SUKABUMIUPDATE.com - Shadow Banking disebut juga sistem perbankan bayangan yang cukup dikenal di kalangan pemerhati keuangan.
Shadow Banking adalah fenomena dimana sekelompok perantara keuangan yang memfasilitasi penciptaan kredit di seluruh sistem keuangan global, tetapi anggotanya tidak tunduk pada pengawasan peraturan, dilansir dari investopedia.com. Perusahaan-perusahaan ini sering dikenal sebagai nonbank financial companies (NBFCs) atau perusahaan keuangan nonbank. Shadow Banking juga mengacu pada kegiatan yang tidak diatur oleh lembaga yang diatur.
Fenomena shadow banking ini bukanlah hal baru dalam dunia perbankan. Istilah praktik perbankan bayangan sempat menyeruak saat uang milik atlet eSport, Winda Lunardi senilai Rp 22,9 miliar hilang seketika dari salah satu rekening bank nasional di Indonesia pada November 2020 lalu.
Baca Juga: Bacok Siswa SMK Hingga Tangan Nyaris Putus, 4 Remaja di Cicurug Sukabumi Diringkus
Dikutip dari laman resmi International Monetary Fund via Tempo, penamaan shadow banking diciptakan oleh seorang ekonom Paul McCulley dalam orasi di simposium keuangan tahun 2007 yang diselenggarakan oleh Kansas City Federal Reverse Bank. Shadow banking merujuk pada lembaga keuangan non bank yang memakai dana simpanan jangka pendek untuk membayar pinjaman jangka panjang.
Para pelaku instansi keuangan tersebut sebagian besar meminjam dana dari pasar uang dan untuk membeli aset dengan nilai lebih panjang. Sayangnya, lantaran mereka tidak tunduk kepada peraturan perbankan termasuk dalam hal peminjaman uang darurat dan asuransi. Maka mereka berada dalam situasi yang disebut dengan perbankan bayangan.
Sementara itu, Dewan Stabilitas Keuangan (Financial Stability Board), sebuah organisasi otoritas keuangan serta pengawas lembaga keuangan internasional mendefinisikan apa itu shadow banking secara lebih luas. Institusi keuangan akan mengambil saldo dari nasabah dan meminjamkannya kepada pihak lain atau dikenal dengan istilah intermediasi kredit.
Adapun empat faktor utama dari intermediasi kredit, antara lain:
1. Transformasi jatuh tempo (maturity transformation), yaitu memperoleh dana jangka pendek untuk dipergunakan dalam investasi jangka panjang.
2. Transformasi likuiditas (liquidity transformation) adalah sebuah konsep yang membutuhkan uang tunai untuk membeli aset dengan tingkat penjualan lebih rumit seperti pinjaman.
3. Leverage ialah teknik meminjam dana untuk membeli aset tetap supaya meningkatkan peluang keuntungan investasi.
4. Transfer risiko kredit (credit risk transfer) artiya mengambil risiko peminjam dan memberikannya ke pihak lain.
Baca Juga: Long March Zero Emissions, Siswa di Cisaat Sukabumi Ajak Warga Kurangi Emisi
Alasan shadow banking dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan
Selama investor mampu memahami risiko dari aktivitas pemanfaatan dana nasabah, maka tidak ada perkara yang ditimbulkan. Kemudian, masalah akan muncul apabila investor menarik aset jangka panjang dalam juga besar dan sekaligus. Pada akhirnya, lembaga keuangan yang terjebak shadow banking terpaksa mengurangi nilai aset dalam pembukuan mereka.
Memperkirakan besarnya ukuran sistem pada perbankan bayangan tidaklah mudah. Mengingat para pelaku tidak berorientasi kepada kebijakan yang diterbitkan pemerintah. Lembaga yang menganut shadow banking paling banyak ditemui di Amerika Serikat dengan total sebesar 44%.
Tidak berbeda jauh, di Tanah Air sendiri, peristiwa shadow banking masih marak. Menurut anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kemal Azis Stamboel menyatakan bahwa pemerintah mendukung kebijakan untuk memperkuat dan mencegah shadow banking.
“Praktik shadow banking harus diatur dan disupervisi dengan ketat. Hal ini menjadi pengalaman berharga”, kata Kemal dalam keterangan tertulis dikutip Jumat (3/2/2023).
Sejalan dengan hal tersebut, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa BI terus mencermati perkembangan digital dalam industri keuangan (financial technology) seperti peer to peer lending.
Bahaya shadow banking dijelaskan dalam sebuah kajian McKinsey & Company pada Agustus 2019. Perusahaan konsultan global tersebut menganalisis sejumlah korporasi di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia. Disebutkan bahwa semakin meningkatnya kredit jangka panjang dengan interest coverage ratio (ICR) di bawah 1,5. Hasilnya banyak lembaga keuangan berisiko gagal bayar (default).
Di sisi lain, pembiayaan berpusat ke lembaga perbankan dan non bank akibat lemahnya pasar modal di beberapa negara. Imbasnya, pembiayaan dari fintech terus meroket. Apalagi jika gagal bayar, perbankan bayangan akan sibuk mencari pinjaman. Oleh karena itu, memahami bahaya dan apa itu shadow banking ternyata sangat berisiko memicu krisis baru.
SUMBER: TEMPO.CO | MELYNDA DWI PUSPITA