SUKABUMIUPDATE.com - Asosiasi Pengusaha Indonesia atau APINDO tidak sepakat dengan aturan upah minimum sektoral kota dan kabupaten (UMSK) tahun 2025 di Jawa Barat. APINDO menilai aturan dalam surat keputusan Gubernur itu akan mengancam keberlangsungan industri padat karya di Jabar bahkan berpotensi picu gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja)
Diketahui pada 27 Desember 2024 Gubernur Jawa Barat menerbitkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 561.7/Kep.838-Kesra/2024 tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561.7/Kep.802-Kesra/2024 terkait Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) di Jawa Barat Tahun 2025.
Baca Juga: UMKM di Ciemas Masih Berjuang Pulih, Pasca Banjir Dahsyat Sukabumi Sebulan Lalu
Dalam rilis yang diterima redaksi sukabumiupdate.com, Sabtu (4/1/2025) APINDO Jawa Barat mengutarakan sejumlah keberatan atas SK tersebut.
APINDO Jawa Barat menyayangkan sektor padat karya dimasukkan ke dalam salah satu sektor di SK UMSK sedangkan sektor ini melibatkan banyak tenaga kerja dan sangat rentan terhadap perubahan upah. Di tengah situasi sulit saat ini, kebijakan yang memberatkan sektor padat karya dapat mengancam keberlangsungan usaha dan lapangan kerja.
Baca Juga: Kurangi Risiko Gagal Bayar, Pengguna Pay Later Harus Punya Pendapatan Minimal Rp 3 Juta
"Padahal, Pak Presiden telah menekankan pentingnya penyelamatan sektor ini sebagai pilar ekonomi nasional," tegas Ketua APINDO Jabar, Ning Wahyu Astutik dalam rilis tersebut.
Meskipun padat karya yang dimaksud dalam SK ini hanyalah padat karya untuk perusahaan multinasional, yang merupakan perusahaan yang beroperasi di lebih dari satu negara. APINDO Jabar menilai ini berbeda dengan perusahaan penanaman modal asing (PMA), yang sahamnya dimiliki oleh pihak asing, juga berbeda dengan perusahaan internasional, yang beroperasi di Indonesia tetapi melakukan ekspor produk ke berbagai negara.
Baca Juga: Kemenag sebut Arab Saudi Berencana Batasi Usia Jemaah Haji, Maksimal 90 Tahun
Sebagai contoh, lanjut Ning, perusahaan yang memproduksi merek-merek internasional seperti New Balance, Nike, Adidas tidak serta-merta dianggap multinasional, kecuali perusahaannya terdapat di berbagai negara. Hal ini menunjukkan bahwa definisi perusahaan multinasional bergantung pada perusahaannya, bukan merek atau produknya.
APINDO Jawa Barat mengingatkan bahwa dunia usaha saat ini menghadapi banyak tantangan, seperti penurunan pesanan dan persaingan yang semakin ketat. Dalam SK ini, disebutkan bahwa UMSK hanya berlaku bagi perusahaan yang mampu membayarnya.
Jika perusahaan tidak mampu, maka dapat dilakukan perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja sesuai ketentuan yang disebutkan dalam Diktum Kedua-A SK Gubernur Jawa Barat tentang UMSK.
APINDO Jawa Barat juga menilai perubahan SK Gubernur terkait UMSK membawa dampak buruk bagi Jawa Barat. Pertama, perubahan ini menciptakan ketidakpastian hukum yang mengikis kepercayaan investor dan mengurangi daya tarik Jawa Barat sebagai destinasi investasi.
Baca Juga: Sekda Ade Sambut Dukungan Relawan, Berkolaborasi Pulihkan Sukabumi Pasca Bencana
Kedua, perubahan akibat tekanan pihak tertentu menjadi preseden buruk di masa mendatang, menunjukkan regulasi dibuat bukan berdasarkan prinsip hukum dan keadilan, melainkan pengaruh eksternal, yang melemahkan wibawa pemerintah dan mengurangi legitimasi regulasi yang diterbitkan. Ketiga, ketidakpastian ini mendorong relokasi perusahaan ke provinsi lain atau bahkan negara lain yang dianggap lebih stabil dan ramah terhadap investasi, sehingga dapat memicu gelombang PHK di Jawa Barat dan akan memperburuk tingkat pengangguran di Jawa Barat yang saat ini sudah ada di posisi tertinggi secara nasional.
Menurut Ning, ika dilihat dari segi hukum, APINDO Jawa Barat menilai SK tersebut cacat hukum karena melanggar aturan yang ada di Permenaker No 16 tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025. Pertama, penetapan SK ini melewati batas waktu maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa UMSK tahun 2025 harus ditetapkan paling lambat 18 Desember 2024, sedangkan SK Gub tentang UMSK baru ditetapkan pada 27 Desember 2024.
Kedua, SK ini mencakup sektor padat karya dan beberapa sektor industri lain yang seharusnya tidak memenuhi kriteria sektor tertentu pada Pasal 7 Ayat (3), yang mengatur bahwa sektor tertentu adalah sektor dengan karakteristik dan risiko kerja yang berbeda dari sektor lainnya, serta menuntut pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi khusus.
Ketiga, penetapan SK ini tidak melalui kesepakatan Dewan Pengupahan, melainkan dilakukan secara sepihak. Hal ini bertentangan dengan Pasal 9 Ayat (2), yang menyatakan bahwa UMSK harus didasarkan atas kesepakatan Dewan Pengupahan Kab/Kota.
Selanjutnya APINDO Jawa Barat juga menyampaikan bahwa SK UMSK terbit tidak Sesuai dengan Prinsip dan Hukum Administrasi Pemerintahan. SK ini melanggar Pasal 10 Ayat (1) juncto Pasal 52 Ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, di mana SK ini tidak memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), seperti asas kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, keterbukaan, dll. Selain itu, penetapan tersebut juga melanggar syarat sahnya keputusan seperti syarat di mana SK harus dibuat sesuai prosedur.
"Setelah melihat bahwa SK Gubernur tentang UMSK ini bertentangan dengan regulasi, APINDO Jawa Barat mempertanyakan: "Apakah sebuah kebijakan yang secara jelas cacat hukum tetap harus diikuti?" sambung Ning Wahyu Astutik.
Dengan semua pertimbangan yang sudah disampaikan, Ketua APINDO Jawa Barat, didampingi Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik APINDO Jabar, Yohan Ibrahim, menegaskan lagi, apabila produk SK ini cacat hukum, maka mengikuti yang salah akan semakin salah.
"Meminta pengusaha untuk pandai-pandai menyikapi hal ini. Juga menyampaikan pesan kepada para auditor compliance perusahaan untuk cerdas dan adil, memilah yang benar dan yang salah, serta mengikuti kebenaran berdasar kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam melakukan audit," pungkas Ketua APINDO Jabar, Ning Wahyu Astutik.