SUKABUMIUPDATE.com- Dian Islamiati sesenggukan. Air matanya meleleh. Putri AM Fatwa – tokoh Petisi 50 – itu tak kuasa menahan tangisnya saat menyaksikan Djohan Effendi tergolek lemah di liang lahat, Senin (20/11) di Geelong, Australia. Djohan meninggal Jumat 17 November 2017 di Nursing Home McKellar Center, Geelong, Melbourne Australia.
Di mata Dian, Djohan adalah orang langka. Pejuang kerukunan antaragama. Pegiat kesetaraan gender. Perintis teologi dialog antariman (untuk menemukan kebersamaan dan kerukunan dalam beragama). Bersama Gus Dur, Djohan adalah pendiri Indonesia Conference on Religions for Peace (ICRP).
ICRP adalah lembaga pertama di Indonesia yang memperjuangkan tegaknya demokrasi dan Hak Asasi Beragama (HABA) bagi siapa pun. Tak pandang suku, warna kulit, kepercayaan, dan agamanya. Itulah sebabnya ICRP selalu bersuara keras bila ada kebijakan pemerintah yang diskriminaif terhadap agama, paham, atau kepercayaan tertentu. Apa pun namanya. Terutama kelompok minoritas di Indonesia. Seperti Ahmadiyah, Syiah, dan agama-agama lokal. Bagi Djohan beragama itu pilihan. Juga takdir yang tak bisa diganggu gugat manusia.
“Bagimu agamamu. Bagiku agamaku,†itulah firman Tuhan dalam Surat Al-Kafirun enam yang menjadi pedoman Gus Dur dan Djohan. Selanjutnya, Djohan juga mengutip Al-Baqarah 62 -- Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Shabii’in adalah penganut agama lokal.
“Lalu, apa yang dikhawatirkan bila orang beragama selain Islam?,†kata Djohan dalam sebuah diskusi di Piza Café, 2016 lalu dengan suara terbata-bata karena sakitnya. Semua agama itu di mata Tuhan sama, asalkan mereka percaya kepada Tuhan dan beramal saleh; berbuat baik kepada sesama manusia dan sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Itulah obsesi Djohan. Manusia, khususnya orang Indonesia, harus menghormati semua agama. Menyetarakan semua agama. Biar Tuhan yang menilanya agama itu benar atau salah di kemudian hari nanti; di alam baka. Manusia tak berhak menghakimi suatu agama. Apa pun namanya. Bagaimana pun kepercayaannya.
Saat menjenguk Djohan terakhir kali, cerita Dian, ia memegang tangan saya erat-erat. Seakan tak mau lepas. Takut ditinggalkan. Dengan suara lemah, Djohan menyatakan, hidupnya kesepian setelah sang istri – Siti Shalihah mendahului menghadapNya, April 2016 lalu.
“Di kamar, saya tak menemukan ibu. Di dapur tak ada ibu. Di ruang tamu, juga tak ada ibu. Saya kesepian, Dian,†ucap Djohan lirih kepada putri AM Fatwa itu di Geelong .
Djohan adalah orang yang sangat menghargai wanita. Sepanjang hidupnya hanya Ibu Shalihah yang dicintainya. Tak pernah sedikit pun Djohan berkata keras – apalagi kasar kepada istrinya. Istri adalah segalanya. Wanita adalah makhluk terhormat di mata Djohan. Dalam hidupnya hanya ada satu wanita, Shalihah, isrtrinya.
Djohan antipoligami. Baginya, poligami zaman sekarang hanya nafsu. Tak seperti Rasulullah. Kalau mau poligami, maukah mereka mengawini wanita tua seperti Siti Saudah yang beranak enam? Rasul mengawini Saudah demi keselamatan anak-anak yatim, anak suaminya terdahulu yang meninggal karena membela Islam. Jika tak dinikahi Rasul, tak ada pelindung untuk Saudah. Tak ada orang yang menafkahi hidup dia dan anak-anaknya.
Di mata Dian, Djohan lebih dari sekedar pejuang kerukunan antaragama. Ia sudah seperti bapak angkatnya sendiri. Waktu Dian kecil, saat Ayahnya, AM Fatwa divonis hakim Rejim Orde Baru selama 18 tahun penjara, Djohan adalah orang yang membimbing dan memberi semangat hidup kepadanya. Itulah sebabnya, Dian tak kuasa menahan tangisnya menyaksikan ‘sang pejuang kerukunan beragama’ itu terkulai lemah di Nursing Home Mc Kellar Center, Geelong.
Sebetulnya, murid-murid spiritual Djohan – seperti Denny JA, Budhy Munawar Rachman, Elza Peldi Taher, Neng Dara, Halimah, Nazrinah, dan lain-lain – berharap Djohan dimakamkan di Jakarta. Denny JA, founder Lingkaran Survey Indonesia (LSI) yang menganggap Djohan sebagai bapak angkatnya, telah mempersiapkan makam di Sandiego Hills, Kerawang. Semua teman dan murid-murid spiritual Djohan berharap, Sang Pelintas Batas – julukan untuk Djohan Effendi – dimakamkan di samping istrinya di Sandiego Hills tadi, agar mudah berziarah ke makamnya. Tapi ternyata, di ujung hidupnya, Djohan berpesan dimakamkan di Geelong saja. Supaya tidak merepotkan orang lain. Meskipun di Geelong, batin Djohan, nanti akan bertemu juga dengan istri tercintanya.
Itulah kesederhanaan Djohan. Tak mau merepotkan orang lain. Ia ingin hidupnya bermanfaat untuk sesama manusia. Bagi Djohan, di mana pun, bumi ini milik Tuhan. Pusara di Geelong sama dengan pusara di Sandiego Hills, Kerawang. Djohan sering mengutip pernyataan Zhou Enlai, PM pertama RRC: buanglah mayatku ke laut agar bermanfaat untuk ikan. Prinsip bermanfaat untuk sesama makhluk hidup itulah yang menjadi obsesi Djohan sepanjang hidupnya. Karena itu, kalau ada sekelompok manusia menghakimi manusia lainnya hanya karena perbedaan agama dan paham, Djohan merasa sakit. Sedih tak terperi.
Ya,ya, kami mengerti kenapa Djohan memilih pusara di Geelong. Beliau hanya ingin tidak merepotkan orang lain. Itu sudah menjadi prinsip Djohan sepanjang hidupnya. Untuk urusan pribadi; urusan ekonomi, Djohan rela menjadi miskin. Tak mau merepotkan orang lain. Pinjam sitilah Dawam Rahardjo, teman akrabnya sejak di kuiah Yogyakarta, tahun 60-an -- untuk urusan keduniaan, Djohan adalah seorang sufi yang zuhud. Wara’. Tapi untuk urusan kebebasan manusia dan hak asasi beragama, Djohan adalah pejuang yang keras. Ia rela mengorbankan harta dan jiwanya untuk menegakkan kehormatan manusia.
“Manusia adalah khalifah Tuhan di muka bumi. Karena itu posisi manusia sangat terhormat. Kita harus menghormati pilihan azasi manusia, termasuk keyakinannya,†kata Djohan lirih dalam diskusi di Pisa Café. Djohan memang telah memilih hidup yang bermanfaat untuk manusia. Djohan memilih menjadi kekasih semua manusia.
Saya jadi ingat kisah mimpinya Ibrahim bin Adam. Seorang sufi dari Kufa, Iran. Ibrahim sebetulnya putra hartawan. Tapi kemudian memilih hidup asketis. Zuhud terhadap harta.
Alkisah, Ibrahim pernah tertidur di dalam masjid usai salat malam. Ia bermimpi ketemu malaikat yang sedang membawa kitab besar. Ibrahim pun bertanya.
“Wahai malaikat, kitab apa yang kau bawa?â€
“â€Ini kitab catatan para kekasih Tuhan.â€
“Adakah namaku di catatan itu?â€
“Taka ada!â€
“Baiklah, catat nama Ibrahim bin Adam sebagai kekasih manusia!â€
Sepekan kemudian, Ibrahim pun bermimpi ketemu malaikat yang sama. Ia pun membawa kitab besar yang sama.
“Wahai malaikat. Apakah catatan para kekasih Tuhan itu sudah berubah?â€
“Ya, sudah berubahâ€
“Adakah namaku ada di sana?â€
“Ada. Di urutan pertama!â€
Djohan tampaknya ingin seperti Ibrahim bin Adam. Menjadi kekasih Tuhan di urutan pertama.