SUKABUMIUPDATE.com - Gugatan di Mahkamah Konstitusi atau MK dengan Nomor register 131/PUU-XXI/2023 terkait dengan larangan hakim MK dari kerabat Presiden dan DPR memasuki babak baru.
Gugatan yang diajukan warga Lebak, Banten, Mochamad Adhi Tiawarman yang meminta MK menguji Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hari Kamis 12 Oktober 2023 telah disidangkan di MK dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
Hadir dalam sidang ini hakim konstitusi Prof. Dr. Enny Nurbaningsih,SH.,M.Hum, Dr. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, SH., M.H. dan Prof. Dr. M. Guntur Hamzah, SH.,M.H.
Kuasa hukum Pemohon, M.Z. Al-Faqih SH mengemukakan kepada panel hakim konstitusi dua pendapat ahli hukum ternama sebagai penguat dalil permohonan, yaitu pendapat pertama pendapat dari mantan ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan, Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran, yang terdapat di dalam karyanya yang berjudul Teori dan Politik Konstitusi yang diterbitkan oleh Penerbit FH UII Press, Yogyakarta, pada tahun 2004.
Baca Juga: Hakim MK Harus Bebas dari Kepentingan Presiden dan DPR Agar MK dipercaya Rakyat
Adapun pendapat Bagir Manan yang dikutip pemohon dari buku tersebut terdapat di halaman 126. Berikut kutipannya.
"bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah terbebasnya kekuasaan peradilan dari segala bentuk tekanan segala bentuk rasa takut -baik langsung atau tidak langsung- yang menyebabkan putusan hakim tidak lagi didasarkan hukum dan keyakinan hakim untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Apabila tersangkut kepentingan rezim yang berkuasa, putusan hakim tidak bebas (tidak merdeka), melainkan akan selalu berpihak pada kepentingan kekuasaan, tidak mengindahkan hukum dan nilai-nilai kebenaran serta keadilan”.
Adapun pendapat kedua adalah pendapat dari Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi, yang dikutip Pemohon yang berasal dari disertasi S3 Anwar Usman sewaktu menempuh S3 di UGM Yogyakarta, yang telah terbit menjadi buku dengan judul Kekuasaan Kehakiman bentuk dan Relevansinya Bagi Penegak Hukum dan Keadilan di Indonesia, yang diterbitkan PT Rajagrafindo Persada Depok pada tahun 2020 sebagaimana terdapat pada halaman 34 dari buku tersebut.
Adapun pendapat Anwar Usman yang dikutip adalah sebagai berikut:
"Kekuasaan kehakiman yang merdeka, dipersonifikasikan pada diri hakim yang melekat sifat bebas, tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun dan oleh siapapun, kecuali dinyatakan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Tegaknya hukum dan keadilan suatu kasus atau perkara, sangat bergantung dari situasi kebebasan yang dialami oleh hakim yang memutusnya.”
M.Z. Al-Faqih dalam persidangan menegaskan dengan merujuk dan berdasarkan pada pendapat Ketua MK tersebut, menurut Pemohon yang diwakili kuasanya tersebut, seorang hakim konstitusi harus terbebas dari hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang berkepentingan terhadap objectum litis (objek yang diadili).
M.Z. Al-Faqih menambahkan bahwa permohonan yang diajukan oleh prinsipalnya dalam rangka mendapatkan kepastian hukum, yaitu pada saat prinsipalnya mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang di MK, Prinsipalnya diadili oleh hakim-hakim konstitusi yang tidak memiliki hubungan darah dan/atau hubungan semenda dengan Presiden dan anggota DPR. Hal ini juga untuk mengokohkan kekuasaan kehakiman yang merdeka di Indonesia, Pungkasnya.