SUKABUMIUPDATE.com - Bencana gempa Cianjur masih menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, termasuk Sukabumi.
Lokasi gempa Cianjur bahkan tak pernah absen dari hiruk pikuk pengunjung, baik dari dalam maupun luar daerah.
Antusiasme masyarakat untuk berkunjung ke lokasi bencana nyatanya tak melulu berdampak positif. Sampai-sampai Suharyanto, Kepala BNPB menyatakan lokasi bencana gempa bumi Cianjur bukan tempat wisata, pada Kamis, 24 November 2022.
Mengutip dari doktersehat.com, fenomena lokasi bencana bukan tempat wisata ternyata pernah terjadi pada 2018 lalu saat Tsunami menerjang kawasan pesisir Selat Sunda.
Ketika itu banyak orang menyalurkan bantuan untuk korban tetapi juga melakukan selfie di lokasi bencana, bukan semata dokumentasi kegiatan lembaga tertentu. Maka tak heran perilaku tersebut dianggap tidak berempati.
Apakah Selfie Termasuk Gangguan Jiwa?
Ilustrasi Selfie | Foto: Pexels
Berbicara mengenai selfie maka sebenarnya itu adalah hak pribadi masing-masing. Namun, ketika frekuensi selfie terlalu sering hingga merugikan orang lain maka hal tersebut harus segera diwaspadai.
Jadi apakah selfie gangguan jiwa? Jawabannya adalah iya, jika berlebihan. Pasalnya dalam dunia medis, selfie berlebihan disebut sebagai Selfitis atau Selfitis Syndrome.
Selfitis Syndrome membuat pengidapnya memiliki kebutuhan besar untuk memotret diri sendiri dan mengunggahnya di media sosial.
Istilah Selfitis Syndrome diciptakan oleh para ahli dari American Psychiatric Association tahun 2014 silam untuk menggambarkan obsesi berlebihan terhadap selfie.
Fakta lain tentang Selfitis Syndrome juga diungkap dalam penelitian dr. Mark Griffiths dari Nottingham Trent University dan rekan-rekannya dari Thiagarajar School of Management, India.
Penelitian tersebut mencoba memahami tingkat keparahan selfitis 400 partisipan asal India, negara pengguna media sosial Facebook terbesar di dunia.
Pada tahun 2017, hasil penelitian dipublikasikan dalam International Journal of Mental Health and Addition, mengungkap tiga tingkatan selfitis Selfitis Syndrome.
- Borderline Selfitis, adalah Selfitis Syndrome yang ditandai dengan memotret diri sendiri minimal sehari tiga kali namun tidak diunggah di akun media sosial.
- Acute Selfitis, sedikit berbeda dengan Borderline Selfitis. Tingkatan Selfitis Syndrome yang ditandai dengan kebiasaan memotret diri sendiri setidaknya sehari tiga kali dan diunggah di akun media sosial.
- Chronic Selfitis, tingkatan Selfitis Syndrome terakhir berupa dorongan yang tidak dapat dikendalikan untuk memotret diri sendiri sepanjang waktu.
Foto yang diambil kemudian diunggah ke akun media sosial, frekuensi dalam satu hari bahkan bisa lebih dari enam kali.
Lantas mengapa seseorang bisa mengidap Selfitis Syndrome?
Penyebab Selfitis Syndrome cukup beragam yang terbagi menjadi enam kategori, diantaranya yaitu:
1. Wadah Meningkatkan Kualitas Lingkungan
Pengidap Selfitis Syndrome beranggapan bahwa perilaku selfie dan mengunggah hasil foto ke media sosial dapat meningkatkan kualitas lingkungan yang dimiliki.
Biasanya ditandai dengan merasa nyaman dan punya kemampuan ekspresif terhadap dirinya.
2. Status Sosial
Selfitis Syndrome dapat dipicu oleh faktor kompetisi “sosial”, persaingan jumlah views, likes, maupun comments di sosial media.
Pengidap Selfitis Syndrome meyakini semakin banyak jumlah likes pada postingan mereka maka semakin tinggi pula status sosial mereka.
Oleh karenanya, pengidap Selfitis Syndrome rela melakukan apapun demi meraih views, likes, atau comments sebanyak-banyaknya.
3. Si Caper atau Cari Perhatian
Sebagian besar orang mengaku kebiasaan mengunggah foto berlebihan di akun media sosial karena kurang perhatian dari orang-orang sekitar, termasuk keluarga.
Sehingga, para pengidap Selfitis Syndrome memilih mencari perhatian secara virtual dengan selfie berlebihan.
4. Upaya Mengurangi Stress
Pengidap Selfitis Syndrome merasa lebih baik ketika melakukan aktivitas memotret diri sendiri.
Para Selfitis Syndrome juga merasa nyaman dan menganggap selfie sebagai pelarian untuk meredakan stress.
Perilaku ini bisa jadi dipicu oleh pengakuan positif dari pengguna sosial media di dunia maya, dimana perhatian tersebut tidak didapatkan dari dunia nyata.
5. Lebih PD atau Percaya Diri
Teknologi yang semakin berkembang memudahkan siapapun untuk melakukan beberapa perubahan sesuai yang kita inginkan.
Maksudnya adalah seperti penggunaan filter tertentu secara berlebihan agar tampil lebih baik dalam hal visual di dunia virtual.
Imbasnya kepercayaan diri akan meningkat dan timbul dorongan internal untuk melakukan hal serupa secara terus menerus.
Akhirnya, selfie dan foto diunggah berlebihan terus dilakukan karena haus akan validasi atau pengakuan dari orang sekitar.
6. Penyesuaian Diri dengan Lingkungan
Para pengidap Selfitis Syndrom menyebut kebiasaan selfie dan mengunggah foto di akun media sosial adalah bentuk penyesuaian diri dengan suatu komunitas atau kelompok sosial.
Ketakutan dan Kekhawatiran tidak diakui di kelompok tersebut menjadi alasan utama selfie dilakukan berlebihan.
Writer: Nida Salma S