SUKABUMIUPDATE.com - Korps HMI Wati (Kohati) Badko Jawa Barat mempertanyakan terkait aturan penyediaan alat kontrasepsi bagi kelompok usia sekolah atau remaja sebagaimana tertuang dalam PP No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan yang ditandatangani Presiden RI Joko Widodo pada tanggal 26 Juli 2024.
Ketua Umum Kohati Badko HMI Jawa Barat, Hana Muhamad, meminta agar pemerintah merevisi peraturan tersebut karena dianggap tidak memberikan solusi yang tepat, bahkan mendorong perilaku seks beresiko dikalangan remaja.
"Pemberian kondom di sekolah telah menjadi topik yang menimbulkan perdebatan hangat di masyarakat. Di satu sisi, langkah ini dianggap sebagai upaya proaktif untuk melindungi kesehatan siswa dan mencegah penularan penyakit menular seksual serta kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, disisi lain, banyak pihak yang khawatir bahwa tindakan ini akan dipandang sebagai legitimasi atau dorongan bagi siswa untuk terlibat dalam aktivitas seksual yang berisiko," ujar Hana dalam keterangan tertulisnya kepada sukabumiupdate.com, Kamis (8/8/2024).
Menurut Hana, peraturan tersebut tertuang dalam Pasal 103 ayat 4 yang merinci soal pelayanan kesehatan reproduksi salah satunya penyediaan alat kontrasepsi. Namun, kata dia, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai penyediaan alat kontrasepsi pada usia sekolah dan remaja di pasal tersebut.
Baca Juga: PUI Tolak Keras Pemberian Alat Kontrasepsi pada Siswa Sekolah
Baca Juga: Bikin Heboh, Kemenkes Bilang Alat Kontrasepsi Hanya untuk Remaja yang Sudah Menikah
Kata Hana, berbeda dengan Pasal 104 yang mengatur pelayanan kesehatan reproduksi dewasa dimana penyediaan alat kontrasepsi secara jelas disebutkan bagi pasangan usia subur dan kelompok yang beresiko.
"Sayangnya di Pasal 103 ini tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pembahasan penyediaan alat kontrasepsi pada usia sekolah dan remaja, seperti penjabaran di Pasal 104 dijelaskan terkait dengan pelayanan kesehatan reproduksi dewasa, penyediaan alat kontrasepsi bagi pasangan usia subur dan kelompok yang beresiko," terangnya.
Hana mengakui adanya perdebatan terkait dilema antara prioritas kesehatan publik dan kekhawatiran akan dampak moral yang mungkin timbul. Namun Hana menegaskan hal ini bukan hanya menyangkut masalah kesehatan, tetapi juga mencakup isu-isu etika, agama, dan peran sekolah dalam pembentukan karakter siswa.
"Dibutuhkan kebijakan yang berlandaskan penelitian dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk menemukan solusi yang seimbang dan dapat diterima semua pihak," tandas alumni Fakultas Hukum Universitas Nusa Putra Sukabumi itu.