SUKABUMIUPDATE.com - Indonesia adalah Negara demokrasi, secara bahasa berasal dari gabungan dua kata yakni kata "demos" yang berarti rakyat dan "kratos" yang berarti pemerintahan.
Menurut Abraham Lincoln, dikutip dari Gramedia.com, pengertian demokrasi ialah sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Adapaun syarat menjadi Negara demokrasi yakni dengan diadakannya pemilihan umum (Pemilu).
Penyelenggaran Pemilu harus mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan harus inklusif, tentu saja seluruh masyarakat harus terlibat dalam pemilihan umum tanpa memarginalkan satu kelompok manapun. Salah satu kelompok masyarakat yang sering dimarginalkan dalam pemilihan umum yakni kelompok difabel atau sering disebut penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan. Mereka juga mengalami hambatan dan kesulitan untuk beradaptasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Dengan demikian, jika kelompok marginal atau kelompok disabilitas tidak diperhatikan secara khusus dalam pemilu, maka dapat berdampak besar. Ini karena bisa saja kelompok disabilitas tidak memberikan hak politik atau hak memilihnya dalam penyelenggaraan Pemilu.
Baca Juga: Mengenal Sindrom Asperger: Pengidap Disabilitas yang Cerdas, Termasuk Autis?
Seperti diketahui, kelompok masyarakat disabilitas mejadi kelompok yang rentan tidak memberikan hak politik karenakan kekurangan yang dimemiliki dianggap dapat menghambat berbagai hal. Misalnya, terhambat dalam mendapatkan akses informasi atau dalam kata lain akses untuk disabilitas sendiri menjadi permasalahan dalam proses politik dan pemilihan umum.
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28D ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Kemudian di Pasal 28H ayat (2), setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, termasuk jaminan untuk menggunakan hak politiknya; memilih dan dipilih dalam pemilu.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 dengan jelas menyebutkan salah satu hak bagi penyandang disabilitas adalah hak politik, meliputi hak dipilih dan memilih dalam jabatan publik, menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan, dan memilih partai politik dan atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum.
Kemudian Pasal 350 ayat (2) Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengamanatkan bahwa lokasi TPS harus di tempat yang mudah dijangkau oleh penyandang disabilitas.
Selain penentuan lokasi TPS yang ramah bagi difabel, Pasal 356 ayat (1) juga menyebutkan bahwa pemilih disabilitas netra, disabilitas fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih. Dan ayat (2) mengamanatkan kepada orang yang membantu dalam memberikan suara untuk merahasiakan pilihannya.
Landasan tersebut menjadi dasar yang kuat bagi semua kelompok warga Negara khususnya kelompok masyarakat penyandang disabilitas untuk terbebas dari perlakuan diskriminatif, termasuk dalam proses politik. Pendidikan politik, menjadi satu diantara sekian banyak hak yang cukup melekat bagi para penyandang disabilitas dalam proses politik. Maka, menjadi penting bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan politik sesuai haknya.
Pendidikan politik bagi penyandang disabilitas harus menggunakan bahan dan media yang ramah bagi difabel. Ini akan berdampak pada meningkatnya kesadaran dan partisipasi politik, pemberdayaan, inklusivitas pemilu sekaligus meningkatkan aksesibilitas bagi kelompok disabilitas.
Baca Juga: Mengenal Sindrom Munchausen: Suka Pura-pura Sakit Termasuk Gangguan Psikologis?
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) beberapa waktu lalu telah menggelar deklarasi pemilu ramah HAM sebagai upaya mendorong pemenuhan hak-hak kepemiluan setiap warga Negara. Kegiatan tersebut dihadiri oleh penyelenggara pemilu (KPU dan BAWASLU) hal ini menjadi bukti dan upaya untuk terealisasinya keadilan politik bagi seluruh kelompok masyarakat. Namun hal ini tidak cukup untuk dianggap keberpihakan kepada kelompok disabilitas, jika peraturan-peraturan yang ada tidak diimplementasikan.
Adapun menghadirkan keadilan politik bagi penyandang disabilitas seharusnya menjadi tanggungjawab bersama. Meskipun hal ini tentu memerlukan kolaborasi yang apik antara penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan masyarakat umum.
Menjelang pemilu, baik peserta maupun penyelenggara pemilu masih bisa memberikan pendidikan politik kepada pemilih difabel. Dan khusus bagi penyelenggara pemilu sudah seharusnya memiliki data penyandang disabilitas hingga tingkat TPS, sehingga dapat memastikan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menjamin pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses dan pelaksanaan pemungutan suara.
KPU sebagai penyelenggara pemilu, harus mampu menyediakan fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas, mulai dari TPS yang mudah diakses, alat bantu coblos yang sesuai, petugas yang terlatih dalam melayani penyandang disabilitas hingga pemberian pendidikan pemilih khusus.
Penyediaan fasilitas yang memadai bagi penyandang disabilitas ini diharapkan menjadi upaya konkret guna mendukung peningkatan partisipasi politik penyandang disabilitas.
Artinya, Hak-hak sebagai warga Negara mereka pun dapat terpenuhi. Terlihat dari tingginya partisipasi pemilih dalam pemilu yang sebanding dengan tingkat partisipasi penyandang disabilitas.
Writer: Ahmad Jamaludin/KIPP Kabupaten Sukabumi