SUKABUMIUPDATE.com - Sejumlah mahasiswa UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) Bandung menyuarakan perlawanan kepada kebijakan pendidikan mahal. Uang kuliah tunggal atau UKT yang mahal jadi masalahnya.
Mengutip suaraJabar.id (jaringan suara.com), salah seorang mahasiswa semester empat UPI Bandung yang enggan nama aslinya disebut mengaku cemas. Ia khawatir nasib pendidikannya karena persoalan UKT yang wajib ia bayar sebesar Rp 4.070.000 per semester itu jadi beban berat bagi keluarga, terlalu mahal.
Ibunya, ibu rumah tangga sedangkan ayahnya buruh harian lepas. Saat pandemi, sang ayah hanya dipekerjakan dua minggu dalam sebulan, honornya dibayar separuh dengan penghasilan rata-rata Rp 1,5 juta - Rp 2 juta.
"Gajinya lebih kecil daripada UKT saya," katanya.
Ia punya empat saudara. Adiknya yang paling tua siswa sekolah menengah pertama, adik yang kedua masih duduk di bangku sekolah dasar, sementara si bungsu masih setingkat pendidikan usia dini. Semuanya, tentu butuh biaya. Sebagai anak sulung, ia kerap merasa tak enak masih jadi beban keluarga.
Selepas lulus SMA, ia tak langsung kuliah sebab tak cukup uang. Ia sempat jadi buruh di Ibu Kota, tapi keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ternyata tak gugur. Akhirnya, setelah dua tahun kerja dan merasa cukup tabungan, ia putuskan masuk kuliah.
"Masuk UPI melalui jalur UTBK SBMPTN," katanya.
Sadar diri tak punya banyak simpanan, sejak awal kuliah Putra rajin memburu beasiswa. Semester pertama, katanya, sempat mendaftar beasiswa provinsi, Jabar Future Leaders Scholarship, tapi gagal.
Bayaran semester pertama pun dirogoh dari simpanan pribadi. Upaya memburu beasiswa kian kencang semenjak sang ibu jatuh sakit, tabungannya menipis dipakai biaya perawatan dan kebutuhan adik-adiknya.
"Semester dua ikut Beasiswa Baznas, belum keterima. Semester tiga, kembali daftar Jabar Future Leaders Scholarship untuk mahasiswa on going, gagal lagi," katanya.
Pada semester dua, ia mengajukan potongan UKT 50 persen kepada pihak kampus. Untungnya disetujui. Untuk bayaran semester tiga, Putra mendapat program potongan dari Kemendikbud sebesar Rp 2,4 juta. Sisanya, dibayar sendiri.
"Tapi, di semester empat, solusi dari UPI hanya penangguhan, hanya cicilan, otomatis tetap bayar full. Bentuk kekurangannya, hanya dicicil jadi dua kali," katanya.
"Cicilan pertama sudah terbayar, saya masih ada sisa tabungan Rp 1 juta, setengahnya lagi dibantu sama orang tua. Orang tua pinjam uang. Tapi, saya bingung untuk cicilan kedua," katanya lagi.
Suara.com bertemu dengan mahasiswa ini di dekat Gedung Rektorat atau Gedung Isola UPI, Jalan Setiabudi, Kota Bandung, Senin, 31 Januari 2022. IA datang ke sana untuk turut aksi bersama puluhan mahasiswa UPI lainnya yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UPI dan kelompok Isola Menggugat. Pada dasarnya, mereka satu suara menuntut UKT murah.
Beberapa tuntutan utama di antaranya mendesak agar pihak kampus melakukan verifikasi ulang kemampuan ekonomi keluarga mahasiswa, penurunan golongan UKT, hingga pembebasan UKT.
"Saya masih ingin melanjutkan kuliah. Seharusnya, jajaran pemangku kebijakan kampus memberikan keringanan UKT, bukan hanya penangguhan, cicilan. Harusnya bisa sampai pembebasan UKT atau penurunan golongan UKT. Pun saya siap kalau misalnya jajaran UPI survei ke rumah saya. Biar tahu gimana kondisi keluarga." .
Pendidikan, kata dia seharusnya bisa murah. Pendidikan seharusnya bisa diakses oleh semua kalangan. "Semua harus bisa merasakan bangku sekolahan, tapi nyatanya begini. Kalau saya diem aja, iya-iya aja sama kebijakan kampus, saya takut miskin turunan," katanya.
Mahasiswa juga menuntut agar kampus aktivasi mahasiswa yang dinonaktifkan gara-gara tak bisa bayar UKT dan tak mengurus izin cuti. Di antaranya adalah seorang mahasiswi tingkat akhir.
Status kemahasiswaannya dinonaktifkan karena pada semester sembilan ia tak sanggup membayar UKT dan tak mengurus izin cuti. Alasannya, mahasiswa yang tak membayar UKT biasanya langsung dianggap cuti.
"Semester kemarin (semester sembilan) saya pengajuan untuk pengurangan jumlah UKT, sudah keluar hasilnya tapi setelah diupayakan memang tidak terkumpul uangnya, karena dari jarak pengumuman sampai batas waktu pembayaran itu jangka waktunya tidak sampai satu Minggu," katanya.
"Jadi saya cuti, dari pada memaksakan, minimal saya bisa kerja dulu untuk kumpulin uang buat bayar semester sekarang (semester 10). Tapi memang saya tidak mengurusi administrasinya, karena biasanya kalau mahasiswa tidak bayar UKT sama kampus otomatis dicutikan," katanya lagi.
Namun, ternyata statusnya non-aktif dan dianggap mengundurkan diri. "Sesuai Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan bagi mereka yang tidak aktif dan tidak cuti dianggap mengundurkan diri," begitu isi pesan dari salah seorang staf kampus kepada Putri, yang diperlihatkan kepada suara.com.
"Saya ceritakan kronologinya, tapi fakultas Malah nyuruh mempercepat administrasi pengunduran diri," kata Putri.
Perwakilan mahasiswa Aliansi Mahasiswa UPI, Alaudin menyampaikan, desakan verifikasi ulang besaran UKT sebetulnya didasarkan pada Permendikbud Nomor 25 tahun 2020 pasal 12. Mereka menuntut pihak kampus UPI merealisasikan aturan tersebut.
"Merujuk pada Permendikbud No.25 Tahun 2020 Pasal 12 tentang verifikasi UKT dimana sampai hari ini kampus UPI tidak pernah melaksanakan pasal ini karena kebijakan yang dikeluarkan terkait UKT hanya sekedar relaksasi dan cicilan, padahal sudah menjadi kewajiban pihak kampus untuk mengubah besaran UKT dengan verifikasi ulang," katanya.
Alaudin menambahkan, mereka mendesak UPI untuk melakukan relaksasi Peraturan Rektor Nomor 014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan UPI 2021 mengenai mahasiswa yang dianggap mengundurkan diri dikarenakan tidak melakukan pembayaran biaya Pendidikan dan tidak mengajukan cuti akademik selama 60 hari kerja.
Setelah didesak serangkaian aksi demonstrasi, Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. H. M. Solehuddin, M.Pd., M.A akhirnya angkat bicara. Terkait UKT, Solehuddin mengklaim pihak kampus selalu berupaya agar mahasiswanya tidak putus kuliah gegara masalah biaya.
UPI, katanya, memiliki beberapa kebijakan yang bertujuan untuk meringankan beban biaya kuliah yakni penangguhan masa pembayaran, kebijakan cicilan, dan pemberian bantuan. Namun, ihwal desakan mahasiswa yang ingin agar pihak kampus memverifikasi ulang besaran UKT supaya bisa lebih murah, Solehuddin mengakui bahwa hal itu bukanlah cara UPI dalam menyelesaikan masalah biaya.
"Kita bukan begitu caranya. UKT tetap, tapi kalau ada yang perlu dibantu kita bantu," kata Solehuddin, Senin (31/1/2022). Secara substansi, menurutnya, cara demikian sama dengan menurunkan UKT.
Pihak kampus juga disebut akan mengupayakan reaktivasi mahasiswa yang non-aktif. Namun, pihak kampus tak bisa menjamin dan enggan bertanggung jawab jika upaya mereka gagal atau ditolak Kemendikbud Ristek. Solehuddin mengatakan, kampus tidak bisa memastikan apakah mahasiswa non-aktif yang direaktivasi itu akan memperoleh ijazah atau tidak.
Atau kemungkinan lainnya, mahasiswa akan tetap mendapat ijazah, tapi ijazah tersebut belum tentu bernomor sebagaimana diatur dalam Penomoran Ijazah Nasional (PIN). "Kita bantu tapi dengan catatan, kalau sistem di tingkat nasionalnya tidak bisa menerima, ya, sudah. Di luar kapasitas kami," katanya.
Solehuddin malah memandang persoalan ini timbul gara-gara mahasiswa yang tidak disiplin. Mahasiswa jadi non-aktif karena tidak mengurus cuti dalam rentang 60 hari semenjak masa pembayaran. "Persoalannya simpel, masalah disiplin saja," katanya.