SUKABUMIUPDATE.com - Tahun politik Indonesia, 2018, mulai menghangat usai pengumuman pendaftaran pasangan calon (paslon) cagub/cawagub dan cabup/cawabup, 8-10 Januari 2018 lalu. Meski penetapan paslon oleh KPUD 12 Februari 2018, tapi tampaknya tak akan banyak perubahan -- paslonnya akan sesuai dengan pendaftaran di KPUD tersebut. Kecuali karena faktor kesehatan yang gawat atau kasus kriminal. Jadi, kita bisa mengasumsikan, inilah hasil akhir gonjang-ganjing politik daerah menjelang pendaftaran paslon cagub/cawagub dan cabup/cawabup.
Semula, publik khawatir kampanye pilkada yang dimulai 15 Februari-13 Juni 2018, akan kembali “melambungkan†isu sara (suku, agama, ras, antargolongan) seperti Pilkada DKI, April 2017 lalu. Publik Jakarta, bahkan hampir seluruh rakyat Indonesia, nyaris terpecah karena kampanye sara tersebut. Jika kampanye sara di Pilkada DKI “menular†pada Pilkada 27 Juni 2018, apa yang terjadi di Indonesia, sungguh tak terbayangkan. Cukuplah, pengalaman Pilkada DKI adalah yang terakhir. Tak akan pernah terjadi lagi dalam Pilkada di Indonesia.
Harapan publik agar kampanye sara seperti Pilkada DKI tidak lagi terulang, tampaknya akan terpenuhi. Paling tidak jika melihat paslon-paslon yang diusung koalisi parpol dalam Pilkada Juni di Pulau Jawa. Kenapa Jawa? Hasil Pilkada Jawa sangat strategis untuk Pilpres 2019. Siapa yang menguasai Jawa, niscaya atau kemungkinan besar, akan memenangkan Pilpres. Sekitar 48% pemilih di Indonesia dalam Pemilu dan Pilpres berasal dari Jawa.
Kita tahu, kemenangan paslon di Pilkada yang diusung koalisi partai tertentu, sangat menentukan kemenangan Pilpres yang diusung koalisi terkait. Di Jabar, misalnya, karena gubernurnya Ahmad Heriyawan, yang diusung PKS dan Gerindra, Prabowo menang dalam Pilpres 2014. Itulah sebabnya, mencermati Pilkada di Jawa – khususnya cagub/cawagub – sangat penting untuk memprediksi presiden akan datang, hasil Pilpres 2019.
Dalam Pilkada di Jawa (Jabar, Jateng, dan Jatim) kali ini, ada sesuatu yang menarik. Ternyata, koalisi parpol-parpol untuk mendukung paslon cagub/cawagub dan cabup/cawabup sangat cair. Tiga partai yang – maaf -- selama ini dianggap publik menjadi “mastermind†kampanye sara di Pilkada DKI (PKS, Gerindra, dan PAN), pada pilkada 2018, ternyata mau “berkoalisi†dengan partai-partai pendukung Ahok di Pilkada DKI. Fenomena ini cukup meredam kecemasan publik yang takut akan terulangnya kampanye model “Gerakan 212†tahun 2017 lalu.
Di Jawa Barat, misalnya, meski koalisi tiga partai pengusung kampanye sara di DKI (PKS, Gerindra, dan PAN), masih bersatu – mereka akan sulit mencari sasaran kampanye saranya. Soalnya, empat paslon Pilkada Jabar Ridwan Kamil-UU Ruzhanul (PPP, PKB, Nasdem, dan Hanura); Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (Golkar dan Demokrat); Sudrajat –Ahmad Syaikhu (Gerindra, PKS, dan PAN); dan TB Hasanuddin-Anton Charliyan (PDIP) semuanya beragama Islam. Dengan demikian, kemungkinan “koalisi tiga parpol†bekerjasama dengan kelompok radikal untuk mengusung isu sara kecil sekali. Bahkan nyaris tak mungkin.
Khusus Jabar, perlu mendapat perhatian, karena konspirasi pengusung isu sara ini dan radikalisme kuat sekali. KH Mukti Ali, alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir -- penulis buku laris “Islam Mazhab Cinta†asal Tegalgubug, Cirebon -- yang melakukan penelitian tentang radikalisme di Indonesia, menyatakan: Jawa Barat adalah provinsi yang konsentrasi muslim radikalnya sangat besar. Jawa Barat adalah provinsi yang sangat mudah diguncang isu sara. Karenanya, Kyai Mukti Ali bersyukur, Pilkada 2018 di Jawa Barat, diikuti oleh empat paslon yang semuanya beretnis Jawa dan muslim. Dari keempat paslon tersebut, kata Mukti, kaum muslim radikal di Jawa Barat sulit menemukan celah untuk mengusung kampanye sara.
Semula, ada kekhawatiran PDIP akan mengusung paslon yang rawan sasaran kampanye sara. Tapi ternyata tidak. Dengan melihat paslon PDIP, TB hasanuddin-Anton Charliyan – yang keduanya santri – sulit untuk jadi sasaran kampanye sara. Apalagi Ridwan Kamil-Uu Rhuzanul Ulum – lebih tak mungkin lagi jadi sasaran kampanye sara, karena keduanya muslim taat; teruji dan sukses dalam memimpin Kota Bandung dan Kabupaten Tasikmalaya. Dari keempat paslon ini, pinjam pendapat arsitek bangunan etnik Fauzi Rahman asal Yogya -- hanya pasangan Ridwan-Uu yang ideal karena gabungan antara profesional (arsitek), negarawan, dan santri.
Bagaimana Jateng dan Jatim? Gerakan kaum radikal untuk mengusung kampanye sara lebih tak mungkin lagi. Jateng, misalnya, dengan paslon Ganjar Pranowo-Taj Yasin, jelas sulit digoyang isu sara. Apalagi Gus Yasin adalah putra KH Maemun Zubeir, kyai kharismatis pimpinan Ponpes Al-Anwar, Sarang, Rembang. Begitu pula pasangan Sudirman Said dan Ida Fauziah – keduanya muslim dan santri. Sedangkan di Jatim, dua paslon Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno dan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak, juga akan sulit diguncang isu sara. Saifullah adalah keturunan darah biru NU dan Khofifah adalah ketua umum empat periode Muslimat NU.
Di Jatim, tiga partai yang dianggap publik Anti-Ahok sebagai pengusung kampanye sara, terbelah. PKS dan Gerindra mendukung Saifullah-Puti. PAN mendukung Khofifah-Emil. Di Jateng juga, koalisi penggerak demo 212 (PKS-Gerindra-PAN) “tersusupi†PKB yang mendukung Sudirman-Ida.
Gambaran paslon cagub/cawagub di Jawa tersebut cukup menenangkan publik. Koalisi cair dalam Pilkada Juni 2018 di Jawa – pinjam istilah Mohammad Qodari, direktur eksekutif Indo Barometer – bisa meredam “gesekan†di masyarakat yang diletupkan kelompok pengusung kampanye sara. Kita berharap Pilkada di Jawa akan berlangsung aman dan tenang.
Setelah mengetahui peta koalisi partai politik dalam Pilkada di Jawa yang cair, saatnya para paslon menyusun strategi kampanye program. Meski Jawa masih menjadi pusat perekonomian dan peredaran uang di Indonesia, 20% rakyatnya masih bergelimang dalam kemiskinan. Bagaimana caranya mengatasi kemiskinan, itulah yang perlu diusung dalam kampanye berbasis program dalam Pilkada nanti.
Selain masalah kemiskinan banyak sekali isu yang bisa diusung untuk kampanye Pilkada di Jawa. Seperti makin menyempitnya lahan pertanian, deforestasi, sedikitnya lahan resapan, pencemaran sungai, seringnya banjir dan longsor, banyaknya pengangguran, dan macam-macam. Jika hal-hal seperti itu menjadi isu kampanye Pilkada Juni nanti, niscaya masyarakat akan bisa memilih calon pemimpin daerahnya dengan tepat karena pertimbangannya rasional dan masuk akal.