SUKABUMIUPDATE.com - Perdagangan bursa saham di hari pertama pembukaan tahun 2021 diwarnai terjadinya auto reject bawah (ARB) saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGAS, Senin (4/1/2021).
Saham PGAS atau PGN turun 6,95 persen dari penutupan akhir tahun 2020 lalu, yaitu jatuh ke posisi Rp 1.540 per saham.
Hal ini cukup mengejutkan karena terjadi di tengah laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menguat 59,72 persen ke posisi 6.038 pada sesi pertama perdagangan saham, Senin pukul 11.30 WIB.
Hingga pukul 13.51 WIB, IHSG naik 1,3 persen ke posisi 6.058,76. IHSG yang menguat itu didukung oleh 247 saham yang menghijau. Sementara itu, 229 saham melemah dan 143 saham tetap. Total frekuensi saham 892.766 kali dengan volume perdagangan saham 15,5 miliar saham. Nilai transaksi harian saham Rp 9,7 triliun.
Kondisi ini diduga sebagai imbas dari kekalahan PGAS dalam sengketa pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan RI (Kemenkeu RI) pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA) atas perkara transaksi tahun pajak 2012 dan 2013 yang telah dilaporkan pada catatan Laporan Keuangan per 31 Desember 2017 dan selanjutnya.
Seperti diketahui, tahun 2019 lalu, MA mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan DJP Kemenkeu RI atas sengketa pajak melawan PGAS.
Atas putusan MA tersebut, PGAS berpotensi harus membayar pokok sengketa pajak sebesar Rp 3,06 triliun. Nilai tersebut belum termasuk tambahan denda yang harus mereka bayar.
Terhadap potensi pembayaran pokok dan denda sengketa tersebut, hingga laporan keuangan per 30 September 2020, PGAS belum membentuk pencadangan dengan alasan masih berkeyakinan pengadilan Pajak akan memutus menang pihaknya.
Sekretaris PGAS, Rachmat Hutama menjelaskan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) ihwal keyakinan perusahaannya bisa memenangkan perkara sengketa pajak tersebut berdasarkan alasan pengadilan pajak yang telah mengabulkan seluruh permohonan pada angka 1.d yang didukung dengan penegasan DJP melalui surat-surat:
1. Surat DJP tertanggal 19 Agustus 2019 lalu yang isinya menegaskan bahwa gas bumi yang dijual PGAS merupakan barang hasil pertambangan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2. Surat DJP tertanggal 15 Januari 2020 yang menegaskan bahwa kegiatan PGAS mengalirkan gas bumi dalam rangka penjualan gas bumi kepada pelanggan merupakan satu kesatuan kegiatan menyerahkan gas bumi yang tidak dikenai PPN.
3. DJP yang telah menghapus tagihan pajak atas sengketa yang sama untuk periode tahun 2014-2017 lalu.
"Persoalan mendapatkan informasi soal putusan PK ini melalui website MA pada 18 Desember 2020 setelah Laporan Keuangan Perseroan per 30 September 2020 disampaikan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," tulis Rachmat dalam keterbukaan informasinya kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) beberapa waktu lalu.
Saat ini, lanjut Rachmat, PGAS tengah melakukan evaluasi dan penyiapan langkah hukum yang akan ditempuh setelah menerima secara resmi Salinan Putusan PK dari Mahkamah Agung.
Dari informasi dihimpun, PGAS juga memiliki sengketa pajak dengan pokok perkara yang sama dengan angka 1 di atas, yaitu adanya perbedaan penafsiran atas ketentuan Peraturan Menteri Keuangan atas pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi untuk periode tahun 2014-2017 lalu. Atas perkara ini DJP telah menerbitkan 48 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan jumlah total Rp 3,82 triliun.
PGAS kemudian mengajukan keberatan terhadap 48 SKPKB tersebut. Alhasil DJP mengabulkan seluruh permohonan keberatan PGAS. DKP juga membatalkan tagihan SKPKB senilai Rp 3,82 triliun.
Dengan penegasan dari DJP melalui surat nomor S-2/PJ.02/2020 tanggal 15 Januari 2020 tersebut, Rachmat meyakini tidak akan lagi terjadi dispute atas pajak pertambahan nilai gas bumi periode selanjutnya dan harapannya bisa memperkuat upaya-upaya hukum lebih lanjut atas sengketa tahun 2012-2013 lalu.