SUKABUMIUPDATE.com - Media sosial kembali dikejutkan dengan cerita di pengungsian korban gempa Cianjur. Seorang netizen membagikan pengalaman sedih keponakannya yang masih menangis dan tak mau saat diajak pulang ke rumah, anak itu lebih memilih di pengungsian.
Trauma adalah hal yang sulit dihindari bagi penyintas bencana, termasuk warga terdampak gempa Cianjur, pada Senin 21 November 2022. Mereka tak hanya kehilangan harta benda dan rumah, tapi juga keluar, kerabat, teman dan tetangga yang meninggal dunia akibat tertimpa reruntuhan bangunan dan longsor dampak gempa M 5.6 tersebut.
Tak heran jika, trauma pasca bencana mendapat perhatian khusus dari seluruh pihak, selama masa penanganan tanggap darurat. Banyak lembaga, institusi dan relawan yang fokus coba mengembalikan kegembiraan para penyintas gempa cianjur, khususnya anak-anak.
Trauma merupakan bentuk dampak emosional yang terekam secara historis sebagai pengalaman tidak baik. Melansir arttohealing.org menyebut gempa bumi adalah bencana alam dengan tingkat kerusakan dan cedera paling tinggi dibandingkan bencana alam lain.
Data menyebutkan setelah gempa bumi, kondisi yang terjadi pada penyintas diantaranya:
• Sekitar 12 bulan pasca gempa, distres umum seseorang biasanya normal kembali.
• Reaksi stres pasca-trauma atau Post-traumatic stress disorder (PTSD) tidak hilang hingga 18 bulan pasca gempa bumi.
• PTSD mencapai 92% orang dewasa dan 95% pada anak-anak.
• Setelah gempa bumi, 4,5% anak ditemukan menderita PTSD.
Adapun faktor yang dapat mempengaruhi seseorang terkena trauma bencana gempa bumi misalnya jarak lokasi gempa, kecukupan ekonomi untuk pindah ke wilayah aman, cara memahami kesehatan mental serta dukungan teman, keluarga, dan komunitas.
Dilansir dari Halodoc, Trauma yang dialami manusia untuk merespon bencana, terjadi dalam beberapa bentuk reaksi umum, diantaranya:
1. Perasaan Intens atau Tak Terduga
Trauma pada korban bencana gempa bumi bisa berupa pribadi yang merasa lebih cemas, gugup, kewalahan, atau sedih yang mendalam pasca kejadian.
Korban bencana gempa misalnya juga biasanya mungkin lebih mudah tersinggung atau murung dibandingkan sebelumnya.
2. Pola Pikir dan Perilaku Berubah
Trauma sulit hilang! Imajinasi korban gempa bumi cenderung selalu membayangkan detik-detik peristiwa bencana terjadi.
Ingatan mendalam terkait bencana terjadi tanpa alasan yang jelas, menimbulkan reaksi fisik seperti detak jantung cepat dan berkeringat, sulit berkonsentrasi, sulit membuat keputusan, gangguan pola tidur dan makan.
Bahkan beberapa orang bereaksi berbeda seperti disaat yang lain kurang tidur dan kehilangan nafsu makan, sementara sisanya justru makan berlebihan dan terlalu banyak tidur.
3. Sensitif terhadap Lingkungan
Trauma lingkungan yang dimaksud tidak selalu berbentuk kondisi alam sekitar.
Korban gempa bumi dapat lebih sensitif terhadap suara sirine, lantai yang bergoyang, suara keras atau kondisi lingkungan lain yang merangsang ingatan bencana.
Baca Juga: Kemensos Klarifikasi Mengenai Narasi Adopsi Bayi Korban Gempa Cianjur
Pemicu faktor lingkungan juga tak jarang meningkatkan rasa ketakutan, cemas dan stress berlebihan pada korban bencana.
4. Tegang pada Hubungan Interpersonal
Trauma biasanya tetap menghantui para korban sekalipun bencana telah usai.
Misalnya merasakan ketegangan pada hubungan interpersonal. Ketegangan hubungan interpersonal menyebabkan konflik meningkat, seperti perselisihan dengan keluarga dan rekan kerja.
Selain konflik, korban bencana juga mungkin berubah menjadi seorang yang penyendiri hingga meninggalkan aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
5. Gejala Fisik Terkait Stres
Trauma korban bencana meninggalkan luka tak hanya psikis tetapi juga fisik. Beberapa gejala fisik pada korban bencana yang mengalami trauma memerlukan perawatan medis seperti sakit kepala, mual, dan nyeri dada (baca: sesak).
Riwayat kesehatan atau kondisi medis sebelumnya juga tidak menutup kemungkinan akan mempengaruhi stres terkait bencana.
• Trauma Healing: Mengatasi Trauma Pasca Bencana
Kabar baiknya, mayoritas korban bencana dapat kembali pulih seiring berjalannya waktu dari peristiwa traumatis yang menimpa dalam beberapa bulan.
Trauma Healing atau pemulihan terhadap trauma, dilakukan guna mengatasi dampak emosional pasca bencana diantaranya:
1. Waktu Penyesuaian Diri
Meskipun usai bencana momen hidup terasa sangat sulit, tetapi biarkan diri meratapi kehilangan hingga kerugian yang dialami. Selepas itu, coba bersabar terhadap perubahan kondisi psikis dengan pengelolaan emosional.
2. Dukungan
Support system tak hanya berbentuk manusia tetapi juga kalimat lisan yang dilontarkan orang sekitar. Dukungan jelas diperlukan oleh seluruh orang tak terkecuali korban traumatis gempa bumi Cianjur.
Dukungan bisa berbentuk motivasi, ruang hingga pelukan dari keluarga dan kerabat dekat.
Ruang pendengar biasanya lebih dominan diperlukan dalam dukungan sosial sebagai komponen kunci pemulihan pasca bencana.
Selain keluarga dan kerabat dekat, dukungan saling menguatkan juga dapat terjalin antar korban bencana yang selamat.
3. Komunikasi
Setiap makhluk sosial butuh yang namanya ruang ekspresi. Komunikasi pengalaman pasca bencana adalah salah satu ekspresi diri untuk terlepas dari peristiwa traumatis.
Komunikasi bisa tertuang dalam bentuk lisan maupun tulisan yang terekam dalam buku harian atau private journal virtual. Ekspresi komunikasi juga dapat dilakukan dengan aktif terlibat dalam kegiatan yang meningkatkan kualitas diri.
4. Pola Hidup Sehat
Trauma stress salah satunya dapat diatasi dengan pola hidup sehat dan teratur. Asupan makanan gizi seimbang, terukur dan teratur serta istirahat yang cukup membuat diri lebih segar.
Apabila pasca gempa bumi, tetap merasa sulit tidur maka bantuan teknik relaksasi dapat membantu mengatasinya, tarik napas dan hembuskan perlahan. Pola hidup sehat juga menuntun dan menuntut diri untuk jauh dari konsumsi minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang.
5. Kembali Rutin Beraktivitas
Aktivitas rutin yang teratur tak hanya menjadi solusi trauma pasca bencana, tetapi juga membuat tubuh lebih bugar karena ritme sirkadian membaik. Aktivitas harian dapat dilakukan dengan siklus pengaturan jam bangun tidur hingga tidur kembali yang teratur.
Kegiatan dapat diselingi dengan olahraga sehingga pertumbuhan melaju ke arah yang sehat dan positif. Aktivitas yang disukai cenderung meningkatkan mood, misalnya melakukan hobi tertentu, berenang, berjalan-jalan di taman, membaca buku hingga meditasi di alam terbuka.
Writer: Nisa Salma M