SUKABUMIUPDATE.com - Pada 1918, seorang perempuan bernama Siti Soemandari menulis di koran Bangoen yang dipimpin oleh dr. Soetomo--pendiri Boedi Oetomo-- tulisan itu segera menimbulkan kegaduhan, karena dianggap menista Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Akibat kegaduhan yang meluas, redaksi Bangoen kemudian membuat Maklumat yang menyatakan bahwa pemuatan tulisan Soemandari adalah sebuah kekeliruan yang tidak disengaja, dan tidak mencerminkan sikap koran Bangoen.
Orang tua Soemandari di Jawa Timur, membuat surat terbuka di koran Bangoen atas kekhilafan putrinya yang menyinggung perasaan umat Islam. Tidak lupa orang tua Soemandari menegaskan bahwa dirinya dan Soemandari adalah pemeluk agama Islam.
Dengan Maklumat redaksi Bangoen, permintaan maaf dari Soemandari dan orang tuanya, kemarahan umat ternyata tidak mereda.
Dalam situasi seperti itu, pemimpin utama Sarekat Islam, Oemar Said Tjokroaminoto turun ke gelanggang. Dia mendirikan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) dan melakukan protes meeting di berbagai kota. Antara lain di Cirebon dan Surabaya.
Menurut catatan media massa saat itu, Protes meeting di Surabaya dihadiri oleh 10.000 orang. Suatu jumlah sangat besar untuk situasi masa itu.
Karena keberhasilan mengumpulkan 10.000 massa, Tjokroaminoto diberi gelar Raja Jawa Tanpa Mahkota.
Guna menggerakkan TKNM, Tjokro membuka open Donasi. Rupanya dana yang terkumpul sangat banyak, bahkan berlebih.
Kelebihan dana itu oleh Tjokroaminoto dan pemimpin TKNM dibelikan mesin cetak, dan digunakan sebagai modal awal untuk mendirikan surat kabar di Surabaya.
Melalui koran itu, Tjokro memasyarakatkan gagasannya mengenai Indonesia berpemerintahan sendiri (zelf bestuur) seperti yang dia candngksn pada Kongres Nationale Sarekat Islam di Bandung pada 1916.
Akan tetapi, rupanya dari sini pula dimulai desas-desus tentang Tjokro yang dianggap menggunakan TKNM untuk kepentingan pribadi. Salah seorang yang keras mengkritik Tjokroaminoto ialah Haji Misbach dari Solo, salah seorang donatur TKNM.
Misbach yang orientasi politiknya cenderung ke kiri, memang seorang yang tajir. Ia punya Hotel Islam, ia menerbitkan koran Islam Bergerak.
Sampai lima tahun kemudian, desas-desus mengenai Tjokroaminoto yg memanfaatkan TKNM untuk kepentingan pribadinya belum mereda di kalangan internal SI.
Demikianlah, ketika pada Maret 1923, Sarekat Islam menyelenggarakan rapat umum terbuka di Sukabumi, ihwal Tjokro dan TKNM tidak luput dari pembahasan.
Dalam rapat terbuka itu, Haji Misbach memanfaatkan kesempatan untuk menyerang Tjokroaminoto. Segera sesudah Haji Misbach selesai bicara, tokoh muda Sarekat Islam Sukarno dari Bandung, naik ke panggung.
Dengan suaranya yang menggelegar, Sukarno mengkritik H. Misbach, senior pergerakan yang saat itu namanya sudah disejajarkan dengan Dr. Tjipto Mangunkusumo.
Sukarno yang usianya baru menjelang 22 tahun, menganggap Haji Misbach tidak fair dan tidak ksatria, karena menyerang Tjokroaminoto yang tidak hadir di tempat itu.
Massa menunggu dengan berdebar, reaksi aktivis senior yang dikritik secara terbuka oleh seorang aktivis beliau. Massa menduga, Haji Misbach akan marah.
Di luar dugaan, Haji Misbach meminta maaf dan berterima kasih kepada Sukarno yang telah mengingatkan kekhilafannya mengkritik Tjokroaminoto yang tidak hadir di Sukabumi.
Soekarno segera menghampiri Haji Misbach. Dua tokoh pergerakan yang usianya terpaut jauh itu berjabat tangan erat. Secara terbuka keduanya saling mengakui kekurangan dan kekhilafan.
Inilah sikap jiwa tokoh-tokoh pergerakan, para pendahulu kita. Mereka siap berbeda pendapat, tetapi mereka juga siap utk mengakui kekurangan diri.
Mudah-mudahan sikap jiwa terbuka sayang telah dicontohkan oleh para pendahulu kita, menginspirasi kita di dalam mengarungi masa depan Indonesia yang tantangannya tidak semakin ringan dan karena itu makin memerlukan sikap jiwa yang lapang yang terjauh dari keinginan untuk menangnya sendiri.
Cicurug, 20 Maret 2023.
Oleh: Lukman Hakiem
Peminat Sejarah yang tinggal di Cicurug