SUKABUMIUPDATE.com - "Alus Ngan Henteu Mulus"Â (Bagus tapi tidak mulus), begitulah kelakar seorang Nelayan Lobster asal Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, mencermati perkembangan kebijakan Pemerintah Indonesia, di era Poros Maritim.
â€Alus" dianalogikan sebagai sebuah bentuk terobosan baru dari Kabinet Kerja untuk membenahi tata kelola perikanan nasional, dalam hal ini Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pujiastuti. Perempuan yang dikenal tegas dan suka menenggelamkan kapal asing yang masuk ke wilayah maritim Indonesia tersebut menjadi bahan perbincangan, setelah dirinya mengeluarkan Permen-KP Nomor 56 Tahun 2016, tentang larangan penangkapan dan atau pengeluaran Lobster (panulisrus spp), kepiting (Scylla spp), dan rajungan (Portunus spp) di wilayah perairan Republik Indonesia.
Tak hanya itu, Menteri Susi juga kerap mengungkap maraknya praktik kecurangan manipulasi ukuran kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan keterangan yang tertera dalam Surat Izin Kapal Penangkapan Ikan (SIKPI). Bahkan perempuan asal Banyuwangi ini terkenal karena kata-katanya yang sering ia lontarkan, ketika sedang mengeksekusi kapal asing, yakni "Tenggelamkan".
Sementara â€Henteu Mulus" adalah ketiadaan solusi komprehensif dari pemerintah untuk mengantarkan aktivitas nelayan, terutama bagi nelayan Kabupaten Sukabumi yang saat ini tengah beranjak dari persoalan menahun,yakni kelangkaan ikan, cuaca ekstrim yang berubah-ubah. Sehingga keinginan mereka untuk membudidaya Benur (benih lobster) tersebut hingga saat ini belum ada realisasi dari pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Akibatnya banyak nelayan yang menganggur. Sebab tangkapan lobster sudah tidak diperbolehkan lagi. Nelayan beralasan, bahwa sebelum aturan tersebut berlaku menangkap benih lobster menggunakan alat tradisional dan tak pernah merusak terumbu karang. Oleh karena itu, idealnya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi bisa menjembatani keluhan nelayan hingga ke Pemerintah Pusat.
Regulasi
Pertama penegakan hukum di laut, berupa penangkapan hingga penenggelaman kapal pencuri ikan telah memberi penjelasan awal bahwa kita bukanlah bangsa pandir yang terus-menerus membiarkan bangsa lain mencuri kekayaan lautnya, sementara nelayannya sendiri dibiarkan menonton dan miskin. Oleh karena itu, saya kira pengelolaannya ke depan membutuhkan solusi yang komprehensif.
Kemudian yang kedua terdapat pola pikir yang salah dalam menerapkan aturan itu. Dimana pemerintah hanya memikirkan dampak terhadap lingkungan, tanpa memikirkan perekonomian di kalangan masyarakat bawah yang kemudian harus terus tumbuh.
Apabila keduanya disegerakan, dan ada solusi yang ditawarkan, bahwa pemerintah tidak hanya berpikir tentang subtainability saja, namun juga memikirkan tentang kesejahteraan nelayan kecil, maka kapal-kapal berbendera Merah Putih akan semakin berdaulat.