Penulis: Leonita Siwiyanti (Dosen Program Studi Manajemen Retail Fakultas Ekonomi - Universitas Muhammadiyah Sukabumi | Mahasiswa Doktoral Ilmu Manajemen FPEB - Universitas Pendidikan Indonesia)
Pemerintah Indonesia baru-baru ini memperkenalkan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Program ini merupakan sebuah kewajiban baru bagi seluruh pekerja di Indonesia, tanpa terkecuali. Para pekerja harus menyisihkan sebesar 3% dari penghasilannya guna membangun tabungan kepemilikan rumah.
Tampak dari permukaan Tapera seperti sebuah kebijakan yang progresif untuk memfasilitasi kepemilikan rumah bagi rakyat. Namun, setelah mempelajarinya lebih jauh, kebijakan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan kritis, terutama bagi buruh seperti pekerja pabrik dan pengemudi ojek online (ojol).
Mempertanyakan Efektivitas Tapera dalam Memecahkan Masalah Perumahan Rakyat
Pertama, kita harus mengetahui apakah Tapera benar-benar selaras dengan kebutuhan dan kemampuan finansial pengemudi ojol dan pekerja pabrik. Gaji yang rendah seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, belum lagi jika mereka harus menghidupi keluarganya Jika mereka dipaksa untuk menyisihkan 3% dari penghasilan bulanan mereka untuk Tapera, kondisi ekonomi mereka pasti akan terganggu.
Bayangkan pekerja yang bekerja di pabrik yang menerima upah minimum regional (UMR). Setiap bulan, dia harus menyetor sekitar Rp90.000,00 ke Tapera. Setoran tersebut sangatlah besar karena semestinya dapat membiayai kebutuhan dasar seperti makan, listrik, air, dan biaya sekolah anak-anak. Belum lagi dalam kasus kebutuhan tambahan seperti biaya perawatan kesehatan. Situasi yang sama juga dialami oleh pengemudi ojol yang memiliki penghasilan yang tidak pasti.
Baca Juga: Menteri Basuki Sesalkan Tapera Bikin Rakyat Marah, Bakal Ditunda?
Kita harus mempertanyakan kemampuan finansial kaum buruh serta efektivitas Tapera dalam memecahkan masalah perumahan bagi kalangan bawah. Tujuan sebenarnya dari program ini adalah untuk membuat hidup lebih mudah bagi rakyat. Namun, apakah itu bisa terbukti benar?
Sebagai contoh, pikirkan tentang seorang buruh pabrik yang telah menyetorkan Tapera selama bertahun-tahun. Apakah uang yang dia miliki cukup untuk membeli rumah yang layak di tengah harga properti yang semakin tinggi? Tentu saja tidak. Dia mungkin sudah terlalu tua untuk memiliki rumah sendiri, bahkan jika ia harus menunggu hingga tabungan Taperanya mencukupi.
Sebaliknya, pemerintah belum menunjukkan komitmen yang serius untuk menyediakan hunian murah dan berkualitas tinggi bagi rakyatnya. Rumah susun sederhana, atau rusunawa masih tidak memadai. Selain itu, harga rumah susun sederhana (RSS) yang dijual masih cukup mahal bagi mereka yang berpenghasilan rendah.
Karena itu, sekarang pertanyaannya adalah apakah Tapera benar-benar mampu mewujudkan impian kaum buruh untuk memiliki rumah sendiri atau hanya ilusi?
Mempertanyakan Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Dana Tapera
Kita harus mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana Tapera selain mempertanyakan kemampuan finansial kaum buruh. Kita juga harus mempertanyakan kemampuan Tapera untuk memecahkan masalah perumahan. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa dana yang dikumpulkan benar-benar digunakan untuk tujuan yang benar, daripada disalahgunakan atau dikorupsi oleh individu-individu tertentu?
Bayangkan jika dana Tapera yang dikumpulkan dari rakyat jelata malah digunakan untuk proyek-proyek mewah para konglomerat atau bahkan digelapkan demi kepentingan pribadi mereka sendiri. Bukankah itu sama dengan mengambil harapan dan mimpi orang-orang yang kurang beruntung untuk keuntungan mereka sendiri?
Pemerintah harus memberikan jawaban yang jelas dan menyeluruh atas pertanyaan-pertanyaan penting ini. Rakyat berhak atas jaminan bahwa program Tapera dimaksudkan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk retorika politik.
Karenanya, Tapera harus dilihat dari perspektif yang lebih luas. Tidak ada jawaban dari kebijakan itu sendiri. Hal ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mengalihkan tanggung jawab untuk menyediakan hunian yang layak kepada rakyat. Seakan-akan pemerintah menyampaikan, "Jika kalian ingin punya rumah, tabunglah sendiri!"
Padahal, pemerintah seharusnya bertanggung jawab penuh untuk memastikan semua orang memiliki akses ke perumahan berkualitas dan murah. Bukankah menjamin kesejahteraan rakyat merupakan tanggung jawab negara?
Dengan kata lain, Tapera menjadi beban baru bagi kaum buruh, yang seharusnya mendapat perhatian dan dukungan lebih dari pemerintah. Tapera malah menambah masalah ekonomi yang sudah mereka hadapi.
Solusi Komprehensif untuk Meningkatkan Efektivitas Tapera bagi Kaum Buruh
Setelah mengkaji beberapa hal di atas, kita bisa mencoba solusi yang komprehensif. Kita bisa melihat antara masalah kemampuan finansial kaum marginal dengan kebijakan Tapera dari pemerintah. Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan pemerintah dalam menyikapi masalah ini.
Pertama, pemerintah harus menyesuaikan besaran iuran Tapera dengan kemampuan finansial pekerja berpenghasilan rendah, seperti pengemudi ojek online dan pekerja pabrik. Mereka harus melakukan analisis menyeluruh tentang kondisi ekonomi dan kemampuan finansial pekerja tersebut. Berdasarkan analisis ini, besaran iuran Tapera dapat dikurangi dengan menerapkan skema iuran progresif berdasarkan tingkat penghasilan.
Kedua, pemerintah harus memprioritaskan pembangunan perumahan berkualitas tinggi dan murah. Sangat penting untuk menunjukkan komitmen yang kuat untuk menyediakan hunian yang layak dan murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pembangunan rusunawa dan rumah sangat sederhana (RSS) harus dipercepat dan dengan biaya yang masuk akal bagi kaum buruh. Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan pihak swasta untuk membangun rumah susun atau perumahan subsidi untuk warga berpenghasilan rendah.
Ketiga, pemerintah harus memastikan bahwa pengelolaan dana Tapera jelas dan akuntabel. Sistem pengawasan dan audit yang ketat harus dibuat untuk pengelolaan dana Tapera. Semua informasi tentang penggunaan dana Tapera harus diberikan kepada masyarakat. Selain itu, untuk mengawasi pengelolaan dana Tapera, dibentuk badan pengawas independen yang terdiri dari perwakilan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan buruh.
Terakhir, kebijakan Tapera harus dievaluasi secara menyeluruh dan periodik. Pemerintah harus memastikan bahwa program Tapera benar-benar selaras dengan kebutuhan dan kemampuan finansial masyarakat, terutama bagi kaum buruh.
Ada beberapa contoh program yang telah sukses dilaksanakan di negara lain yakni program perumahan publik yang diawasi oleh Hong Kong Housing Authority (HKHA) yang bertujuan untuk menawarkan perumahan murah kepada penduduk berpenghasilan rendah hingga menengah di Hong Kong. HKHA berhasil menawarkan berbagai jenis perumahan, mulai dari unit sewa bersubsidi hingga perumahan yang dapat dibeli dengan harga terjangkau.
Selain itu, pemerintah Brasil meluncurkan program Minha Casa, Minha Vida yang berhasil membantu rakyat miskin mendapatkan perumahan. Caranya dengan membangun perumahan murah melalui kemitraan publik-swasta dan memberikan subsidi langsung kepada pekerja. Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara lain untuk membuat program Tapera lebih efektif dalam menyediakan perumahan yang layak dan terjangkau bagi seluruh masyarakatnya.
Jadi, apakah Tapera benar-benar solusi untuk masalah perumahan rakyat atau hanya strategi untuk mengalihkan beban? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting ini harus terbuka dan jujur. Rakyat berhak atas kepastian, bukan hanya janji-janji. (ADV)