SUKABUMIUPDATE.com - Jumat (9/12) kemarin adalah Hari Antikorupsi Internasional (HAKI). Di Filipina, HAKI diperingati meriah. Bahkan istana ikut memperingatinya. Begitu pula di Singapura. Masyarakat antusias memperingatinya.
Di Indonesia? Hanya KPK yang antusias memperingatinya. Dua lembaga terpenting, DPR dan Istana, tampaknya diam-diam saja. Seperti tak peduli. Di kementerian, hanya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang antusias memperingatinya HAKI. Menteri Sri Pudjiastuti di depan undangan, antara lain Ketua KPK Laode Muhammad Syarief, seakan mendapat panggung untuk memberikan alasan, kenapa ia tega membakar kapal-kapal ikan yang ketahuan mencuri ikan di laut Indonesia.
Selama 30 menit, Menteri Susi berbicara dengan semangat tentang sikapnya yang nonkompromi terhadap koruptor. Susi menyampaikan, kebijakannya dalam penenggelaman kapal bukan karena kemauannya, tapi amanat dalam Undang-Undang yang harus dijalankan demi terciptanya masyarakat kelautan dan perikanan yang sejahtera.
"Apa yang saya lakukan ketika tenggelamkan kapal itu bukan Susi idea, bukan President idea. Itu ada dalam Undang-undang kita. We execute ini karena itu satu-satunya jalan untuk memutus mata rantai yang selama ini membokong tangan kita di belakang," tegas Susi di Gedung Mina Bahari III KKP, Jakarta, kemarin. Susi mengaku selama menjadi menteri KKP, ia berhasil menyelamatkan uang negara sebanyak Rp 8.0 Trilyun.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merasa khawatir dengan tindak korupsi yang terjadi di level pemerintah pusat dan daerah. Ini bisa menghambat kelancaran pengelolaan keuangan negara
"Kami laporkan sampai saat ini ada 343 kasus pemerintah daerah yang berhubungan dengan korupsi baik di kejaksaan, kepolisian, maupun di BPK. Ini tentu harus membuat kita semua khawatir, kepada kualitas pelaksanaannya," kata Sri Mulyani di Istana Bogor, Rabu (6/12/2017). Sri Mulyani adalah menteri yang terkenal dengan sikapnya yang galak dalam memerangi antikorpsi.
Di tahun 2012, Era SBY, HAKI diperingati di Istana Negara. Meski zaman itu korupsi tak berhenti, setidaknya Istana mengapresiasi terhadap hari antikorupsi. Presiden SBY saat itu berkali-kali menyatakan, dirinya yang akan mengawal langsung setiap tindakan pemberantasan korupsi.
HAKI kemarin di Istana Negara sepi. Tak ada kemeriahan memperingati hari amat penting tersebut. Apakah ini sebuah simbol bahwa Kabinet Kerja tak menyukai HAKI? Jika benar, berarti ada something wrong di tubuh Kabinet Kerja itu.
Betul bahwa Presiden Joko Widodo secara pribadi adalah orang yang bersih dari korupsi.Tapi lenyapkan pikiran seperti itu. Jokowi jangan dilihat secara pribadi, tapi lihatlah secara institusi. Jokowi adalah “simbol negara†Indonesia yang berpenduduk 275 juta jiwa.
Tidak cukup Jokowi menampilkan dirinya sebagai pribadi yang bersih. Ini karena Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia. Presiden adalah institusi tertinggi di negeri ini, yang menentukan merah hijaunya perjalanan negara.
Dari posisi inilah, kita melihat antusiasme negara dalam memberantas korupsi. Meski di era SBY korupsi marak -- bahkan kader Partai Demokrat banyak yang terlibat – SBY secara institusioanal adalah penggerak antikorupsi. Itulah sebabnya, SBY selalu memprakarsai peringatan HAKI di Istana Negara.
Publik niscaya kecewa, kenapa HAKI tidak diperingati di Istana Negara kemarin. Kalau HAKI tidak diperingati di Senayan, publik sudah tahu penyebabnya. DPR adalah lembaga yang amat memalukan karena ketuanya sendiri terlibat kasus megakorupsi KTP elektronik. Lebih tragis lagi, si koruptor KTP El itu, kerap melarikan diri dari propses hukum.
Hanya karena “kasus kecelakaan†di mana ia tak mampu menghindar dari kejaran KPK, ketua DPR itu akhirnya menyerah kepada proses hukum. Tindakan ketua DPR tersebut adalah teladan buruk bagi generasi muda Indonesia. Barangkali itu pula penyebabnya, kenapa Senayan tidak memperingati hari antikorupsi.
Siapa pun tahu, betapa sulitnya mengatasi korupsi di Indonesia. Lembaga antikorupsi KPK yang dibentuk negara, jalannya terseok-seok. Banyak sekali orang, kelompok orang, bahkan institusi hukum di republik ini, yang terus menerus merongrong keberadaan KPK. Bahkan DPR yang notabene institusi yang menyuarakan kehendak rakyat, ikut aktif merongrong keberadaan KPK.
Jika sudah demikian, what’s wrong dengan negeri ini? Bagaimana nasib Indonesia ke depan? Tak ada jalan lain. Rakyat seluruh Indonesia, harus ikut aktif memberantas korupsi. Hukum adat atau budaya anti korupsi di tingkat lokal seperti kampung dan desa-desa, perlu dihidupkan kembali. Untuk mempersempit peluang munculnya korupsi. Hukum acara perdata dan pidana yang ada selama ini tampaknya belum menakutkan koruptor. Tapi jika hukum adat dan lembaga adat ikut aktif mencegah, mengawasi, dan menghukum para koruptor, niscaya mereka takut.
Di Bali, misalnya, para koruptor sudah dihukum secara adat. Mereka dikeluarkan dari Banjar. Bagi masyarakat Bali, bila orang dikeluarkan dari Banjar, maka ia seperti sampah. Menjadi sampah masyarakat adalah sangat memalukan.
Ternyata, cara masyarakat Bali menghukum koruptor tersebut efektif. Dampaknya, Pemda Bali termasuk pemerintahan daerah yang sedikit, bahkan nyaris nol, tingkat korupsinya.