SUKABUMIUPDATE.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di dua bulan awal 2025 pada hari ini.
Dalam konferensi pers berdurasi sekitar 3 jam tersebut, tempo.co mengabarkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tak menyinggung sama sekali soal dampak sistem Coretax bagi penerimaan negara di awal tahun ini.
Salah satu yang disorot dari paparan APBN KiTa (kinerja dan fakta) oleh Sri Mulyani adalah realisasi penerimaan pajak. Hingga akhir Februari 2025 pendapatan dari pajak mencapai Rp 187,8 triliun. Angka ini turun 30,19 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2024, yakni Rp 269,02 triliun.
Menurut Sri, pola realisasi Pendapatan Negara tetap sama dari tahun ke tahun dengan realisasi Januari dan Februari yang mengalami penurunan.
“Kita melihat ada beberapa perlambatan terutama karena adanya koreksi harga-harga komoditas yang memberi kontribusi penting bagi perekonomian kita seperti batu bara kemudian minyak dan dalam hal ini nikel,” jelas Sri Mulyani kepada awak media pada saat konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Kamis (13/3/2025).
Baca Juga: Rapat Tertutup Direktorat Jenderal Pajak dan DPR Bahas Coretax: Sistem Baru yang Masih Bermasalah?
Sementara itu Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu menegaskan bahwa salah satu faktor utama yang menyebabkan penurunan penerimaan pajak di awal tahun 2025 ini imbas turunnya harga komoditas utama seperti batu bara yang anjlok 11,8% year-on-year (yoy), minyak mentah turun 5,2%, dan nikel turun 5,9%.
"Mengingat sektor pertambangan dan energi merupakan penyumbang pajak terbesar, pelemahan harga komoditas berdampak langsung pada berkurangnya setoran pajak," tuturnya.
Kemudian faktor kedua, tambahnya, adalah perubahan dalam sistem administrasi perpajakan, dimana pemerintah mulai menerapkan skema Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
Hal itu menurutnya menyebabkan perbedaan dalam perhitungan dan pencatatan penerimaan pajak dibandingkan tahun sebelumnya.
Anggito memaparkan bahwa secara riil, penerimaan PPh 21 tahun ini sebenarnya lebih tinggi, tetapi karena perubahan skema, angkanya terlihat lebih rendah secara kas.
Selain itu, kebijakan relaksasi pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri juga berpengaruh.
"Pemerintah memberikan kelonggaran dengan memperpanjang tenggat pembayaran hingga 10 Maret 2025, yang berarti sebagian penerimaan pajak yang seharusnya tercatat pada Februari tertunda ke bulan berikutnya," ucapnya.
Terpisah, Dosen Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi berpendapat Kemenkeu seharusnya mengakui bahwa Coretax adalah faktor utama keterlambatan penerimaan pajak ini. Sehingga ia menyebut Kemenku perlu memaparkan masalah dari sistem perpajakan baru tersebut.
Syafruddin menilai Kemenkeu mengabaikan dua faktor penting penyebab penurunan pendapatan dari pajak, yakni implementasi Coretax yang bermasalah dan lesunya dunia usaha. Ia pun menilai Kemenkeu terlalu menyederhanakan masalah fiskal yang terjadi.
“Jika harga komoditas menjadi satu-satunya penyebab, maka dampaknya hanya akan terlihat pada pajak sektor pertambangan dan perkebunan,” ucap Syafruddin dikutip dari tempo.co.
Namun, berdasarkan data APBN KiTa edisi Februari 2025 yang sempat dipublikasi Kementerian Keuangan, Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) pada Januari 2025 sebesar Rp 2,58 triliun. Angka itu anjlok sekitar 92,7 persen dari PPN DN periode Januari 2024 yang sebesar Rp 35,6 triliun.
Padahal, menurut Syafruddin, pemerintah memperkenalkan Coretax dengan harapan meningkatkan efisiensi perpajakan. Namun, nyatanya transisi yang tidak mulus dan justru menghambat pencatatan dan pembayaran pajak.
Akibatnya, banyak wajib pajak mengalami kesulitan teknis dalam pelaporan, sementara internal administrasi pajak juga belum sepenuhnya siap. “Penerimaan pajak yang seharusnya masuk tepat waktu mengalami penundaan, yang menyebabkan defisit APBN semakin dalam,” kata Syafruddin.
Selain itu, menurut dia, dunia usaha yang masih tertekan juga berkontribusi terhadap lemahnya penerimaan pajak. Oleh sebab itu, Sri Mulyani seharusnya tidak hanya menyalahkan harga komoditas sebagai pemicu jebloknya penerimaan pajak, tapi mengakui bahwa kebijakan perpajakan dan kondisi ekonomi domestik sama-sama berperan dalam melemahkan penerimaan negara.
“Tanpa evaluasi menyeluruh terhadap implementasi Coretax dan strategi pemulihan dunia usaha, defisit APBN akan semakin sulit dikendalikan dalam jangka panjang,” ucapnya.
Sekadar diketahui, Coretax adalah sistem administrasi perpajakan yang terintegrasi, yang diperkenalkan untuk mempermudah wajib pajak dalam mengelola berbagai aspek perpajakan, termasuk pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan pajak.
Coretax memungkinkan wajib pajak untuk mendaftar NPWP secara online melalui aplikasi di perangkat seluler mereka, menggantikan berbagai aplikasi sebelumnya seperti e-Reg, DJP Online, e-Nofa, dan web e-faktur. Dengan penggunaan teknologi berbasis Commercial Off-the-Shelf (COTS), diharapkan proses administrasi pajak menjadi lebih efisien, terintegrasi, dan memudahkan masyarakat.
Coretax sendiri mulai diterapkan pasca diluncurkan pemerintah pada 1 Januari 2025.
Sumber: Laman Kemenkeu/Tempo.co