Szetu Mei Sen: Jurnalis Sukabumi dan Tangan Diplomasi Asia-Afrika untuk Kemerdekaan Palestina

Sukabumiupdate.com
Senin 21 Apr 2025, 11:49 WIB
Salah satu peserta aksi mengibarkan bendera Palestina saat aksi solidaritas di depan Gedung Merdeka, Kota Bandung, 20 April 2025. | Foto: Dokumentasi Peserta Aksi/Siti Salma Alfareshi

Salah satu peserta aksi mengibarkan bendera Palestina saat aksi solidaritas di depan Gedung Merdeka, Kota Bandung, 20 April 2025. | Foto: Dokumentasi Peserta Aksi/Siti Salma Alfareshi

SUKABUMIUPDATE.com - Ribuan masyarakat melakukan aksi solidaritas untuk Palestina di Kota Bandung pada 20 April 2025. Gerakan ini bertepatan dengan peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika. Palestina menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia dan salah satu peserta Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung.

Sejarah berbicara, dukungan untuk kemerdekaan Palestina sudah disuarakan Presiden Republik Indonesia pertama Ir Soekarno alias Bung Karno saat Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 18 hingga 24 April 1955. Namun belum banyak yang tahu, terdapat peran tokoh Tionghoa sekaligus jurnalis Sukabumi bernama Szetu Mei Sen di belakang narasi itu.

Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan dukungan untuk Palestina berakar panjang sejak negara tersebut mengakui kemerdekaan Indonesia. Ini ditegaskan Bung Karno yang menyatakan dukungannya terhadap Palestina dalam Konferensi Kolombo 1954 atau setahun sebelum Konferensi Asia-Afrika.

Dalam Konferensi Asia-Afrika, Bung Karno mengobarkan semangat anti-kolonialisme dan imperialisme pada negara-negara Asia-Afrika yang mayoritas bekas negara jajahan. Uniknya, Szetu Mei Sen ikut berperan dalam kesuksesan Konferensi Asia-Afrika, termasuk membawa kekuatan besar Cina yang juga mendukung perjuangan Palestina.

Szetu Mei Sen yang lahir di Sukabumi pada 1928, memiliki jiwa revolusioner dari keluarganya. Ayahnya kepala sekolah dan ibunya guru. Orang tua Mei Sen menunjukkan jiwa revolusionernya saat Jepang masuk ke Indonesia. Mereka terlibat gerakan melawan Jepang.

Baca Juga: 14 April 1907: Debut Lothar Van Gogh, Pesepak Bola dari Sukabumi yang Menyelamatkan Tim Oranje

“Mei Sen yang masih berusia 14 tahun, bersama kakaknya, Pa Sen, turut membantu gerakan tersebut sehingga dijebloskan ke penjara. Sebab masih muda, sembilan bulan kemudian mereka dilepaskan, namun orang tuanya masih dipenjara. Akibatnya mereka harus menghidupi tiga adiknya yang masih kecil,” kata Irman kepada sukabumiupdate.com.

Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, orang tuanya dilepaskan, sehingga Mei Sen bisa mulai bekerja. Karier awalnya menjadi momen pertama yang mendekatkan dia dengan tokoh nomor satu saat itu yaitu Bung Karno.

Mei Sen yang bekerja sebagai jurnalis Tian Sheng Ri-bao (media Indonesia yang dikeluarkan komunitas Tionghoa) mendapat tugas ke Yogyakarta untuk mengikuti sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dilangsungkan di Malang pada 25 Februari sampai 6 Maret 1947.

Dalam perjalanan kereta api dari Yogyakarta ke Malang, terjadi pertemuan Mei Sen dengan Bung Karno yang kebetulan satu gerbong. Sejak pertemuan itu, Mei Sen dekat dengan Bung Karno dan turut membantunya dalam beberapa kegiatan kenegaraan, terutama mempererat persahabatan rakyat Tiongkok dan Indonesia.

Terkait konstelasi internasional, Republik Rakyat Tionghok (RRT) yang berhaluan komunis sangat anti terhadap kepentingan kolonial sehingga dalam kasus Palestina kebijakannya tidak berbeda dengan Indonesia. Mei Sen lalu mendapatkan peran penting saat rencana perhelatan Konferensi Asia-Afrika.

Szetu Mei Sen (tengah pakai dasi) dan Bung Karno saat menyambut Presiden RRT Liu Sao Chi di bandara Kemayoran pada 12 April 1963. | Foto: Buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan TjakrabirawaSzetu Mei Sen (tengah pakai dasi) dan Bung Karno saat menyambut Presiden RRT Liu Sao Chi di bandara Kemayoran pada 12 April 1963. | Foto: Buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa

Baca Juga: Rambonnet dan Warisan Korupsi Sukabumi: Kongkalikong, Suap, dan Penyalahgunaan Jabatan

Irman mengungkapkan dukungan Bung Karno terhadap Palestina ditunjukkan saat mulai menggagas Konferensi Asia-Afrika 1955. Sejak awal, Indonesia dan Pakistan menjadi garda terdepan menolak keikutsertaan Israel dalam konferensi tersebut karena Israel merupakan penjajah negara-negara arab. Kemudian, dalam forum Konferensi Asia-Afrika di Bandung itu, Bung Karno keras mengecam segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan Israel terhadap Palestina.

Namun persoalan terjadi sebelum Konferensi Asia-Afrika digelar yakni saat menjajaki empat negara yang akan dijadikan sponsor: India, Pakistan, Sri Lanka, dan Burma (Myanmar). Sebab ternyata, Pakistan dan Sri Lanka yang ketika itu sangat anti-komunis, tidak menginginkan RRT ikut serta dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung.

Tentu, hal itu menjadi ganjalan bagi Bung Karno yang menghendaki RRT berpartisipasi. Ini lantaran maksud Bung Karno mengadakan Konferensi Asia-Afrika adalah untuk menyatukan negara-negara berkembang melawan kolonialis/imperialis, termasuk dalam kasus Palestina. Di sini akhirnya Mei Sen dibutuhkan perannya.

Bung Karno memanggil Mei Sen ke istana dan memintanya untuk menyampaikan informasi kepada pemerintah Cina atau RRT bahwa Indonesia sedang merencanakan Konferensi Asia-Afrika dan akan mengikutsertakan negara Cina.

Mei Sen sebagai wartawan juga diminta membocorkan rahasia bahwa ada beberapa negara yang tidak setuju dengan keikutsertaan RRT supaya pemerintah RRT dengan tepat mengetahui situasi negara-negara yang akan dihadapinya dalam konferensi. “Hal itu menjadi informasi penting agar RRT tidak terprovokasi dan menggunakan strategi politik yang tepat sehingga konferensi berjalan sukses,” kata Irman.

Dalam Konferensi Asia-Afrika, Mei Sen menjadi penerjemah Bung Karno saat berbicara dengan perwakilan Tiongkok. Hasilnya luar biasa, dalam pidatonya, Perdana Menteri Chou Enlai (Zhou Enlai) menegaskan dukungannya terhadap negara-negara arab dalam masalah Palestina. Dengan keras Chou Enlai menolak intervensi asing di Palestina yang juga mirip dengan kasus pangkalan militer Amerika Serikat di Taiwan.

Sikap Cina sebagai negara besar saat itu menjadi dukungan moril yang kuat untuk negara-negara arab, khususnya, dan negara Asia-Afrika pada umumnya. Sikap ini juga masih tercermin dalam kebijakan politik luar negeri RRT saat ini, di mana mengambil sikap berseberangan dengan Amerika Serikat dalam konflik Israel-Palestina.

Mei Sen dalam G30S PKI

Saat peristiwa G30S PKI, Mei Sen menjadi korban politik dan hampir diculik, namun diselamatkan Bung Karno. Informasi penculikan ini didapatkan Bung Karno dari seorang jenderal dan kebetulan Mei Sen mendapatkan informasi juga dari rekannya di Kostrad dan Kodam Jaya.

Akhirnya Mei Sen menemui Bung Karno dan sang presiden memutuskan menyelamatkannya ke luar negeri. Upaya ini hampir gagal karena saat berangkat ke bandara Kemayoran, seorang berpangkat letnan kolonel mencegahnya. Untungnya Mei Sen masih bisa menghubungi Bung Karno melalui kepala kabinet, Djamin, sehingga akhirnya dia dipanggil ke istana.

Usut punya usut, ternyata Mei Sen dicekal karena tugasnya sebagai pimpinan koran ibu kota yang berbahasa mandarin dan dikaitkan dengan peristiwa G30S PKI. “Tuduhan tersebut tak beralasan mengingat koran ibu kota adalah kerja sama dengan Pemprov DKI,” ujar Irman.

Bung Karno kemudian membuat memo kepada penguasa perang untuk membolehkan Mei Sen berangkat ke Hongkong dan demi keselamatannya dia dititipkan bersama tim dokter pribadinya, Dr Lauw Ing Tjong, yang akan berangkat ke Eropa dalam rangka mendapatkan obat untuk Bung Karno. Mei Sen selamat setelah transit dari Belanda ke Makau.

Tetepi, selepas itu Mei Sen harus menutupi identitasnya demi menghindari kejaran pemerintahan Soeharto. Uniknya lagi, Soeharto sendiri akhirnya memerlukan jasa orang Sukabumi ini dalam hubungannya dengan RRT, di antaranya mengegolkan hak RRT menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta pemulihan hubungan diplomatik RI-RRT.

Mei Sen lalu membantu Indonesia setelah mendapatkan jaminan dari wakil presiden Adam Malik bahwa dirinya aman datang ke Indonesia. Mei Sen diterima Soeharto di Cendana dan atas jasa orang Sukabumi ini, hubungan RRT dan Indonesia menjadi baik. Sudah selayaknya Mei Sen dikenal dalam sejarah hubungan internasional Indonesia.

Belanda Mendatangi Palabuhanratu

Irman mengatakan saat zaman penjajahan, jurnalis Belanda yang sering berkunjung ke Palabuhanratu menyebutkan apabila bangsa Yahudi tahu keindahan Palabuhanratu, mereka tidak akan berbondong-bondong ke Palestina. Ini ungkapan kekaguman terhadap indahnya alam Sukabumi.

“Jurnalis Belanda yang pernah ke Palabuhanratu membandingkan keindahannya dengan Eropa, sehingga berpikir lebih baik menghabiskan beberapa gulden ke Palabuhanratu dibandingkan ke Eropa. Bahkan banyak yang merekomendasikan untuk tempat pemulihan seperti pemandian Schevenson di Eropa. Disebutkan jika orang Israel tahu indahnya Palabuhanratu, mereka tak akan memilih Palestina sebagai tanah yang dijanjikan. Tak ada yang menyesal datang kemari, meskipun jalurnya ekstrem menggunakan kereta kuda, naik turun bukit, melewati hutan dan jembatan,” kata Irman.

Berita Terkait
Berita Terkini