SUKABUMIUPDATE.com - Di tengah-tengah tekanan memenuhi kebutuhan ekonomi, berhutang merupakan jalan keluar untuk rakyat kecil.
Hutang sendiri sebenarnya menjadi pemicu sebuah konflik, apalagi jika orang yang berhutang tidak memiliki adab.
Sehingga, dalam agama Islam sangat menekankan sebuah adab saat berhutang. Adab ini berguna memberi batasan apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat seorang muslim akan berhutang.
Baca Juga: Dikdik dan Bos Jamal Preman Pensiun Kembali Berakting! Syuting Film Apa di Sukabumi?
Melansir dari Suara.com, merujuk jurnal yang ditulis Zulkarnain Muhammad Ali, Dosen Pascasarjana Institut Agama Islam TAZKIA, Bogor, ternyata ada beberapa adab dasar berhutang bagi umat muslim berikut ini.
Hutang-piutang pada dasarnya diperbolehkan di dalam Islam karena ia termasuk akad ta’awun atau tolong menolong untuk menolong orang yang membutuhkan bantuan dan juga merupakan akad tabarru’ (sosial) sebagai kepedulian untuk membantu orang-orang yang sedang dalam kesulitan.
Syariat Islam menjelaskan tentang adab-adab dalam berhutang sehingga masing-masing pihak baik yang memberi pinjaman atau yang berhutang, tidak ada hak-hak mereka yang dirugikan.
Baca Juga: 8 Bahasa Tubuh Perempuan Tanda Dia Jatuh Cinta Padamu, Pemuda Sukabumi Sudah Tahu?
Dalam transaksi hutang ada hal-hal yang harus diperhatikan antara dua belah pihak demi terjaganya kepercayaan di antara mereka.
Pertama. Mencatat transaksi hutang-piutang sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al Baqarah 282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”.
Tujuan pencatatan hutang tersebut adalah untuk menghindari kesalahan tentang jumlah pinjaman, lupa, sengketa dan semua dampak buruk lainnya Baits, 2017).
Yang dicatat adalah nama orang yang berhutang, nama yang berpiutang, jumlah hutang, tanggal berhutang, tanggal pelunasan dan cara pelunasan (Jawaz, 2014).
Tetapi sebagian orang merasa malu jika hutangnya harus dicatat, mereka merasa ada ketidak percayaan satu sama lain padahal itu adalah perintah Allah.
Kedua. Menghadirkan saksi, sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah 282: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu)”.
Menghadirkan saksi bertujuan untuk menguatkan ikatan terkait masalah harta selain dengan mencatat hutangnya. Menurut Jumhur ulama menghadirkan saksi sifatnya anjuran (tidak wajib).
Ketiga. Hadirkan barang jaminan / gadai sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al Baqarah 283: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”
Hal itu bertujuan untuk menjamin keamanan hutang, dengan adanya gadai tanggungan hutang akan lebih ringan, jika tidak mampu membayar maka jaminan tersebut bisa dijual untuk membayar hutangnya.
Keempat. Adanya penjamin, sebagaimana disebutkan dalam QS.Yusuf 72: “Penyeru Penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".
Bagi orang yang meminjam dan yang memberi pinjaman akan merasa saling mengerti dan menghormati atas hak dan kewajibannya, karena jika ada masalah diantara mereka maka penjamin tersebut yang berkewajiban untuk menyelesaikannya.
Namun, perlu dicatat bahwa empat adab berhutang itu tidak ada artinya jika tidak diimbangi dengan adab orang yang berhutang.
Harus digaris bawahi bahwa umat muslim hanya boleh berhutang untuk kebutuhan mendesak yang tidak dapat dipenuhinya sendiri.
Untuk itu dilarang keras berhutang hanya demi gaya hidup. Di samping itu, orang yang berhutang juga harus memiliki tekad melunasinya.
Sumber: Suara.com (Nadia Lutfiana Mawarni)