SUKABUMIUPDATE.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak terutama kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN. Akan tetapi, tarifnya lebih rendah dari tarif normal.
"Atau dapat juga tidak dipungut PPN bagi masyarakat yang tidak mampu," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat yang disiarkan secara virtual, Senin, 28 Juni 2021.
Tidak ada pungutan PPN bagi masyarakat tidak mampu, kata dia, dapat dikompensasi dengan pemberian subsidi.
"Sekali lagi di sini kami bisa menggunakan tangan subsidi yaitu belanja negara dalam APBN dan tidak menggunakan tangan PPN-nya," ujarnya seperti dilansir dari tempo.
Menurutnya, hal itu menjadi sesuatu di dalam rangka untuk compliance (pemenuhan) maupun untuk memberikan targeting yang lebih baik.
Dia menyadari bahwa pendidikan dan kesehatan adalah sektor yang penting untuk investasi sumber daya manusia. Pemihakan itu terlihat pada belanja negara.
Menurutnya, meski kontribusi pajak pendidikan sangat terbatas atau Rp 2,95 triliun, belanja pendidikan dalam APBN mencapai Rp 455,66 triliun. Sedangkan kontribusi perpajakan dari kesehatan Rp 27,5 triliun, namun belanja negara mencapai Rp 193,4 triliun.
Sri Mulyani juga mengatakan bahwa C-Efficiency PPN Indonesia sebesar 63,58 persen, di mana artinya Indonesia hanya bisa mengumpulkan 63,58 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut.
Terlalu banyak pengecualian atas barang dan jasa (4 kelompok barang dan 17 kelompok jasa) dan terlalu banyak fasilitas (PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut), kata dia, menyebabkan distorsi dan terjadinya ketimpangan kontribusi sektor usaha pada PDB dan PPN DN.
Dia juga mengatakan bahwa tarif PPN 10 persen jauh lebih rendah dari tarif rata-rata dunia yang sebesar 15,4 persen. "Tarif tunggal juga kurang mencerminkan keadilan," ujar Sri Mulyani.
SUMBER: TEMPO.CO