SUKABUMIUPDATE.com - Pemerintah resmi meluncurkan bantuan tunai se-Indonesia tahun 2021 pada 4 Januari 2021 lalu sebagai upaya penanganan dampak Pandemi Covid-19. Bantuan yang semula dikenal dengan istilah bantuan sosial atau bansos ini terdiri dari Program Keluarga Harapan atau PKH, Program Sembako/Bantuan Pangan Non Tunai atau BPNT, dan Bantuan Sosial Tunai atau BST dengan anggaran senilai Rp 110 triliun. Lalu sampai kapan kita bisa bertahan hidup dengan sederet bantuan ini? Simak catatan berikut.
Presiden Joko Widodo saat itu mengatakan, bantuan tersebut diharapkan bisa meringankan beban keluarga yang terdampak Pandemi Covid-19. Ia juga berharap bantuan itu dapat memicu pergerakan ekonomi nasional dan memperkuat daya beli masyarakat. Sehingga pertumbuhan ekonomi nasional bisa meningkat dan menjadi lebih baik.
Secara rinci, PKH adalah bantuan sosial bersyarat berupa tunai kepada 10 juta keluarga miskin yang ditetapkan sebagai keluarga penerima manfaat. Besaran bantuan yang diterima tergantung pada kondisi keluarga masing-masing. Tetapi, penerima bantuan tersebut mesti terdaftar dan hadir pada fasilitas kesehatan dan pendidikan terdekat.
Sedangkan melalui program BPNT, pemerintah memberikan bantuan tunai senilai Rp 200 ribu per bulan per kepala keluarga kepada 18,8 juta keluarga penerima manfaat untuk dibelanjakan bahan pangan di tempat yang sudah ditentukan. Sementara BST senilai Rp 300 ribu diberikan per bulan per kepala keluarga yang disalurkan kepada 10 juta keluarga penerima manfaat melalui PT Pos Indonesia selama periode Januari hingga April 2021.
Program bantuan tunai ini didasari oleh angka kemiskinan yang naik akibat Pandemi Covid-19. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta orang terhadap Maret 2019.
Sedangkan dibanding September 2019, jumlah penduduk miskin Maret 2020 di daerah perkotaan naik sebanyak 1,3 juta orang (dari 9,86 juta orang pada September 2019 menjadi 11,16 juta orang pada Maret 2020). Sementara itu, daerah pedesaan naik sebanyak 333,9 ribu orang (dari 14,93 juta orang pada September 2019 menjadi 15,26 juta orang pada Maret 2020).
Bansos Rawan Dikorupsi?
Bantuan tunai sebenarnya bukan hal baru. Selama dua dekade terakhir, Indonesia memang kerap mengandalkan bantuan tunai sebagai penunjang masyarakat yang menghadapi krisis ekonomi dan sosial, mulai dari beragam program BLT hingga bantuan tunai yang diberikan untuk masyarakat terdampak Pandemi Covid-19.
Namun diakui atau tidak, kasus yang melibatkan eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara pada akhir 2020 lalu membuktikan bahwa bansos rawan terhadap penyalahgunaan. Juliari ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dalam kasus korupsi dana bantuan sosial Covid-19 karena diduga menerima suap senilai Rp 17 miliar dari pengadaan bantuan sosial bagi masyarakat.
Indonesia Corruption Watch lewat siaran pers pada 7 September 2020 lalu juga mengatakan, ada dua potensi masalah yang menjadi celah penyalahgunaan dana bansos, yakni kendala distribusi dan sistem pengadaan barang dan jasa.
Berangkat dari masalah itu, pemerintah akhirnya mengubah bentuk bansos yang semula dari program sembako menjadi tunai. Namun bukan berarti tidak ada korupsi, karena diduga hanya menggeser celah korupsi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Dewi Anggraeni menuturkan, pendistribusian BST pun tetap memiliki sejumlah celah untuk terjadinya praktik korupsi, meskipun bantuan ini disalurkan langsung ke rekening penerima. Misalnya, penerima bansos tidak seluruhnya memiliki rekening maupun mempunyai pemahaman terkait bagaimana mengakses bantuan tersebut, sehingga ada peluang bagi perantara yang membantu mengakses bantuan ini untuk meminta "uang lelah" alias pungutan liar.
Bahkan KPK pada tahun 2020 lalu pun telah menambahkan fitur JAGA Bansos dalam aplikasi JAGA. Aplikasi JAGA sendiri dapat diunduh oleh masyarakat melalui gadget dengan sistem operasi android maupun iOs. Masyarakat bisa menggunakan fitur baru tersebut untuk melaporkan dugaan penyelewengan atau penyalahgunaan bantuan sosial.
Penambahan fitur JAGA Bansos merupakan upaya tambahan yang dilakukan KPK dalam melakukan sejumlah langkah antisipatif pencegahan korupsi. KPK telah memitigasi titik rawan korupsi dalam penanggulangan Pandemi Covid-19.
KPK mengidentifikasi bahwa yang menjadi salah satu titik rawan adalah terkait penyelenggaraan bansos sebagai bagian dari jaring pengaman sosial.
Selain itu, ada pula sederet persoalan dalam penyaluran bansos ini yang sering menimbulkan kegaduhan akibat kurangnya keakuratan dan ketepatan data penerima.
Bansos Ini Dipakai Apa?
Berdasarkan hasil penelitian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia pada tahun 2019, ditemukan bahwa bansos, khususnya yang disalurkan secara tunai, akan mendorong konsumsi rokok di kalangan penerima.
Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa penerima bansos memiliki konsumsi rokok secara nilai dan kuantitas lebih tinggi ketimbang bukan penerima bantuan sosial. Misalnya penerima PKH memiliki pengeluaran rokok Rp 3.660 per kapita per minggu dan 3,5 batang per kapita per minggu lebih tinggi ketimbang bukan penerima program.
Ketua Tim Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, Teguh Dartanto dalam peluncuran hasil penelitian pada Juli 2019 lalu mengatakan, temuan dalam penelitian tersebut mesti disikapi secara hati-hati. Artinya bukan berarti bansos dihentikan. Ia berujar, tujuan bantuan sosial tersebut memiliki tujuan bagus, namun keefektifannya berkurang karena adanya perilaku merokok dari si penerima.
Namun dalam sumber yang lain disebutkan, mantan Menteri Sosial, Agus Gumiwang Kartasasmita membantah hasil penelitian tersebut, terutama untuk pendistribusian PKH. Ia menegaskan bahwa penyaluran PKH diiringi dengan proses pendampingan agar penerima tidak menyalahgunakan bantuan tersebut.
Dalam penemuan terbaru juga menunjukkan bahwa dampak negatif tersebut tidak bisa dipukul rata untuk semua program bansos.
Berdasarkan kajian yang dilakukan SMERU Research Institute yang dirilis pada Desember 2020 lalu, BLT yang disalurkan selama periode 2005-2015 tidak terbukti mendorong perilaku berisiko, antara lain merokok, berhenti bekerja atau mengurangi jam kerja, dan tidak menabung atau tidak memiliki asuransi.
Lembaga ini tidak menemukan adanya pengaruh BLT terhadap perilaku berisiko penerima, baik yang didasarkan pada jenis kelamin, tingkat pendidikan, maupun tingkat kesejahteraan rumah tangga. Bahkan dalam studi tersebut disebutkan, BLT membawa dampak positif dalam membantu mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin.
Kendati demikian, Direktur Eksekutif CORE, Mohammad Faisal menegaskan, bantuan tunai bukan solusi permanen dalam upaya pengentasan kemiskinan. Ia mendorong pemerintah agar menciptakan lapangan kerja sebagai strategi jangka panjang, meskipun bantuan ini tetap diperlukan dalam keadaan genting, termasuk saat pandemi. Ia pun mendukung adanya perbaikan bantuan bersyarat seperti PKH sebagai upaya pengentasan kemiskinan struktural karena program tersebut mendorong anak dari keluarga penerima manfaat untuk mengikuti sekolah.
Selain Bansos, Apakah Ada Solusi Lain?
Di sisi lain, di tengah Pandemi Covid-19 ini pemerintah telah mengesahkan UU Cipta Kerja yang disebut akan meningkatkan investasi di Indonesia. Dengan peningkatan investasi tersebut, diharapkan akan banyak tercipta lapangan kerja.
Namun nyatanya, dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM, pada tahun 2019 lalu nilai realisasi investasi Indonesia mencapai sekitar Rp 809,6 triliun. Namun angka sebesar itu hanya mampu menyerap sekitar 1 juta tenaga kerja, padahal dalam setiap tahun ada sekitar 2,92 juta penduduk usia kerja yang masuk pasar kerja. BKPM mengatakan, perkembangan teknologi mempengaruhi angka penyerapan tenaga kerja tersebut, meskipun nilai realisasi investasinya tinggi.
Sedangkan BKPM mencatat realisasi investasi di Indonesia sepanjang periode Januari hingga September 2020 telah mencapai Rp 611,6 triliun, naik 1,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Total ini memenuhi 74,8 persen dari target investasi 2020 sebesar Rp 817,2 triliun.
Dengan kata lain, sektor investasi pun masih dipertanyakan soal sumbangannya terhadap angka serapan tenaga kerja.
Sumber: tirto.id | Badan Pusat Statistik | Badan Koordinasi Penanaman Modal | KPK