SUKABUMIUPDATE.com - Tidak hanya di kota-kota besar, kasus korupsi juga kerap kali terjadi di desa-desa.
Contohnya saja di Sukabumi pernah ada kasus korupsi yang melibatkan Asep Saefudin, Kepala Desa Kabandungan, yang melakukan korupsi keuangan desa tahun anggaran 2019-2020, yang membuatnya di divonis 4 tahun penjara oleh Hakim dalam sidang di Pengadilan Negeri Kabupaten Sukabumi, Senin 17 Oktober 2022 lalu.
Mengutip dari laman Pusat Edukasi Antikorupsi, pada data tahun 2021 setidaknya ada 62 kasus korupsi terjadi di desa. Hal tersebut melibatkan 61 kepala desa dan 24 aparatur desa yang tentunya menyebabkan kerugian untuk negara.
Baca Juga: Korupsi Bansos, Juliari Batubara Divonis 12 Tahun Penjara dan Denda Rp 500 Juta
Sementara itu, melansir dari sumber yang sama ada beberapa alasan Kepala Daerah termasuk Kepala Desa berani melakukan tindak korupsi.
Selain karena sifat serakah, penyebab lain mengapa Kepala Daerah serta Kepala Desa berani melakukan korupsi diantaranya yaitu, tingginya biaya politik saat mereka mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat jika anggaran politik yang tinggi terjadi karena dua hal, yaitu politik uang yang berbentuk mahar politik (nomination buying) seta jual beli suara (vote buying).
Sementara, dari kajian Litbang Kemendagri pada tahun 2015 menyatakan, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur setidaknya membutuhkan biaya Rp 20 miliar - Rp 100 miliar.
Padahal, pada kenyataannya pendapatan rata-rata gaji seorang kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode.
Selain itu, rasa balas budi pada orang atau sponsor yang mendukung saat pencalonan juga menjadi salah satu faktor yang mendorong Kepala Daerah termasuk kepala desa berani melakukan tindak korupsi.
Adapun modus-modus yang dilakukan Kepala Daerah untuk melakukan tindakan tercela itu dengan melakukan intervensi dalam penggunaan APBD diantaranya yaitu:
- Melakukan campur tangan dalam pengelolaan penerimaan daerah
- Ikut menentukan dalam pelaksanaan perizinan dengan pemerasan
- Benturan kepentingan dalam proses pengadaan barang jasa dan manajemen ASN seperti rotasi, mutasi, dan pengangkatan pegawai
- Penyalahgunaan wewenang terkait pengangkatan jabatan
- Dan penempatan jabatan pada orang dekat, seperti pemerasan dalam proses rotasi, mutasi, dan promosi.
Wakil Ketua KPK periode 2019-2023, Nawawi Pomolango dalam laman yang sama juga memberikan beberapa rekomendasi untuk mencegah terjadinya tidak korupsi Kepala Daerah, diantaranya yaitu:
- Berkoordinasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan BPKP Perwakilan di daerah yang diberi mandat untuk melakukan pengawasan serta pendampingan terkait pengadaan barang/jasa (PBJ) dan penguatan Aparat pengawasan Intern Pemerintah (APIP).
- Memperdayakan dan mendukung APIP melakukan pengawasan dalam program percepatan penanganan COVID-19, sehingga refokusing atau realokasi anggaran APBD tidak berdampak pada fungsi APIP.
- seluruh jajaran pemerintahan daerah menghindari transaksi penyuapan, pemerasan, gratifikasi, dan potensi benturan kepentingan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
- Mendukung tindak lanjut poin-poin rencana aksi dalam aplikasi Monitoring Centre of Prevention (MCP) tahun 2021 sebagai bentuk komitmen kepala daerah.
Sementara, melansir dari Instagram Pusat Edukasi Anti Korupsi, untuk tidak korupsi di desa yang dilakukan Kepala Desa dapat dicegah dengan adanya keterlibatan warga desa.
Selain itu, inilah lima alasan mengapa warga desa wajib itu berkontribusi dalam kegiatan di Desa.
- Mengawasi jalanya pemerintahan desa agar sesuai dengan tanggung jawabnya
- Aspirasi yang diberikan warga desa dapat mendorong kemajuan desa.
- Partisipasi warga desa dapat menjamin mutu pelayanan publik.
- Mengawasi pengaturan pembangunan untuk mencegah terjadinya praktik korupsi.
- Terciptanya pemerintahan desa yang efektif dan efisien.
Sumber: Pusat Edukasi Antikorupsi