SUKABUMIUPDATE.com - Adalah Rosihon Anwar, Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung dkk, mendeskripsikan dalam jurnalnya. "dapat lebih dipahami, bahwa setelah melakukan penelitian pada enam pesantren di Jawa Barat, yang meliputi pesantren al-Jawami, al-Wafa, al-Masthuriyah, Darusalam, Cipasung dan Buntet, kami menemukan bahwa sedikit sekali terjadi perubahan dalam tradisi pengajian tafsir di pesantren," tulisnya dalamnya jurnal yang berjudul "Kitab Tafsir dan Jaringan Pesantren di Jawa Barat".
Tidaklah mengherankan, kata Rosihan Anwar dkk jika penelitian yang dilakukannya pada tahun 2015 silam, masih menemukan hal-hal yang sama dengan apa yang juga pernah dilaporkan sebelumnya oleh Berg pada abad ke-19 dan Bruinessen pada abad ke-20, juga peneliti-peneliti lainnya yang se-zaman, yaitu bahwa kitab tafsir yang dikaji masih didominasi Tafsir Jalalain, bahwa pengajian tafsir Alquran di pesantren kemudian masih dinomer-duakan dibanding fikih dan bahasa Arab.
Ragam Kitab Tafsir yang Dikaji
L.W.C Van den Berg seperti dikutip oleh Karel A Steenbrink pada tahun 1886 M menyebutkan bahwa materi pelajaran yang dikaji di pesantren-pesantren pada zaman itu adalah fikih, bahasa Arab, ushuluddin, tasawuf, dan tafsir. Ia juga melaporkan bahwa hanya satu kitab tafsir saja yang dibaca di pesantren-pesantren yaitu Tafsir Jalalain. Memang ada juga kitab tafsir yang lain yang cukup dikenal waktu itu yakni Tafsir al-Baidawi, namun sangatlah sulit menemukan Kiai yang menjelaskan teks (kitab) tersebut.
Pada abad ke-20 Martin van Bruinessen melaporkan perkembangan selanjutnya. Sebagai dampak maraknya gerakan modernisme Islam, yang slogan utamanya adalah “kembali kepada Alquran dan Sunnah”, banyak ulama tradisional yang mulai memperhatikan tafsir Alquran secara lebih serius dengan memasukkan literatur tafsir yang lebih beragam.
Dua tafsir klasik, yaitu Tafsir al-Thabari dan Tafsir Ibn Katsir, telah ditambahkan ke dalam daftar koleksi bacaan pesantren. Bersamaan dengan itu turut ditambahkan pula, Tafsir al-Munir plus dua tafsir modern yaitu Tafsir al-Manar dan Tafsir al-Maraghi, walaupun kedua tafsir itu hanya ditemukan di dua pesantren saja yang berorientasi modernis di Jawa Barat.
Di luar itu, kitab-kitab tafsir tersebut belum diterima secara luas di lingkungan pesantren lainnya.
Penelitian yang kami lakukan, kurang lebih menemukan hal-hal yang serupa. "Tafsir Jalalain masih merupakan kitab tafsir yang dominan. Tafsir tersebut dikaji di Buntet Pesantren Cirebon, Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Pesantren Darussalam Ciamis, Pesan-tren Al-Masthuriyah Sukabumi, Pesantren Al-Jawami Bandung, dan Pesantren Al-Wafa Bandung. Bahkan, di Asrama al-Inaroh Pesantren Buntet dan Pesantren Al-Masthu-riyyah, Tafsir Jalalain merupakan satu-satunya kitab tafsir yang diajarkan kepada para santri," ucap Rosihan Anwar.
Hanya saja di pesantren-pesantren yang mempunyai santri dari kalangan mahasiswa, selain Tafsir Jalalain diajarkan pula tafsir-tafsir yang lain. Di Pesantren Cipasung, selain Tafsir Jalalain diajarkan pula Tafsir Ahkam karya al-Shabuni. Di Pesantren Darussalam, selain Tafsir Jalalain diajarkan pula Tafsir al-Munir, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Maraghi. Di Pesantren Al-Jawami, selain Tafsir Jalalain dikaji pula Tafsr Shafwah al-Tafasir karya al-Shabuni. Namun, dapat dikatakan bahwa secara umum Tafsir Jalalain masih merupakan kitab tafsir yang dominan dikaji oleh pesantren-pesantren di Jawa Barat.
Ada dua alasan penting mengapa Tafsir Jalalain dijadikan kitab kajian pertama dan utama di pesantren-pesantren di Jawa Barat.
Pertama, alasan terkait keunggulan yang dimiliki Tafsir Jalalain. Hampir seluruh pengasuh pesantren yang diwawancarai mengatakan kitab tafsir ini paling ringkas, paling praktis, paling mudah dibaca dan karenanya paling cocok bagi para santri pemula.
Rahmat Syafii, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Wafa` menguraikan kelebihan tafsir ini secara lebih rinci. Menurutnya, kelebihan yang paling menonjol dari tafsir ini ialah makna tekstualnya. Tafsir Jalalain menggunakan pendekatan mufradat, ia menjaga kemurnian dan keutuhan dari segi bahasa. Bagi santri pemula hal ini sangatlah penting, karena sebelum memahami makna kontekstual, seorang santri harus kuat terlebih dahulu pemahaman tekstual Alquran.
Pemahaman kontekstual muncul setelah paham makna tekstual. Tafsir modern yang banyak macam ragamnya itu kontekstual, sebagai pengembangan setelah memahami makna tekstual. Maka, menurutnya, tidaklah mengherankan, jika semua pesantren menggunakan Tafsir Jalalain terlebih dahulu, baru untuk pengembangannya mereka mengambil tafsir-tafsir lain sesuai pertimbangan dan selera masing-masing Kiai.
Kedua, alasan terkait tradisi yang turun temurun. Alasan semacam ini dikemukakan hampir oleh seluruh pengasuh pesantren. Adib Rafiudin, Pengasuh Pondok Pesantren Buntet misalnya mengatakan. "Beberapa pesantren yang masih diasuh Kiai-kiai sepuh umumnya menggunakan Tafsir Jalalain karena kitab ini dianggap paling tua dan merupakan salah satu kitab tafsir pertama.
Di Pesantren Cipasung, kitab itu sudah diajarkan oleh pendirinya, kemudian dilanjutkan oleh Kyai Ilyas Ruhiat, sekarang dilanjutkan oleh penerusnya. Imam Hamid, Pengasuh Pesantren Al Jawami mengatakan “pembacaan Tafsir Jalalain di pesantren sudah menjadi tradisi. Dari zaman dahulu di pesantren memang kitab itulah yang dibaca”.
Pengapresiasian pesantren terhadap tradisi berarti apresiasi terhadap karya-karya yang dihasilkan oleh ulama-ulama klasik. Hal ini berkaitan pula dengan pandangan kalangan pesantren terhadap hakikat ilmu.
Sebagaimana pernah ditulis oleh Masdar F. Masudi, bagi masyarakat pesantren, ilmu adalah sesuatu yang hanya dapat diperoleh melalui jalan pengalihan, pewarisan, transmisi, dan bukan sesuatu yang bisa diciptakan. Menurutnya, ada dua konsekuensi berkaitan dengan pandangan tersebut.
Pertama, keseragaman (homo-genitas) akan dengan mudah menjadi ciri yang sangat mencolok. Kalau saja terjadi perbedaan, maka perbedaan itu hampir bisa dipasti-kan hanya dalam pengungkapan ('ibrah)-nya. Kedua, kitab sebagai karya ulama terdahulu yang memberikan keterangan langsung tentang kata-kata wahyu bersifat sentral, sementara Kiai yang memberikan keterangan atas kitab itu hanyalah subordinat atau sekedar alat baginya (tidak berhak mengevaluasi-nya).
Dominasi Tafsir Jalalain di pesantren-pesantren Jawa Barat tentu saja tidak berarti bahwa hanya itulah kitab satu-satunya yang dibaca Kiai atau ustad. Dominasi kitab ini sekali lagi harus dilihat dalam konteks kitab tafsir itulah yang dibacakan secara resmi kepada para santri.
Sebenarnya pada saat pengajian isi kitab-kitab tafsir lainnya juga diajarkan hanya saja tidak disebut secara eksplisit dari mana saja sumber-sumbernya. KH. Adib Rofiudin misalnya saja mengatakan; "Pengajian kitab Tafsir Jalalain hanya kitab utama saja, selebihnya adalah penjelasan dari kitab-kitab tafsir lainnya misalnya dengan Tafsir Munir dan Ibn Katsir. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar penga-jaran tafsir tidak monoton melainkan juga mengambil dari tafsir modern, agar Al-quran dapat dipahami secara komprehensif,".
Demikian pula KH. Imam Abdul Hamid mengatakan; "Dalam menyampaikan pengajian Tafsir Jalalain ditambahkan pula pembahasan-pembahasan dari referensi kitab lainnya yang telah ia baca untuk kemudian disampaikan kepada santrinya saat mengaji,". Sementara di pesantren Al Wafa’ KH Rahmat Syafe’i menurut pengakuannya telah menghubungkan kajian Tafsir Jalalain dengan realitas kehidupan.
KH. Rahmat Syafei mengatakan: "Dalam proses kajian tafsirnya selain memperkuat pengetahuan asli tentang tekstual, konteksnya itu (juga dibahas), disebut tafsir modernnya menurut pengetahuan yang ia ketahui,”.
Pada saat ini, dapat dikatakan bahwa pesantren-pesantren tersebut memiliki banyak literatur kitab tafsir, terutama yang ditulis oleh ulama-ulama Timur Tengah pada abad pertengahan, terlebih kesempatan untuk mengkoleksi lieratur tafsir, terutama dalam bentuk digital, kian mudah untuk diraih.
Dengan demikian, perlu diberikan pembedaan antara apa yang diajarkan kepada santri dan apa yang dibaca oleh Kiai atau ustad.
Hasil pengamatan di pesantren-pesantren Jawa Barat yang dikunjungi, rata-rata memiliki literatur tafsir yang lengkap, seperti Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Mafatih al-Ghaib, Tafsir Shafwah al-Tafasir, Tafsīr Marah Labīd, dan Tafsir al-Baidawi.
Tafsir-tafsir yang disebut ada dalam koleksi perpustakaan pesantren atau dalam koleksi kitab-kitab Kiai. Sehingga dapat diasumsikan bahwa walaupun mayoritas Kiai masih tetap membaca Tafsir Jalalain di hadapan para santrinya, namun sebelum pengajian biasanya sang Kiai atau bahkan para santrinya telah membaca terlebih dahulu tafsir-tafsir yang lain sebagai referensi.
Metode Pengkajian Kitab Tafsir Mahmud Yunus pada tahun 1957M telah menceritakan pengalamannya belajar di pesantren pada sekitar awal abad ke-20. Dari sekian banyak hal yang ia ceritakan, ia sempat mendeskripsikan tradisi kajian kitab tafsir pada masa itu. Ia menceritakan bahwa pada masa itu tidak semua santri dianggap pantas mempelajari tafsir. Hanya santri-santri senior saja yang boleh mengikuti pengajian tafsir.
Adapun jenjangnya adalah sebagai berikut: Mula-mula murid-murid harus menamatkan pengajian kitab tingkat elementer. Setelah itu mereka harus menamatkan pengajian kitab tingkat menengah. Setelah itu baru boleh mempelajari Tafsir Jalalain. Kitab tafsir itu diajarkan oleh seorang guru besar dalam sebuah halaqah, sedang yang men-jadi muridnya hanyalah mereka yang telah menjadi guru-guru senior di pesantren.
Cara sang Kiai mengajarkan Tafsir Jalalain terdiri dari tiga tahap, yaitu mula-mula ia membaca teks Tafsir Jalalain dalam bahasa Arab, kemudian menterjemahkannya kata demi kata, sesudah itu ia menerangkan maksudnya dengan bahasa Melayu atau bahasa daerah.
Adapun tugas santri dalam halaqah itu adalah menyimak penjelasan Kiai sambil melihat kitab mereka masing masing. Pola pengajaran tafsir seperti yang dilaporkan oleh Mahmud Yunus ini, ternyata masih berlanjut hingga saat ini. Observasi yang di-lakukan menunjukkan bahwa pesantren-pesantren di Jawa Barat masih menerapkan metode didaktik yang sama.
Kedudukan Kajian Kitab Tafsir di Pesantren Martin van Bruinessen pada tahun 188 4 M, setelah membaca laporan Berg tentang kurikulum pesantren, mengatakan bahwa laporan Berg ini memberi kesan kepada dirinya bahwa hingga akhir abad ke-19, tafsir masih belum dianggap sebagai bagian yang sangat penting dalam kurikulum pesantren.
Hal ini rupanya berlanjut hingga awal abad ke-20. R.M. Feener misalnya menyebutkan bahwa hingga awal abad kedua puluh, tafsir masih belum menjadi disiplin ilmu yang utama di pesantren. Penelitian ini menemukan hal yang serupa. Kajian fikih, tauhid, dan bahasa Arab masih menjadi kurikulum inti di pesantren-pesantren di Jawa Barat.
Kajian Tafsir di pesantren ma-sih dinomor-duakan. Selama masa observasi, kami telah berusaha dalam waktu yang cukup lama, untuk mencari pesantren-pesantren di Jawa Barat yang menyelenggarakan pengajian tafsir, ternyata hanya beberapa saja yang melakukannya.
Terutama pesantren-pesantren yang memiliki kaitan dengan perguruan tinggi, baik karena santrinya adalah para mahasiswa seperti pesantren al-Jawami dan al-Wafa, atau karena Kiainya pernah belajar di perguruan tinggi seperti Buntet Pesantren, atau karena pesantren itu memiliki perguruan tinggi sendiri seperti pesantren Darusalam, Cipasung dan al-Mashturiyah.
Di pesantren-pesantren itupun pengajian tafsir tidak menjadi perhatian yang utama, kompetensi santri terutama diarahkan pada penguasaan fiqh, tauhid dan bahasa Arab.
Alasan Tafsir Jalalain dipilih sebagai kitab kajian karena dipandang ringkas dan dapat cepat diselesaikan sehingga tidak mengganggu konsentrasi terhadap kurikulum inti. Asumsi bahwa tafsir tidak menjadi kurikulum yang sangat penting di pesantren-pesantren di Jawa Barat semakin kuat tatkala lembaga-lembaga ini memberikan perlakuan yang lebih istimewa terhadap keilmuan selain tafsir, semisal fikih dan bahasa.
Kitab-kitab ilmu fikih dan bahasa Arab diajarkan kepada santri-santri dari mulai kitab yang paling mudah sampai kitab yang paling rumit. Sementara untuk ilmu tafsir, kitab pegangan yang dipelajari pada umumnya hanyalah Tafsir Jalalain yang nota bene adalah kitab untuk pemula.
Sebagai contoh di beberapa pesantren, seperti Buntet Cirebon dan Darussalam Ciamis, kitab yang menjelas-kan kaidah bahasa Arab diajarkan kepada para santri mulai yang tingkatan dasar, umumnya al-Jurūmiyyah, sampai tingkatan yang paling tinggi, umumnya Alfiyyah karya Ibnu Mālik.
Pada kasus Pesantren Al-Jawami, pengkajian tafsir dianggap complement dengan pertimbangan bahwa santri dapat membaca secara langsung kitab-kitab tafsir berbahasa Arab yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Pesantren al-Jawami saat ini justru sedang fokus pada pendalaman bahasa Arab dengan rujukan kitab Alfiyah, di samping pengkajian selingan terhadap kitab Mukhtār al-Hadīth, Riyād al-Shālihīn, Jurūmiyah, Mutammimah, dan Ta`līm al-Muta`allim.
Namun, ini tidak berarti bahwa para pengasuh pesantren menganggap kajian Alquran tidak lebih penting daripada kajian lainnya. Mereka berpandangan bahwa sebelum mempelajari Alquran setidaknya santri harus menguasai kaidah-kaidah bahasa Arab. Karena itu pengajaran bahasa Arab lebih didahulukan. Selain itu masyarakat dipandang lebih membutuhkan panduan ibadah praktis.
Oleh karena itu, pesantren-pesantren lebih menitik-beratkan pada studi fikih. Penguasaan santri terhadap fikih dianggap penting karena fikihmerupakan formulasi resmi ajaran Islam. Fikih lebih mencerminkan Islam yang baku dan standar dibanding tafsir yang relatif masih elastis dan dapat berkembang ke mana-mana.