SUKABUMIUPDATE.com - Salah satu situs religi unik dan menarik yang berada di jalur pegunungan Menoreh adalah Gua Maria Sendangsono yang berlokasi di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah, tepatnya di Dusun Semagung, Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dengan perkembangan zaman yang sangat mendukung segala kemudahan dalam fasilitas apapun, akses menuju Gua Maria Sendangsono ini dapat dijangkau menggunakan aplikasi Google Maps sehingga para calon wisatawan tidak kebingungan untuk mencari arah lokasi Gua Maria Sendangsono.
Saat ini, kondisi jalan menuju ke lokasi Sendangsono pun cukup bagus, mulus dan dapat dilewati dengan berbagai macam kendaraan seperti motor, mobil, elf, dan bahkan bus pariwisata.
Baca Juga: Unik! Nikmati Wisata Sejarah di Sukabumi Berbasis AR, Teknologi Augmented Reality
Hal ini dibuktikan ketika saya berkunjung ke sana parkiran Gua Maria Sendangsono dipenuhi oleh bus dan elf, juga dibuktikan dengan jalanan yang sudah beraspal. Selain aksesnya yang mudah dijangkau, di sepanjang jalan wisatawan akan disuguhkan dengan suasana yang begitu asri dan sejuk.
Situs religi ini terbuka untuk semua wisatawan dari kalangan keyakinan apapun. Dengan akses yang cukup bagus serta keindahan arsitektur yang unik, situs religi ini dapat direkomendasikan sebagai tempat wisata religi yang cukup baik.
Didalamnya wisatawan akan disuguhi pemandangan material pembangunan yang kompleks dengan nuansa batu sehingga terlihat alami dan arstitekur yang indah dengan lantai berundak-undak.
Awal mula adanya sejarah Gua Maria Sendangsono ini berasal dari sumber mata air semangung yang dipercaya masyarakat sebagai tempat tinggal roh-roh halus. Sendangsono berasal dari kata “Sandang” yang berarti mata air dan “Sono” yang berarti pohon angsana.
Jika digabungkan sendangsono memiliki arti “mata air dibawah pohon angsana.” Dahulu juga mata air ini digunakan sebagai tempat peristirahatan para biksu yang melakukan perjalanan dari boro-muntilan dan sebaliknya.
Saat ini, sumber mata air sendangsono tersebut dipercaya sebagai “air suci.” Gua Maria Sendangsono ini mulai dibangun pada tahun 1927-1929 dan benar-benar diresmikan pada tanggal 8 Desember 1929.
Terdapat tiga bagian di dalam situs religi Gua Maria Sendangsono ini, yaitu jalan masuk, pelataran, dan daerah sakral yang mana tempat tersebut dikhususkan untuk umat katolik yang ingin melakukan doa dan harus menciptakan suasana ketenangan.
Adapun jalur jalan salib yang terbagi menjadi dua, yaitu jalan panjang dan jalan pendek yang dimulai dari Paroki Promasan dan berakhir di Gua Maria Lourdes.
Dilansir dari Mojok.co, Gua Maria Sendangsono sebelum menjadi tempat doanya umat Katolik lebih akrab dengan sebutan Sendang Semangung. Saat itu, daerah Kalibawang merupakan daerah yang kekurangan air.
Masyarakat di sana sulit mendapatkan akses menggali sumur. Oleh sebab itu mereka menggunakan mata air sendangsono untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dikutip dari laman kebudayaanindonesia.net, sumber mata air yang berada di bawah pohon sono tersebut telah dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Konon menurut legenda, ada dua makhluk yang menguasai daerah itu, yakni seorang ibu bernama Dewi Lantamsari, dan anak satu-satunya, Den Baguse Samijo.
Baca Juga: Gempa Cianjur: Bencana Bukan Wisata, Kenali Penyebab Si Caper Selfitis Syndrom
Selain itu menurut kisah yang dituturkan antar generasi, sumber air Sendangsono atau yang dikenal dengan Semagung, digunakan sebagai tempat peristirahatan para biksu yang hendak menempuh perjalanan ke Borobudur.
Saat ini air suci sendangsono tersebut telah ditutup dan hanya bisa dilihat melalui kaca. Air tersebut masih dianggap suci dan dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Namun hal ini berbalik lagi kepada kepercayaan dan keyakinan yang dianut oleh masing-masing umat.
Selain dianggap sebagai “air penyembuh” yang dialirkan melalui keran-keran juga seringkali digunakan sebagai tempat membasuh muka. Biasanya para peziarah ataupun wisatawan selalu mengambil air tersebut untuk dibawa pulang dan mendoakannya di depan Gua Maria.
Terkadang beberapa peziarah juga suka menulis surat kepada Tuhan dengan cara mencurahkan permohonan melalui secarik kertas yang nantinya dimasukkan ke dalam wadah pembakaran.