Padjajaran mendapati ada 10 nama Sunda yang menghilang selama 90 tahun terakhir.
Dikutip dari laman Unpad, nama Sunda yang menghilang dalam 90 tahun terakhir adalah Sunaja, Saim, Sundia, Djatma, Boelah, Unamah, Entjil, Eyut, Kitji, dan Macih.
Sementara itu, 10 nama baru yang muncul dalam 10 tahun terakhir adalah Naura, Arsila, Keyla, Raffa, Rafka, Khanza, Aqila, Zahra, Keysa, dan Aleska.
Guru Besar FMIPA Unpad Prof Dr Atje Setiawan Abdullah, MS, MKom melaksanakan penelitian ini bersama tim dosen dan mahasiswa sebagai penerapan etnoinformatika.
Dalam penerapan etnoinformatika ini, diteliti perubahan antroponimi atau penamaan orang di Kabupaten Sumedang selama 100 tahun terakhir, yaitu 1920 - 2020.
Informasi yang dimunculkan antara lain nama-nama favorit, nama yang sudah hilang, hingga nama baru yang muncul.
"Nama-nama Sunda di pedesaan Sumedang masih banyak digunakan, tetapi secara keseluruhan jumlahnya relatif turun. Sedangkan nama Sunda di perkotaan relatif sudah banyak berubah," tutur Prof Atje saat menjelaskan materi penelitian "Pengenalan Etnoinformatika untuk Warisan Budaya Takbenda" kepada 170 pelajar dan guru SMKN Sukasari, Sumedang, dikutip pikiranrakyat.com, Selasa (17/12/2022).
Bagaimana di Sukabumi?
Redaksi sukabumiupdate.com mencoba melakukan riset data dibeberapa sekolah tingkat SLTA di Kota Sukabumi, sampel diambil untuk memotret apakah nama-nama Sunda di Kota Sukabumi masih dipergunakan terutama pada mereka yang merupakan generasi millenial atau Gen Z dan Alpha, yakni generasi yang lahir setelah tahun 2000an.
Dari sampel 100 orang siswa dan siswi di Kota Sukabumi ditemukan hanya 12 persen yang menggunakan nama dengan mengambil kata serapan asli Sunda, misalnya ada nama Adi, Andika, Krishandira, Cecep, Asep, Kartika, Nadiya, Mira, Mila, Iwan, Ade, dan Ani.
Sedangkan nama-nama siswa-siswi lainnya menggunakan nama dari kata serapan campuran yang lebih populer sekarang ini. Baik serapan dari bahasa Inggris maupun bahasa Arab.
Dan tidak ditemukan nama-nama asli sunda yang populer pada zaman dahulu, seperti Ijah, Iyah, Jatma, Bulah, Enok, dan Encum misalnya.
Dosen Program Studi Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Teddi Muhtadin mengakui, kecenderungan nama orang Sunda yang berubah sudah terjadi cukup lama. Hal ini berkaitan dengan perkembangan teknologi informasi, karena efeknya, setiap orang jadi memiliki banyak referensi untuk memilih nama anaknya. seperti dikutip pikiranrakyat (17/02/2022).
Di suku Sunda, ada banyak nama yang awalnya berupa istilan, sebutan atau panggilan yang kemudian dijadikan nama anak. Biasanya nama orang Sunda juga memiliki pola pengulangan seperti Ajat Sudrajat, Engkos Kosasih, Jejen Junaedi, Didin Sabarudin, Gugum Gumilar atau Ihin Solihin.
Menurut Teddi, nama itu adalah doa serta simbol kasih sayang dari orang tua. Jika kemudian sekarang banyak nama anak yang memakai bahasa Arab, ini bisa dikaitkan dengan merujuk pada agama yang dianut.
"Tidak ada yang bisa menyalahkan juga kalau penamaan anak sekarang berdasarkan tren. Soalnya, ini terjadi sejak dulu. Misalnya, pemain sepak bola Zidane yang sedang populer, maka anak-anak yang lahir di masa itu akan memberi nama anaknya Zidane. Bahkan, ada teman anak saya yang namanya Chelsea karena ayahnya penggemar klub sepak bola tersebut," tutur Teddi.
Teddi menyebutkan, nama Sunda itu bisa dilihat dari penamaannya atau cara mengejanya. Dari penamaan, misalnya kata yang berulang, seperti Lia Marlia, sedangkan dari pengejaan bisa dari Ahmad menjadi Mamad.
Selain itu, ada pula yang memakai nama Sunda sebagai panggilan kesayangan di rumah atau lingkungan terdekat. Misalnya memanggil bocah lelaki dengan Cep atau Jang.
"Jika nama orang Sunda hilang, tentu ada kekhawatiran akan berpengaruh ke hilangnya identitas sebagai budaya. Soalnya, dari nama saja, kita bisa tahu dia orang mana. Contohnya, orang Batak yang identitasnya bisa kita ketahui lewat marganya. Nama ini punya keterkaitan antara lain dengan lunturnya bahasa Sunda dan toponimi (nama daerah)," pungkas Teddi.