SUKABUMIUPDATE.com - Dengan adanya tunjangan sertifikasi, profesi guru kini jadi rebutan. Fakultas Keguruan di Universitas Negeri, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan sekolah-sekolah tinggi keguruan kebanjiran peminat. Jika gambaran guru di zaman old begitu kusam, guru di zaman now gambarannya begitu cerah. Profesi guru jadi incaran karena gajinya relatif besar, terutama bagi yang sudah dapat tunjangan sertifikasi. Tunjangan ini besarnya sama dengan gaji pokok. Belum tunjangan lainnya.
Tapi nanti dulu! Apakah tunjangan sertifikasi berhasil mengangkat kualitas pendidikan di seluruh Indonesia? Jawabnya, terpaksa harus saya katakan, no! Hal ini bisa kita lihat di daerah-daerah terpencil. Banyak sekolah yang kekurangan guru karena guru-guru negeri – maaf – enggan ditempatkan di wilayah “jin buang anak†tersebut.
Kekurangan guru? Bukankah jumlah guru sudah dianggap cukup oleh pemerintah sehingga dalam beberapa tahun terakhir pemerintah melakukan kebijakan moratorium penerimaan guru negeri? Ternyata, masaalahnya ada di distribusi guru. Guru-guru mayoritas enggan mengajar di daerah terpencil. Tak usah jauh-jauh. Di sejumlah daerah terpencil di Sukabumi, banyak SD yang kekurangan guru. Satu sekolah, misalnya, hanya ada tiga guru negeri. Bahkan ada yang cuma satu guru negeri saja. Kemana mereka? Dengan berbagai alasan, kebanyakan guru negeri tak mau ditempatkan di daerah terpencil tadi.
Di SD kampung Caringin, Kabupaten Sukabumi, misalnya, gurunya hanya ada dua orang guru. Pertama Pak Guru Sarino yang sudah mengajar bertahun-tahun di sekolah itu. Pak Sarino adalah tenaga pengajar andalan. Guru berstatus pegawai negeri sipil itu hanya seorang diri mengajar dari kelas I sampai kelas VI. Untung saja, ada guru honorer istimewa, namanya Riki Sonjaya. Pak Sarino sehari-hari dibantu Pak Riki, ikut mengajar anak-anak SD tersebut.
Siapa Pak Riki? Ia hanya “penjaga sekolah†yang memang sehari-hari tinggal di situ. Jangan Tanya ijasah guru kepada Pak Riki. Tak akan punya. Tapi karena tak ada guru negeri yang mau mengajar di tempat terpencil itu, jadilah Pak Riki diminta bantuan oleh Pak Sarino untuk mengajar.
Kasus seperti SD Caringin di Kabupaten Sukabumi, khususnya di daerah pedalaman cukup banyak. Ia luput dari perhatian publik dan Pusat (Jakarta). Padahal, tugas Pak Riki adalah mendidik generasi penerus bangsa. Betul, Pak Riki tak punya ijasah mengajar. Tapi lihatlah kepeduliannya terhadap dunia
pendidikan. Orang seperti Pak Riki patut mendapat penghargaan. Ia adalah pahlawan dunia pendidikan. Pahlawan tanpa jasa.
Itu baru di Jawa Barat yang dekat dengan ibu kota. Bagaimana di pelosok Kalimantan, Maluku, dan Papua? Jelas, banyak sekolah yang berdiri nyaris tanpa guru negeri. Kalau pun ada guru negeri, jarang sekali yang mau menetap lama dekat sekolah. Mereka lebih suka tinggal di kota meski biaya transportasinya mahal.
Di medsos pernah ada status yang mengisahkan seorang guru honorer bernama Gerard. Ia seorang guru honorer SD YPPK Miyoko Distrik Mimika Tengah. Dalam foto itu, ia tengah menangis. Kenapa? Honornya lama tak dibayar. Padahal, ia sedang butuh uang untuk keluarganya. Ini menggambarkan nasib guru hanorer tidak jelas. Tak hanya honornya amat kecil. Tapi juga sering kali honor tersebut telat. Bahkan tak datang berbulan-bulan. Tragis.
Tanpa Pak Riki, penjaga sekolah yang merangkap jadi guru, Pak Sarino – satu-satunya guru negeri di SD Caringin – niscaya kelabakan. Banyak muridnya yang terlantar dan tidak bias belajar. Begitu juga di SD YPPK Miyoko Distrik Mimika Tengah tadi. Tanpa guru honorer Gerard, proses belajar mengajar di SD tersebut akan berantakan. Tapi, apa penghargaan pemerintah terhadap guru-guru honorer tersebut?.
Kehadiran guru honorer di sekolah-sekolah pedalaman, menurut Dr. Reni Marlinawati, Ketua Poksi Pendidikan Komisi X DPR RI, sangat penting. Guru-guru honorer inilah, ujar anggota DPR RI Fraksi PPP itu, yang bertindak sebagai penyelamat pendidikan di pedalaman. Merekalah sebetulnya pahlawan tanpa jasa itu.
Jumlah guru honorer saat ini, tambah Reni, Ketua Fraksi PPP, mencapai hampir satu juta orang di seluruh Indonesia. Dan honornya sering semau-maunya yang memberi honor. Tidak jelas dan tidak ada standardisasi. Reni bercerita, banyak guru honorer hanya dibaayar Rp 150.000 perbulan. Uang sebesar itu, jelas tidak cukup untuk hidup sebulan. Lalu, biaya hidupnya dari mana?
Bandingkan misalnya dengan tenaga honorer di pabrik-pabrik di Cikarang. Mereka dapat uang honor jutaan rupiah. Pemda setempat sudah punya standar berapa gaji untuk pekerja honorer tersebut.
Ini jelas tidak adil. Guru honorer obyek kerjanya anak-anak penerus generasi bangsa. Sedangkan buruh honorer pabrik obyek kerjanya hanya produk-produk manufaktur. Jelas, guru honorer SD lebih mulia dan lebih strategis kerjanya dibanding buruh honorer pabrik.
Dari kondisi inilah, kita berharap pemerintah segera memperbaiki sistem penggajian guru-guru honorer. Sebab, tanpa mereka pendidikan di daerah terpencil akan tersungkur. Masa depan bangsa jadi taruhannya.