SUKABUMIUPDATE.com - Apa yang terjadi di Arab Saudi, Amerika Serikat dan Indonesia belakangan ini di tahun 2017.
Untuk pertama kali Arab Saudi membolehkan wanita datang ke stadium menonton event olah raga. Untuk pertama kalinya Arab Saudi membolehkan wanita mengendarai mobil tanpa didampingi pelindung lelaki.
Untuk pertama kali, kaum Transgender (individu yang mengubah kelamin) terpilih dan menang dalam pemilu di Amerika Serikat. Untuk pertama kali, kolom agama KTP di Indonesia bisa diisi dengan aliran kepercayaan.
Apakah trend dunia kini semakin Pro- Keberagaman? Kita teringat John F Kennedy. Suatu ketika ia berkata: “Kita tak bisa menghentikan hadirnya perbedaan di antara kita. Namun kita bisa bekerja sama untuk hidup bagi dunia yang lebih nyaman bagi perbedaan dan keberagaman kita.â€
Kutipan pendek Kennedy cukup menggambarkan jalannya evolusi peradaban. Suka atau tak suka, evolusi membawa kita pada keberagaman yang semakin kompleks. Merespon itu lahir para aktivis, pemikir, dan pemimpin yang berjuang agar tercipta lingkungan yang nyaman buat semua.
Secara biologis, satu jenis ikan ribuan tahun lalu kini berevolusi menjadi ribuan jenis ikan. Secara budaya, satu jenis life style 300.000 tahun lalu ketika homo sapiens pertama hadir, kini menjadi ratusan jenis life style di era digital.
Semua laju yang semakin lama semakin berbeda dan beragam itu tak bisa dihentikan walau oleh bom nuklir atau negara adi kuasa manapun. Evolusi hukum alam lebih kuat dibandingkan segala resistensi manusia.
Kini keberagaman dalam life style memerlukan linkungan yang nyaman bagi semua. Mereka menuntut hak politik yang sama, dan perlindungan hukum yang sederajat.
Dua bulan ini, kita menyaksikan peristiwa peradaban pro keberagaman menang di pusat dunia: Arab (Dunia Islam), Amerika (Dunia Modern), Indonesia (Dunia Pancasila).
Hak wanita untuk boleh mengendarai mobil sendiri akhirnya disahkan oleh kerajaan Arab Saudi. Aktivis wanita di sana dan dibantu gerakan hak asasi dunia sudah memperjuangkannya sejak tahun 1990an, lebih dari 20 tahun lalu.
Arab dikenal sebagai negara yang sangat konservatif, dan selalui membuat kebijakan yang tak boleh bertentangan dengan persepsi penguasa plus ulama soal Hukum Islam.
Sejak 2011, kita menyaksikan perubahan signifikan pemeritahan Arab Saudi atas wanita di ruang publik. Di tahun itu, King Abdullah membolehkan wanita untuk memilih, bahkan menjadi kandidat dalam pemilu. Wanitapun dibolehkan kampanye walau ketika kampanye, audience lelaki dan wanita tetap dipisah.
Di tahun 2015, untuk pertama kalinya 15 wanita terpilih mengisi public office. Politisi wanita yang terpilih termasuk Salma al-Oteibi dari wilayah Mekkah dan Lama Al-Suleiman dari wilayah Jeddah.
Efek keputusan King Abdullah itu membuka hal baru di Arab Saudi. Di tahun 2015, sudah tampil 979 kandidat politisi wanita. Dan sudah resmi terdaftar 130, 637 wanita yang ingin aktif menggunakan hak pilihnya. Kini jumlah wanita yang mendafar untuk hak pilih melonjak ke angka di atas 1,3 juta.
Tak hanya di politik, bahkan di dunia ekonomi, peran wanita di Arab Saudi semakin terbuka. Di tahun 2004, hanya 23 ribu wanita yang bekerja di luar rumah. sejak tahun 2015, jumlah itu meningkat menjadi di atas 400 ribu wanita.
September 2017 secara resmi sudah pula diumumkan untuk pertama kali wanita dibolehkan mengendarai mobil tanpa perlu didampingi pelindung lelakinya (Ayah, Suami, atau Anak Lelaki). Walau diumumkan sekarang, tapi hukum ini akan dilaksanakan baru di bulan Juni 2018.
Ini sudah sesuatu yang luar biasa, komentar Fawziah Al- Bakr. Ia seorang profesor yang tercatat bersama 47 aktivis wanita lain termasuk yang pertama protes terhadap larangan mengemudi itu di tahun 1990an.
Apa yang bisa kita pelajari dari kasus Arab Saudi? Persepsi pemimpin dan ulama tentang penerapan syariah Islam bisa cukup fleksibel. Hukum shariahnya tetap sama. Tapi persepsi atas hukum shariah itu yang bisa menyesuaikan diri dengan zaman yang berubah.
Ketika mereka melarang wanita berpolitik, dan mengemudi, larangan itu dinilai tidak bertentangan dengan syariah Islam. Kini mereka menghapuskan larangan itu. Persepsi wanita berpolitik dan mengemudi tanpa dampingan lelaki juga ternyata bisa tak dianggap bertentangan dengan shariah Islam.
Hukum shariah yang sama, di satu masa bisa ditafsir sesuai dengan larangan wanita bepolitik dan mengemudi. Di lain masa, ia bisa juga ditafsir sesuai dengan bolehnya wanita berpolitik dan mengemudi. Persepsi atas kesiapan masyarakat dan pilihan penguasa (elite’s choice) menentukan tafsir Shariah yang mana yang ingin diterapkan.
Hak wanita yang kini dibolehkan di Arab Saudi terlambat sekitar 100 tahun dibandingkan apa yang terjadi di belahan dunia lain. Arab Saudi membolehkan wanita untuk memilih di tahun 2005.
Inggris pertama kali membolehkan wanita memilih 100 tahun lalu di tahun 1911. Amerika membolehkan wanita umtuk memilih juga 100 tahun lalu di 1920.
Dua hal lesson to learn dari Arab Saudi. Pertama, Pro kebergaman bisa menang, jika diperjuangkan sedemikian gigih, dan bisa tanpa dianggap  melanggar hukum Shariah. Kedua, pada akhirnya isu yang pro-keberagaman bisa menang bahkan di Arab Saudi (soal wanita di ruang publik), walau telat 100 tahun.
Bagi aktivis dan pemikir Islam progresif, Arab Saudi memang bukan perwakilannya. Aisah istri Nabi Muhammad sendiri adalah contoh nyata wanita yang sudah aktif terlibat dalam ruang publik. Mereka menyebut Aisah feminis pertama dunia Islam.
Perkembangan baru di Arab Saudi atas wanita tentu juga menyenangkan kelompok Islam progresif walau dianggap telat seratus tahun.
Di Amerika Serikat, Danica Roem terduduk tersentak. Ia baru saja menerima ucapan selamat dari Joe Biden, mantan wakil presiden Amerika Serikat era Obama. Tak ia duga. Ia membuat sejarah sebagai transgender pertama yang menang pemilu dalam sejarah amerika serikat, juga dunia.
Diingatnya. Ia terlahir sebagai lelaki. Ketika usia 29 tahun, di tahun 2013, ia tampil terbuka sebagai wanita. Iapun mengganti nama. Secara terbuka ia mengakui sebagai transgender dan menyatakan niatnya bertarung dalam pemilu.
Terpilihnya Donal Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dianggapnya ancaman untuk keberagaman di Amerika Serikat. Bersama komunitas LGBT dan aneka lembaga hak asasi, Danic Roem merangcang perlawanan.
November 2017 tercatat sebagai sejarah. Setidaknya lima kandidat Transgender memenangkan pemilu, sejenis DPRD di Indonesia. Di samping Danica Roem untuk wilayah Virginia, juga Andrea Jenkins untuk Minneapolis City, Lisa Middleton untuk Palm Spring California, sebagai contoh. Kaum Transgender bersorak.
Dibandingkan peradaban lain, Amerika dan Eropa termasuk selalu yang paling awal memulai sukses pro keberagaman.
Ketika bagi peradaban lain membolehkan wanita untuk berpolitik itu hal yang tabu, Inggris dan Amerika membolehkannya. Ketika bagi peradaban lain, homoseks itu tabu, Amerika Serikat juga membolehkan pernikahannya. Ketika transgender bagi peradaban lain tabu, rakyat Amerika memilih justru memilih Transgender sebagi wakil rakyat.
Benarkah Amerika soal transgender? Ataukah Amerika sudah tersesat? Penentang Transgender di Amerika Serikat sendiri tak kalah banyak. Namun sejarah mencatat, kaum transgender itu berhasil terpilih.
Amerika memang paling cepat sampai pada level kesadaran pro keberagaman ketika di belahan peradaban lain hal itu masih dianggap tabu.
Indonesia tak ketinggalan. Untuk pertama kali, MK melalui judicial review membolehkan kolom agama di KTP diisi aliran kepercayaan.
Selama ini kolom itu menjadi dilema bagi para penganut kepercayaan di Indonesia. Sebagian mereka merasa sudah hadir lebih dulu di bumi Nusantara dibandingkan lima agama besar: Islam, Kristen/ Katolik, Hindu, Buddha. Tapi mengapa hak mereka untuk mencantumkan apa yang mereka yakini di KTP dihalangi?
Tanpa mengisi kolom agama di KTP membuat susahnya mereka di ruang publik. Ketika melamar pekerjaan, dan menikah, soal agama ditanya.
Apalagi untuk Indonesia, sejak lahir sampai wafat selalu berurusan dengan agama. Ketika lahir, untuk sertifikat kelahiran harus dicantumkan agama. ketika wafat, letak kuburan juga dikelompokkan berdasarkan agama.
Sudah puluhan tahun mereka memperjuangkan hak konstitusi untuk diakui. Puncaknya mereka menggugat UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, juncto UU No 24 tahun 2013.
Yang mereka uji materikan pasal 61 ayat 1 dan 2, serta pasal 64 ayat (1) dan (5).
MK mengabulkan permohonan mereka.
MK akhirnya mengabulkan. Mencatumkan aliran kepercayaan dalam kolom KTP itu sesuai dengan prinsip konstitusi.
Tak hanya di Arab Saudi, dan Amerika Serikat. Di Indonesia, pro Keberagaman juga menang, untuk isu yang berbeda.
Dari perspektif puncak gunung melihat 5000 tahun sejarah peradaban, kita melihat kalah dan menang perjuangan pro keberagaman. Puncak dari evolusi peradaban itu adalah naskah terakhir Hak Asasi Manusia. Naskah itu disahkan PBB, dengan memberikan perindungan hukum dan kesempatan politik yang sama kepada aneka keberagaman.
Apapun agama, etnik, gender, paham, bahka orientasi seksual, mereka adalah manusia yang sama. Mereka punya rasa sepi yang sama, ingin mencintai, dan ingin dicintai. Mereka ingin nyaman hidup di lingkungan sosial yang kondusif.
Kecepatan setiap negara untuk sampai pada kesadaran pro keberagaman itu memang berbeda. Ada yang sudah siap menerima kebergaman suku, tapi tidak keberagaman agama. Ada yang sudah siap menerima keberagaman gender, agama dan suku, tapi tidak untuk orientasi seksual.
Inilah rahasia dan mujikzat Tuhan atau alam (bagi yang tak percaya Tuhan). Ketika kita lahir, kita tak ditanya dulu apakah ingin lahir atau tidak. Tak pula kita ditanya ingin lahir dimana, kapan, dari orang tua bergama apa, suku apa? Juga kita tak memilih jika ternyata ada situasi gen yang membuat kita mengarah pada LGBT.
Peradaban Pro Keberagaman menjawab “Rahasia Tuhan†(bagi yang percaya Tuhan) atau The Acts of Randomness (bagi yang tak percaya Tuhan) dengan mrmbuat Hak Asasi Manusia.
Siapapun kamu, selama kamu manusia, kamu berhak hidup nyaman sampai kematian menjemputmu. Politik pro Keberagaman bergerak dengan filosofi di atas.
Kini mereka yang pro keberagaman tengah menikmati sukses di Arab Saudi (wanita boleh menyetir mobil), di Amerika Serikat (Transgender terpilih) dan Indonesia (Kolom KTP boleh diisi aliran kepercayaan).
Tentu tak semua senang dengan kemenangan pro keberagaman itu. Tapi gerak sejarah berada di belakang mereka. Gerak sejarah itu akan melampui apa saja dan siapa saja yang menghalangi pertumbuhannya.
Di masa tertentu dan bagian dunia tertentu, pro keberagaman bisa dikalahkan. Tapi menganalisa trend jangka panjang dengan perspektif per-ratusan tahun, gerakan pro keberagaman akan terus semakin dan semakin kokoh.