SUKABUMIUPDATE.com - Menteri Nadiem Makarim mengklaim bisa "mengetahui masa depan lebih baik", tahu tentang apa yang kita butuhkan di tengah badai perubahan, dalam dunia bisnis, lapangan kerja maupun pendidikan.
Tapi, saya sudah membaca "ramalan masa depan" jauh lebih mendasar, dengan basis riset mendalam, dari Alvin Toffler lewat bukunya: "Future Shock" (1970), "The Third Wave" (1980) dan "Powershift" (1990).
Toffler, yang meninggal pada 2006, tidak sempat menyaksikan bagaimana Revolusi Industri 4.0 kini dipromosikan orang secara latah seperti layaknya menjajakan daun gelombang cinta.
Baca Juga: Susuri Sungai Cimandiri, Pemkab Investigasi Sumber Sampah Pantai Loji Sukabumi
Membahas revolusi infromasi baik segi positif maupun negatifnya, banyak ramalan Toffler cukup relevan untuk kondisi sekarang dan bersifat menyeluruh. Prediksi Toffler mencakup beragam aspek dari budaya, politik, militer, demokrasi, bisnis hingga pendidikan.
Tentang pendidikan, Toffler mengutip seorang psikolog bernama Herbert Gerjuoy: "Kebodohan (illiterate) di masa depan bukanlah orang yang tidak bisa membaca; tapi orang yang gagal mendidik diri-sendiri, yang tidak mampu belajar bagaimana cara belajar."
Tujuan pendidikan hakiki bukanlah mencetak orang pintar atau siap kerja, tapi membekali serta merangsang kemandirian, agar seseorang mampu dan punya gairah untuk belajar terus-menerus.
Baca Juga: Cerita Lengkap Heboh Perempuan di Ujunggenteng Sukabumi Melahirkan Tanpa Hamil
Steve Jobs, pendiri Apple (Macintosh), mewarisi watak mandiri itu, dan dahaga terus-menerus untuk belajar. Salah satu kutipan paling terkenal darinya: "Stay hungry. Stay foolish". (Senantiasa lapar; senantiasa merasa bodoh).
Tak hanya pengusaha sukses, Jobs seorang visioner. Membangun usaha dari sebuah garasi bersama Steve Wozniak, Jobs mendorong demokratisasi informasi dan ilmu-pengetahuan lewat komputer meja dan jinjing Macintosh yang diproduksinya. Di masa sebelumnya, komputer hanya bisa dimiliki oleh perusahaan besar dan kaya, sebagian karena sangat mahal dan ukurannya sebesar kamar tidur (IBM mainframe).
Steve Jobs adalah salah satu orang yang saya kagumi, meski kekaguman itu belakangan agak berkurang karena komputer Macintosh ternyata tetap cenderung elitis. Lebih dari itu, sama seperti Windows milik Bill Gates (Microsoft), sistem operasinya Apple bersifat proprietary, alias tertutup kepemilikannya.
Baca Juga: Respon Usulan Warga, PU Sukabumi Perbaiki Jalan Cinagen Jampangkulon
Saya lebih kagum pada Linus Torvalds, tokoh di balik Linux, sistem operasi opensource yang bersifat terbuka, cuma-cuma dan jauh lebih demokratis. Torvalds juga visioner-humanis, bukan sekadar pembuat piranti lunak (programmer).
Torvalds memberi pengantar buku "The Hacker Ethic" (2001) yang ditulis Pekka Himanen, rekan senegaranya, Finlandia, salah satu negeri dengan konsep pendidikan paling baik di dunia. Himanen dikenal sebagai "filosof teknologi informasi".
Torvalds dan Himanen menekankan bahwa opensource seperti Linux bukanlah sekadar teknologi melainkan mencerminkan cara hidup dan pergaulan antar-manusia yang lebih sehat dan manusiawi. Watak opensource adalah kolaborasi egaliter yang dilandasi solidaritas kemanusiaan.
Baca Juga: Nobel Perdamaian 2023 Untuk Aktivis Perempuan Iran, Narges Mohammadi
Linux adalah satu produk yang dikembangkan oleh pengoprek (hackers) dari seluruh dunia, dengan latar belakang agama dan bangsa berbeda, tidak mengenal satu sama lain, dengan motif pertama-tama untuk kesenangan ketimbang mencari uang.
"Menulis program komputer (coding) adalah seperti menulis puisi," kata Torvalds.
Bagi Himanen, istilah pengoprek (hacker) tak hanya berlaku di dunia komputer. Siapa saja yang melakukan kegiatan kolaboratif untuk pertama-tama memenuhi hasrat kebahagiaan, saling belajar satu sama lain, serta dilandasi kesediaan berbagi dan solidaritas kemanusiaan, pada dasarnya adalah pengoprek.
Pengoprek, menurut Himanen, berlaku untuk profesi atau disiplin apapun: seniman, budayawan, ahli sosiologi, antropologi, geologi, biologi ataupun ekonomi.
Baca Juga: 9 Ciri Anak yang Mengalami Mental Block, Terlihat dari Perilakunya
Himanen menyebut komunitas opensource sebagai masyarakat paska-kapitalis (post-capitalist society), yang membebaskan manusia dari budak materi, kerja melulu dan uang. Dan itulah, kata dia, manifestasi pergaulan antar-manusia yang lebih selaras dengan semangat abad informasi. Semangat Generasi Z, yang bahkan lebih muda dari generasi Nadiem Makarim.
Judul lengkap buku Himanen sesuai dengan pesan itu: "The Hacker Ethic and the Spirit of the Information Age".
Jika kapitalisme mendorong persaingan yang menimbulkan ketegangan dalam diri maupun antar-manusia, semangat paska-kapitalis menyemai solidaritas, kerjasama dan kegembiraan.
Penulis : Farid Gaban, Wartawan Senior