SUKABUMIUPDATE.com - Larangan menikah orang Sunda dan Jawa menjadi Mitos Indonesia yang masih sering dibicarakan hingga saat ini. Bahkan di era modern seperti sering tidak sedikit yang masih percaya mitos soal larangan pernikahan ini.
Kepercayaan orang Indonesia terhadap mitos dibangun dari cerita legenda yang para leluhurnya. Cerita rakyat, mitos, dan legenda memiliki fungsi dan kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat yang mempercayai.
Larangan menikah Sunda-Jawa juga termasuk bentuk kolaborasi antara mitos, cerita rakyat, dan legenda. Mengutip dari Jurnal Sastra Dan Kearifan Lokal Universitas Muhammadiyah Cirebon, kisah sejarah larangan menikah antara orang Sunda dan Jawa, dibeberkan dengan lugas oleh Dikhorir Afnan yang diterbitkan tahun 2022.
1. Awal Mula Munculnya Larangan Pernikahan Sunda-Jawa
Fenomena larangan pernikahan antara orang Sunda dan orang Jawa merupakan mitos yang paling dekat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Mitologi larangan menikah Sunda-Jawa nyatanya berkaitan dengan peristiwa sejarah Perang Bubat antara kerajaan Majapahit (Suku Jawa) dengan kerajaan Sunda (Suku Sunda).
Tragedi perang bubat terjadi tahun 1357 di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk yang didampingi Patih Gajah Mada. Perang bubat dipicu perbedaan pendapat antara Patih Gajah Mada dengan Raja Sunda, Prabu Maharaja.
Diketahui Prabu Maharaja hendak mengantarkan putrinya, Dyah Pitaloka yang akan dinikahkan dengan Prabu Hayam Wuruk. Singkat cerita, Patih Gajah Mada menghendaki pernikahan sederhana yang menempatkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan kepada Raja Hayam Wuruk, sekaligus tanda bakti dan bukti Kerajaan Sunda berada di bawah kekuasaan Majapahit.
Di lain sisi, Prabu Maharaja justru ingin pernikahan besar karena kedudukan yang sama antara raja dengan putri raja. Akhirnya, perbedaan pendapat menyebabkan terjadinya pertempuran di Bubat. Sungguh Naas, Prabu Maharaja terbunuh dan Dyah Pitaloka memilih mengakhiri hidupnya.
Perang Bubat menjadi peristiwa bersejarah yang menunjukan sisi gelap rusaknya hubungan diplomasi antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda.
2. Mitos Larangan Pernikahan Sunda-Jawa
Mitos menjadi bagian dari sistem pengetahuan dan kepercayaan sosial yang tumbuh dari imajinasi yang terus berkembang. Sejarah Perang bubat membentuk stereotip etnis Jawa dan Sunda bagi sebagian masyarakat.
3. Bukti Historis Perang Bubat dalam Larangan Pernikahan Sunda-Jawa
Peristiwa perang bubat bersumber dari historiografi serta babad Kidung Sunda, Serat Pararaton, dan Carita Parahyangan. Sedangkan, larangan menikah antara orang Sunda dengan orang Jawa, menurut sejarawan hanya mitos belaka karena tidak memiliki landasan ilmiah.
• Kidung Sunda
Manuskrip Kuno Kidung Sunda adalah salah satu sumber pustaka tentang peristiwa perang bubat yang melukai hubungan kerajaan besar di Jawa Timur, Majapahit dan Jawa Barat, Pajajaran. Bercerita tentang Raja Hayam Wuruk dari Majapahit yang menghendaki permaisuri putri raja Kerajaan Pajajaran. Namun, strategi Patih Gajah Mada menyebabkan peperangan yang membuat Prabu Maharaja meninggal dan sang putri, Dyah Pitaloka mengakhiri hidupnya.
• Serat Pararaton
Serat Pararaton memuat sejarah raja-raja Jawa sejak zaman Ken Arok, Singasari. Patih Gajah Mada menempatkan pengantin putri sebagai persembahan kepada raja Majapahit dalam perkawinan.
Persembahan seolah olah memberi makna Pajajaran adalah wilayah kekuasaan Majapahit. Hal tersebut tidak dikehendaki oleh Prabu Maharaja, sehingga terjadilah perang bubat.
Salah satu dampak perang bubat yakni keluarga atau kerabat keraton Kerajaan Sunda dilarang menikah dengan keluarga atau kerabat keraton Majapahit (Jawa). Keputusan ini kemudian diikuti oleh masyarakat kedua kerajaan dan menjadi mitos hingga saat ini.
• Carita Parahyangan
Disini perang bubat dikisahkan sebagai musibah, akibat kehendak putri Dyah Pitaloka yang ingin menikah dengan raja Jawa.
4. Upaya pemerintah hapus Mitos Larangan Pernikahan Sunda-Jawa
Mitos permusuhan dan larangan pernikahan pasangan Sunda-Jawa turut diketahui para pejabat publik. Misalnya, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Walikota Bandung Ridwan Kamil, dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.
Untuk menumpas mitos yang beredar, para pejabat mengintegrasikan wilayah dengan nama kerajaan dan tokoh yang berpengaruh pada masanya. Strategi ini dapat dilihat dari penggunaan nama Jalan Pajajaran dan Jalan Siliwangi di Yogyakarta serta Jalan Mataram dan Jalan Hayam Wuruk di Bandung. Nama jalan tadi berfungsi sebagai lambang integrasi wilayah, masyarakat, dan budaya.
5. Perbedaan Prosesi Pernikahan Sunda dan Jawa
• Prosesi Pernikahan Sunda
1. Mapag penganten
2. Ngabageakeun
3. Meuleum harupat
4. Muka panto
5. Nincak endog
6. Huap lingkup
7. Pabetot bakakak
8. Leupaskeun japati
9. Saweran
• Prosesi Pernikahan Suku Jawa
1.Balangan gantal
2. Ngidak tagan
3. Sinduran
4. Bobot timbang
5.Minum rujak degan
6. Kacar kucur
7. Dulangan
8. Sungkeman
Prosesi pernikahan yang paling mirip antara Suku Sunda dan Jawa adalah nincak endog atau di suku Jawa disebut ngidak tagan. Prosesi ini merupakan ritual loncatan telur dengan filosofi simbol pengabdian istri kepada suaminya sejak menikah.
Sumber : UNJ
Writer: Nida Salma M