SUKABUMIUPDATE.com - Ibu, ayo mendongeng! Agar anak-anak kita pinter mendongeng. Agar cucu-cucu kita senang dongeng!
Begitulah nasehat Kartini kepada ibu-ibu yang ada di kampungnya. Di Jepara sana!
Mendongeng kelihatannya pekerjaan sederhana. Sebelum tidur, ibu-ibu di kampung suka mendongeng kepada anak-anaknya. Seperti dongeng “Kancil menyeberangi sungai penuh buaya†dan “Kancil balapan lari dengan keongâ€.
Kisah pertama. Konon, kancil ingin menyebrang sungai yang banyak buayanya. Ia pun memanggil semua buaya, lalu dimintanya berderet sampai sebrang sungai.
Kancil akan memberinya hadiah. Ia akan menghitung buaya satu persatu.
Buaya pun menurut. Kancil pun menyeberang sungai dengan menggunkan punggung buaya.
“Terima kasih buaya. Kalian baik sekali. Aku bisa menyebrang sungai.â€
“Itulah hadiahku. Ucapan terima kasih,†kata kancil sambil menundukkan kepala. Buaya pun melongo. Tapi tak marah.
Kisah kedua. Karena kancil merasa larinya cepat, ia sering menertawakan keong yang jalannya lambat.
“Keong, kalau kau dapat mengalahkanku adu lari cepat, aku berlutut menyembahmu,†kata kancil sombong. Ia pikir, mana mungkin keong yang jalannya beringsut mau mengalahkan kancil yang larinya cepat. Kancil lupa, ini zaman medsos.
Mendapat tantangan itu, keong langsung memberitahu temannya melalui WA Group, agar berderet di sepanjang sungai.
Adu lari pun mulai. Setiap kancil menempuh jarak satu kilometer, ia menanyakan keong sampai di mana. Keong menjawab, sudah menempuh jarak dua kilometer. Kancil kaget. Ia mempercepat larinya. Tapi begitu tanya pada keong, ia selalu berada di depannya. Terus menerus seperti itu. Sampai kancil kelelahan. Ia menyerah. Kancil pun tunduk dan menyembah keong.
Dongeng pertama mengajarkan kepada anak-anak agar pinter menyusun strategi untuk mengecoh lawan. Ini penting untuk anak-anak kalau kelak jadi petinju, pemain bola, atau pemain tenis. Sedangkan dongeng kancil kedua, menasehati anak-anak agar tidak sombong.
“Lihat tuh kancil yang larinya cepat. Ternyata adu lari dengan keong yang jalannya beringsut di sungai kalah,! kata Shally kepada anak-anaknya menjelang tidur.
“Makanya jadi orang jangan sombong. Nanti menyesal seperti kancil yang menyembah keong,†ujar ibu dua anak itu. Anak-anak Shally pun mengangguk. Senang. Mereka pun membyangkan, bagaimna pintarnya keong memberi tahu teman-temannya di WA Group untuk mengecoh kancil. Lucu juga membayangkan kancil yang kelelahan seperti penyanyi Maryam Thawil usai nembang lagu Magadir.
Dongeng, ternyata tak hanya bagus untuk pendidikan moral dan karakter. Tapi juga bagus untuk mengasah imajinasi dan kecerdasan anak.
Mendongeng melatih imajinasi anak. Otak anak terlatih untuk menggambarkan sesuatu yang tak terlihat mata dan tak terdengar telinga.
Mendongeng memberikan latihan imajinasi yang sangat baik untuk membangun kecerdasan anak; baik secara visual, linguistik, maupun artistik. Tergantung bagaimana menyajikan dongengnya.
Bila ibu cara mendongengnya bagus – misal memberikan ilustrasi yang baik mengenai situasi alam atau karakter tokoh-tokoh dongengnya seperti kondisi zaman now – niscaya hal itu akan berpengaruh pula pada imajinasi anak.
Menurut Dr. Robi Muhammad, pakar medsos, dosen FISIP UI, di zaman now anak-anak sudah tak bisa lepas dari gadget. FB, WA, dan Instagram sudah menjadi menu sehari-hari. Jadi cerita kancil pun perlu menyertakan “dunia medsos†agar connect dengan imajinasi anak-anak era gadgetanium.
Prof. Robin Dunbar, guru besar antropologi biologi di Universitas Oxford, Inggris, dalam penelitiannya menunjukkan bahwa manusia sejak zaman purba sangat terpengaruh cerita dongeng atau cerita fiksi. Menurut Dunbar, cerita epos, dongeng, dan mitologi memainkan peranan sangat penting dalam membentuk corak suatu bangsa.
Aristoteles pun pernah mengungkapkan manfaat cerita fiksi, dongeng, dan sastra dalam kehidupan.
“Penonton yang menyaksikan drama menyedihkan seperti Oedipus Sang Raja,†kata Aristoteles, “akan mengalami katarsisâ€. Katarsis adalah perasaan lega plong, puas, dan nikmat.
Pernyataan Aristoteles 2500 tahun lalu itu, kini dibuktikan kebenarannya oleh Prof Robin Dunbar. Ia pernah melakukan penelitian antropologi-biologi dengan mengajak anak-anak menonton film dan drama fiksi. Hasilnya, anak-anak itu hormon endorfin-nya meningkat. Endorfin adalah senyawa kimia yang menimbulkan perasaan senang.
Lebih jauh Dunbar menjelaskan, dongeng dan cerita fiksi juga mewariskan kebajikan dan menanamkan nilai-nilai luhur. Dan itu sangat penting dalam proses pembentukan karakter dan kohesivitas sosial anak.
Dongeng dan cerita fiksi, tulis Dunbar, memberikan ikatan imajiner terhadap pendengar dan penontonnya sehingga kelak menjadi acuan dalam pembentukan karakter hidupnya. Karena itu, kata Dunbar, karakter suatu bangsa dapat direkayasa melalui dongeng dan cerita fiksi.
So, jangan mengecilkan ibu-ibu yang suka mendongeng kepada anak-anaknya. Masa depan sebuah bangsa, lanjut antropolog itu, sangat ditentukan cerita dongeng dan fiksi tersebut.
Gadget sudah menjadi kebutuhan anak zaman now. Benar, melalui gadget anak bisa mengunggah Strawberry Shortcake, Masha and The Bear, dan Upin Ipin. Tapi, tetaplah ibu harus mendampinginya.
Masha yang lucu dan bandel, misalnya, perlu dijelaskan kembali oleh ibu kepada anak-anaknya. Kenapa? Apa akibatnya? Jangan sampai sang anak meniru persis kelakuan Masha yang sering menjengkelkan beruang baik itu.
Peran ibu, tetaplah tak bisa digantikan gadget dalam mendongeng. Ibu menghangatkan jiwa anak. Melindungi anak. Menyamankan anak.
Gadget? No way! Peran ibu terhadap anak tak tergantikan apa pun, siapa pun.
Kahlil Gibran – penulis Sang Nabi - menyatakan:
Ibu adalah segalanya
Dialah penghibur dalam kesedihan
Pemberi harapan dalam penderitaan
Pemberi kekuatan dalam kelemahan
Pemberi pengampunan dalam kesalahan
Dialah sumber cinta, belas kasih, dan simpati
Itulah ibu. Sosok paling berharga dalam kehidupan manusia. Ia tak tergantikan.
Selamat Hari Ibu!