SUKABUMIUPDATE.com - Rupiah adalah mata uang yang digunakan di negara Indonesia. Kekinian, isu redenominasi Rupiah semakin hangat diperbincangkan publik.
Isu Redenominasi Rupiah ini menguat usai Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengaku sudah menyiapkan rencana terkait hal tersebut.
Redenominasi sendiri merupakan penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya, contohnya dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Perry menuturkan bahwa adanya keputusan redenominasi ini nantinya harus menunggu waktu yang tepat.
Tak hanya itu, kata Perry, ada tiga faktor yang bisa menentukan redenominasi rupiah mampu direalisasikan atau tidak, diantaranya kondisi ekonomi makro bagus, kondisi kebijakan moneter stabil dan kondisi sosial politik yang mendukung.
Baca Juga: 25 Ucapan Selamat Idul Adha untuk Caption di Medsos
Pengamat ekonomi turut berkomentar terkait dengan adanya wacana redenominasi rupiah, khususnya memperingatkan adanya sejumlah resiko yang mengintai apabila redenominasi dilakukan.
Lantas, apa saja resiko dari redenominasi rupiah tersebut? Simak informasinya sebagaimana dikutip via Suara.com!
Mengenal Redenominasi Rupiah
Hal pertama yang harus digarisbawahi adalah redenominasi rupiah belum bisa dilakukan dalam jangka waktu dekat. Direktur dan Ekonom Center ot Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira menyebut, redenominasi rupiah memang mempunyai manfaat positif, tetapi masih belum bisa dilakukan dalam jangka waktu dekat.
Baca Juga: Jejak Ponpes Al Zaytun di Cisaat Sukabumi, Panji Gumilang Diduga Islamophobia
Akan tetapi, tak hanya memiliki resiko buruk, redenominasi rupiah juga memiliki sejumlah manfaat positif. Manfaat redenominasi rupiah tersebut yakni:
- Meningkatkan efisiensi transaksi keuangan
- Penyederhanaan laporan keuangan
- Mencegah kesalahan penghitungan uang tunai karena nominal yang terlalu banyak.
Meskipun demikian, Bhima tetap memberikan peringatan apabila BI memang masih mau melakukan redenominasi sebaiknya harus membuat roadmap dahulu sehingga masyarakat dan para pelaku usaha bisa bersiap-siap.
Baca Juga: 10 Ucapan Selamat Idul Adha untuk Calon Mertua, Kirim di WhatsApp Yuk Mantu Idaman!
Bhima menyebut, sejumlah pertimbangan sebelum melakukan redenominasi, misalnya terkait dengan stabilitas inflasi yang harus tetap terjaga.
Kondisi ideal untuk melakukan redenominasi merupakan apabila inflasi kembali ke level pra pandemi, atau berada di kisaran 3 persen, bahkan lebih rendah dari angka tersebut.
Lebih lanjut, Bhima menjelaskan, apabila redenominasi tetap dilaksanakan saat kondisi inflasi masih tinggi, ia khawatir akan terjadi hiperinflasi.
Ia memberikan contoh, misal ada harga barang sebelum terjadi pemangkasan nominal uangnya sebesar Rp 9.200, pada saat redenominasi tidak mungkin mengubah harga menjadi Rp 9,2.
Hal tersebut kemudian menjadikan harga dibulatkan ke atas, misal menjadi Rp 10. Dampaknya, akan ada banyak barang yang harganya naik secara signifikan.
Baca Juga: 20 Twibbon Idul Adha 2023 dengan Desain Unik dan Beragam, Download Gratis!
Bhima meminta agar pemerintah belajar dari kegagalan redenominasi beberapa negara yang gagal, seperti Brasil, Rusia, serta Argentina.
Diketahui, kegagalan terjadi karena kurangnya persiapan teknis, sosialisasi, kepercayaan terhadap pemerintah yang rendah, serta ekonomi yang mengalami tekanan eksternal.
Menurut Bhima, jumlah penduduk dan juga unit usaha di Tanah Air cukup besar, butuh sekitar 10-15 tahun persiapan sejak regulasi redenominasi dibuat.
Bhima juga memperingatkan, momentum pemulihan ekonomi seperti saat ini baiknya tidak ada kebijakan yang kontraproduktif.
Hal tersebut dikarenakan penyesuaian terhadap nominal baru dapat mempengaruhi administrasi dan akuntansi puluhan juta di Indonesia.
Ia menambahkan, wacana redenominasi harus dikaji lebih serius, jangan dilakukan secara tergesa-gesa, dan harus benar-benar dilakukan pada saat kondisi ekonomi sudah stabil.
Sumber : Suara.com/Syifa Khoerunnisa